Sentimen
Undefined (0%)
13 Des 2024 : 11.51
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Batang, Solo, Wonogiri

Kasus: Maling, pengangguran

Teater Timboel Pentaskan Owalah di TBJT Solo, Ajak Penonton Selalu Waspada

13 Des 2024 : 11.51 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Teater Timboel Pentaskan Owalah di TBJT Solo, Ajak Penonton Selalu Waspada

Esposin, SOLO—Marno, Mardi, Saiman, dan Wanto sedang mengejar maling di sebuah desa. Namun empat bapak-bapak itu kehilangan jejak si maling. Tidak mau ada maling lagi, mereka memutuskan berjaga di pos ronda sambil main kartu remi.

Adegan itu membuka pertunjukan teater dengan lakon Owalah yang dipentaskan oleh Teater Timboel SMAN 5 Solo di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Kamis (12/12/2024).

Saudagar muda bernama Sabdo yang kebetulan lewat setelah membeli pupuk itu kemudian menyapa empat bapak-bapak itu. Sabdo menanyakan perihal ribut-ribut di kampung. Setelah mendengar ada maling di kampung, Sabdo hanya berpesan agar selalu waspada.

Yitno yuwono leno keno, tegese siapa yang berhati-hati maka akan selamat, dan yang sembrono akan celaka,” ucap Sabdo. Setelah itu dia pun pamit.

Giliran Pak Bayan datang menyapa bapak-bapak yang sedang berada di pos ronda itu. Ia berjalan dengan kakinya yang agak pincang. Cara jalan itu sontak membuat penonton tertawa. Mumpung ada Pak Bayan, empat bapak-bapak kemudian memberitahukan perihal ada maling di desa. 

Pecah tawa penonton semakin terasa ketika para pemain saling melemparkan celetukan-celetukan dalam bahasa Jawa. Tawa penonton berlanjut ketika ada seorang pemuda lajang bernama Arif tiba-tiba datang dari arah yang sama ketika si maling kabur. Empat bapak-bapak itu langsung menuduh Arif malingnya. 

Arif hampir digebuki. Namun Pak Bayan segera memisahkan mereka dan menanyakan perihal siapa itu Arif. “Aku Arif ponakane Mbah Karso,” kata Arif dengan wajah yang lugu. Ia berusaha meyakinkan bahwa dirinya bukan maling. Akhirnya kesalahpahaman itu reda dan Arif diajak main kartu sambil berjaga malam.

Pak Bayan mendukung mereka yang kini berlima untuk berjaga di pos ronda. Pak Bayan pun berinisiatif menelpon Bu Bayan agar membuatkan kopi dan gorengan. Tidak lama Bu Bayan yang mengenakan daster itu datang membawa nampan berisi gorengan dan kopi.

Setelah mengantarkan permintaan suamiya, Bu Bayan pun kembali ke rumah. Namun tidak lama ia kembali ke pos ronda dengan wajah yang panik. Kepanikan itu berasal dari situasi yang gawat. Rumahnya kemalingan. Yang diambil adalah radio,

Mendengar cerita Bu Bayan, semua bapak-bapak kaget. “Hah radio,” kata mereka serentak. Lampu panggung langsung meredup. Adegan berganti menggambarkan di sebuah rumah yang kecil.

Di rumah itu tinggal seorang janda muda yang berusia hampir 30 tahun bernama Arum. Ia baru saja pindah dari Wonogiri ke desa itu sekitar satu pekan. Arum tinggal bersama ibunya, Bu Parno yang sudah tua.

Bu Parno yang juga menjanda karena suaminya meninggal itu merasa khawatir anak satu-satunya tidak kunjung mendapat pekerjaan. Arum yang menangkap kekhawatiran ibunya itu, kemudian berencana berjualan jamu keliling kampung. Ibunya pun setuju. Setelah diskusi soal pekerjaan usai, mereka pun masuk rumah.

Selang beberapa saat, dua pemuda pengangguran, Bagong dan Pentet berboncengan naik sepeda ontel. Tanpa tujuan yang jelas mereka keliling kampung. Ketika berniat melintasi jalan pintas, tidak sengaja dia melihat rumah baru. Karena penasaran mereka pun mengetuk pintu. Ternyata itu rumah Arum.

Mengetahui rumah yang mereka sambangi itu milik seorang janda muda, mereka berdua langsung berkenalan dengan gelagat yang genit. Setelah kenalan dua pemuda itu pun pamit.

Arum yang baru saja pindah itu akhirnya keliling kampung untuk jualan jamu. Arum berhenti di pos ronda. Bagong dan Pentet yang mendengar suara Arum langsung sigap menghampiri dan membeli jamu.

Mereka berdua melempar rayuan dan gombalan untuk Arum. Sampai-sampai mereka bertengkar karena merebutkan perhatian Arum. Mereka pun dipisah oleh Arif yang kebetulan lewat.

Namun ketika melihat Arum, Arif pun ikut-ikut membeli jamu dan tentu dengan sedikit rayuan. 

Setelah itu, muncul Pak Bayan, Marno, Mardi, Saiman, dan Wanto yang awalnya berniat kerja bakti. Namun karena melihat ada Arum, mereka kompak secara bergantian melemparkan rayuan.

Lampu panggung kembali redup, dan adegan pun berganti ketika para istri yang marah itu mencari-cari Arum. Mereka menuduh Arum menggoda suaminya. Akhirnya, Arum lewat di depan mereka sambil menggendong jamu. 

Melihat batang hidung Arum, mereka bergantian memarahi hingga mendorong tukang jamu keliling itu sampai terjatuh. Para istri itu meminta agar Arum tidak genit kepada suami mereka.

Di tengah keributan yang semakin memuncak, Sabdo muncul memisahkan mereka. Sabdo mencoba menenangkan ibu-ibu. Setelah tenang, mereka meninggalkan Arum dan Sabdo berdua.

Ternyata Arum dan Sabdo saling kenal. Mereka sudah kenal lama. Seakan cinta lama bersemi kembali, adegan selanjutnya menampilkan mereka berdua menikah. Warga termasuk bapak-bapak dan pemuda ikut merayakan resepsi pernikahan.

Di tengah acara yang bahagia itu, ada satu masalah yang mengganjal dan belum terselesaikan. Warga kampung masih punya masalah maling yang tidak kunjung terungkap siapa pelakunya. Lalu pada malam harinya mereka memutuskan untuk patroli.

Benar saja, ketika malam hari ada maling yang mengendap-ngendap mengincar rumah warga. Bapak-bapak yang berjaga akhirnya berhasil menangkap basah maling. Ketika tertangkap, mereka membuka penutup wajah. Setelah diperhatikan, ternyata pelakunya adalah warga mereka sendiri. 

“Owalah Pentet to,” ucap mereka serentak.

Sutradara, Ucil Muchils mengatakan pentas yang membawakan naskah karya Budi Waluyo itu sengaja disajikan dengan cara yang sederhana. Dialog bahasa Jawa ngoko yang dibawakan para pemain menambah kedekatan, selain juga celetukan dalam bahasa Jawa lebih mudah mengundang tawa penonton.

Para pemain yang mayoritas duduk di kelas X itu totalitas memerankan setiap karakter. Mereka lihai memainkan mimik wajah dan gestur tubuh yang seringkali mempertebal tawa penonton.

Ucil mengatakan penekanan cerita ada di dialog Sabdo yang menyebut yitno yuwono leno keno, siapapun yang waspada akan selamat dan yang terlena akan celaka. 

“Kalau kita lengah akan kehilangan sesuatu, jadi sebisa mungkin untuk berhati-hati, termasuk segala hal dalam kehidupan sehari-hari,” kata dia ketika ditemui Espos selepas pentas, Kamis.

Dia mengatakan pada pentas itu juga diselipkan cerita tentang Arum yang memiliki latar belakang janda. Selama ini status sebagai janda selalu saja disalahpahami orang sehingga muncul stigma buruk di masyarakat. Cerita itu ingin menggambarkan realita sosial.

“Ya kita sesama manusia apa pun status sosial seseorang, kita berusaha untuk menghargai. Terlepas dari apa pun latar belakangnya,” kata dia.

Pimpinan Produksi, Elvetta Sam Eden, mengatakan persiapan pentas malam itu memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Pentas yang berlangsung hampir satu jam itu melibatkan siswa. Elvetta menyebut total pemain di panggung ada 16 orang ditambah tim di balik layar sebanyak 25 sampai 30 orang.

“Per tahun kami regenerasi, setiap tahun kami juga pentas, jadi ini menjadi tantangan tersendiri terutama bagi saya karena ini pertama kalinya saya berada di belakang panggung, biasanya saya pentas,” kata dia.

 

Sentimen: neutral (0%)