Sentimen
Undefined (0%)
13 Des 2024 : 08.39
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: UGM, UIN, UNCEN

Kab/Kota: Depok, Jayapura, Sleman, Yogyakarta

Dendang Ujaran Kebencian, Luka Sehari-hari Mahasiswa Papua di Jogja

13 Des 2024 : 08.39 Views 38

Espos.id Espos.id Jenis Media: Jogja

Dendang Ujaran Kebencian, Luka Sehari-hari Mahasiswa Papua di Jogja

Esposin, JOGJA – Perasaan jengkel bercampur gemas dirasakan Awa, mahasiswa asal Papua yang baru saja lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu. Dia menemukan banyak ujaran kebencian yang ditujukan kepada orang Papua di Jogja lewat unggahan media sosial. 

Saking jengkelnya, dia pun pernah membalas ujaran kebencian di salah satu platform media sosial TikTok. 

"Waktu itu ada netizen yang bilang itu rambut orang Papua keriting, kalau ada kecoa, kecoanya hilang. Ya saya balas, itu kecoa bisa meluncur di rambutku. Itu kan lucu, tapi bikin gemas," ujar Awa,perempuan asal Paniai, sebuah kabupaten di Provinsi Papua Tengah kepada Espos, Sabtu (30/11/2024). 

Irto, mahasiswa asal Papua lainnya, menyebut ujaran kebencian itu memengaruhi mental dan psikisnya.Stigma sebagai pemabuk hingga pembuat onar melekat pada dirinya. 

"Tentu mengganggu mental dan psikis kami," ujar Irto saat menjawab pesan singkat pada Kamis, 28 November 2024 lalu.

Ujaran kebencian yang dialami Awa dan Irto itu hanya beberapa kisah dari banyaknya cerita yang dialami orang Papua di Jogja. Berbagai ujaran kebencian memang banyak ditemukan di berbagai media sosial, terutama X/Twitter.

Dalam berbagai riset yang ada, X memang menjadi media sosial yang paling banyak ujaran kebencian.  Menurut hasil penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2018, pesan negatif, termasuk ujaran kebencian, 70% lebih sering digunakan di platform X daripada pesan positif. 

Apalagi setelah Elon Musk mengambil alih X pada Oktober 2022. Ujaran kebencian itu meningkat tajam. Hal tersebut terungkap dalam penelitian dari Center for Countering Digital Hate dan The Anti-Defamation League. 

Para peneliti menyebut ada peningkatan yang signifikan dalam ujaran kebencian hingga konten bermasalah di X. Hal ini sesuai dengan penelusuran bersama Monash University dalam kurun satu tahun, ada 298 cuitan yang memberikan sentimen negatif dan ujaran kebencian kepada mahasiswa Papua di Jogja.

Padahal berbagai platform media sosial, baik Meta (Instagram dan Facebook) dan X telah melakukan moderasi konten. Mengutip laporan dari SAFEnet, melalui standar dari Meta, mereka telah melarang penyebaran ujaran kebencian di platformnya. Hal itu juga karena ujaran kebencian dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya intimidasi dan pengucilan hingga mendorong kekerasan fisik. 

Meta mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung terhadap orang karakteristik yang dilindungi: ras, etnis, kebangsaan, disabilitas, afiliasi agama, kasta, orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, dan penyakit serius.

Sementara itu, X juga telah mengeluarkan kebijakan anti ujaran kebencian. Dalam cuitannya, perusahaan media sosial itu mengatakan telah membuat sejumlah perubahan dalam kebijakan menyangkut konten kekerasan dan ucapan serupa.

“Hari ini, kami resmi mengeluarkan kebijakan ujaran kekerasan yang melarang ancaman kekerasan, niat melakukan keburukan, memuja kekerasan dan memicu kekerasan,” tulis X pada Selasa (28/2/2023).  

X mengatakan platform ini adalah tempat orang-orang mengekspresikan diri mereka, mengikuti apa yang sedang terjadi dan membahas isu-isu global.

“Namun, percakapan sehat tidak akan terjadi jika ujaran kekerasan digunakan untuk menyampaikan pesan. Untuk itu, kami memiliki kebijakan nol toleransi terhadap ujaran kekerasan dalam upaya memastikan keamanan pengguna dan mencegah aksi kekerasan dianggap normal,” tulis X.

Secara tegas, X tidak menoleransi mereka yang menyampaikan ujaran kekerasan, dan X bisa saja memblokir akun yang melanggar kebijakan ini. Untuk pelanggaran yang dianggap ringan, X akan meminta pemilik akun menghapus konten sebelum bisa mengakses lagi akunnya.

Faktanya, berdasarkan data yang diperoleh dari Monash University, 298 cuitan sentimen negatif dan ujaran kebencian kepada mahasiswa Papua di Jogja itu puncaknya terjadi pada September - Oktober 2024. Hal ini buntut dengan kedatangan youtube streamer asal Amerika Serikat, IShowSpeed ke Jogja. 



Sebanyak 289 cuitan tentang orang Papua di Jogja itu, sebanyak 46% masih memiliki sentimen negatif, 51% netral, dan 3% positif. Kata-kata yang banyak menggambarkan orang Papua di Jogja bisa Anda lihat berikut. 

Kata yang paling banyak disebutkan soal mahasiswa Papua di Jogja oleh netizen di media sosial X dalam kurun waktu 2023-2024. (Sumber: Monash University)

Trending topic dan kata-kata yang dituliskan netizen untuk mahasiswa Papua di Jogja di media sosial X dalam kurun waktu 2023-2024. (Sumber: Monash University)

Pada gambar tersebut, sentimen negatif seperti orang Papua, rusuh di Jogja, orang timur, SDM rendah, bikin rusuh, menjadi cuitan yang kerap diunggah terkait orang Papua di Jogja. Selain itu, ada beberapa tagar yang sempat menjadi trending topic pada kurun waktu satu tahun terakhir terkait orang Papua di Jogja. 

"@mustafa97645229 @widodol_joko Orang papua di jawa (jogja) rusuhhhhh mulu anjirr, cari masalah mulu, udah numpah rusuh pula heran," tulis salah satu netizen di X.

"@VeronicaKoman mahosiswa papua yg dijogja jg donk.. klo kuliahnya udah lebih dari 5 taon suru balik.. jangan menuh2in jogja dengan orang papua.. please.. suru balik ya..," kata netizen lainnya. 

"@Mulalt_ @prabowo ya udah mahosiswa papua yg di jogja klo tinggal sampe lebih 5 tahun diusir sajalah... jogja jg bukan tanah papua," bunyi sentimen negatif lainnya untuk orang Papua di Jogja. 

Ketika Espos mencoba melaporkan salah satu ujaran kebencian itu ke platform media sosial X, muncul beberapa kategori ujaran kebencian. Beberapa di antaranya, kebencian, penghinaan & pelecehan secara online, tutur kekerasan, keselamatan anak, privasi, spam, bunuh diri atau melukai diri sendiri, peniruan, serta entitas kekerasan & kebencian. 

Kemudian, Espos mencoba memilih kebencian. Setelah itu, ada beberapa kategori yang harus dipilih pelapor, seperti cercaan & ungkapan, referensi kebencian, dehumanisasi, gambaran kebencian, dan penghasutan. Espos mencoba memilih dehuminasi, yang menurut X adalah sebagai berikut. 

"Kami melarang dehumanisasi terhadap sekelompok orang berdasarkan agama, kasta, usia, disabilitas, penyakit serius, asal kebangsaan, ras, etnis, gender, identitas gender, atau orientasi seksual mereka."

Tangkapan layar laporan ujaran kebencian di platform X.

Setelah melaporkan salah satu ujaran kebencian itu, X menyebut akan membutuhkan beberapa hari untuk meninjau laporan ujaran kebencian tersebut. X juga akan memberi tahu kepada pelapor jika menemukan pelanggaran terhadap peraturan dan akan memberi tahu pelapor tindakan yang akan diambil terkait pelanggaran tersebut. 

"Kami telah menerima laporan Anda. Kami akan menyembunyikan postingan yang dilaporkan dari timeline Anda untuk saat ini," tulis X. 

Pada Jumat (6/12/2024), Espos menerima surat elektronik dari X yang memberitahukan bahwa ujaran kebencian yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Jogja tidak melanggar ketentuan dan kebijakan media sosial milik Elon Musk itu. 

"Setelah meninjau informasi yang ada, kami ingin memberi tahu Anda bahwa reje****** tidak melanggar kebijakan keamanan kami. Kami memahami ini bukanlah jawaban yang Anda cari. Jika akun ini melanggar kebijakan kami di masa mendatang, kami akan memberi tahu Anda," bunyi surat elektronik tersebut.

Padahal dalam surat elektronik itu, X menyebut mengancam kekerasan terhadap seseorang atau sekelompok orang tergolong melanggar aturan mereka.

Menanggapi hal tersebut, Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet menyatakan platform digital atau media sosial memiliki community guideline atau kebijakan yang secara eksplisit menyatakan ujaran kebencian dilarang ada dalam platform mereka. 

Meskipun platform digital atau media sosial memiliki panduan komunitas, penegakkan dari kebijakan tersebut masih perlu dikritisi, pasalnya masih banyak ditemukan konten ujaran kebencian dan konten berbahaya lainnya yang secara mudah ditemukan di media sosial tapi tidak ditindak sama sekali.

“Masih terdapat banyak kelemahan dalam mekanisme moderasi konten yang dimiliki platform media sosial, salah satunya mereka tidak bisa mengidentifikasi dengan akurat konten-konten yang berbahasa daerah karena mereka tidak memahami konteks lokal,” ujarnya Selasa (10/12/2024).

Untuk itu, SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak digital di Asia Tenggara menyatakan penting bagi para pengguna untuk menuntut tanggung jawab dari perusahaan teknologi untuk memastikan keamanan dan keselamatan penggunanya dari konten berbahaya sekaligus tetap menjamin kebebasan berekspresi mereka.

Tetap Berbaur Meski Didiskriminasi

Beberapa sentimen negatif tentang orang Papua di Jogja sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Awa. Bahkan, ujaran kebencian itu bukan hanya terjadi di media sosial. Di kehidupan sehari, dia juga pernah diremehkan oleh temannya sendiri karena berasal dari Papua. 

"Hate speech yang ditujukan langsung kepada saya di media sosial memang tidak ada, tapi banyaknya kata-kata negatif di Papua di media sosial itu yang bikin jengkel. Di kehidupan perkuliahan juga, ada teman kuliah yang meragukan saya bisa lulus cumlaude," kata dia. 

Hal inilah yang membuat orang-orang Papua, khususnya mahasiswa, hidup berkelompok dengan sesama orang Papua. Mereka merasa tidak terima di Jogja. Selain itu, ada faktor bahasa yang membuat mereka susah masuk ke masyarakat lokal Jogja. 

Awa, salah satu orang Papua yang baru saja lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. (Istimewa)

"Kenapa kami sering mengekslusifkan diri, karena dari segi bahasa, penerimaan agak susah. Sulit untuk beradaptasi. Pernah dengar dari teman aku, kalau ada kerja kelompok, teman-teman Papua tidak dilibatkan. Jadi ya mereka kembali ke teman-teman Papua sendiri," tambah Awa yang telah tinggal tujuh tahun di Jogja. 

Lain halnya dengan Grein George Wutoy, laki-laki asal Papua yang sempat tinggal di Jogja selama 20 tahun ini menyebut berbagai bentuk diskriminasi dan ujaran kebencian, dia hadapi sebagai bentuk motivasi untuk terus berprestasi selama berkuliah. Hal ini yang ia buktikan hingga lulus S2 jurusan Magister Politik dan Pemerintahan dan menjadi dosen di Universitas Cendrawasih di Jayapura. 

"Kembali ke diri kita masing-masing menerima insight [pandangan] dari luar, terus memang permasalahan teman-teman Papua di Jogja itu yang paling mendasar pertama mereka tidak bisa berbaur dengan masyarakat. Kalau menurut saya, karena kita datang sebagai tamu, jadi kita yang harus berbaur pemilik negeri. [Tetapi sebaliknya], pikirnya kita tamu, jadi harus dihargai, padahal itu pikiran yang salah," ujar Grein ketika diwawancarai Espos melalui sambungan telepon pada Rabu (27/11/2024). 

Meskipun begitu, dia menegaskan bahwa ujaran kebencian yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Jogja tetap salah. Namun, dengan fenomena tersebut, dia berharap agar mahasiswa Papua di Jogja itu menanggapi ujaran kebencian dan kritikan itu dengan mental baja. Hal ini dikarenakan ujaran kebencian dan diskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. "Buktikan datang ke Jogja untuk kuliah, buktikan di situ," terang Grein. 

Salah satu hal yang dilakukan selama berkuliah di Jogja adalah berbaur dengan masyarakat lokal Jogja. Hal ini ia lakukan untuk mengurangi sentimen negatif terhadap mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di Jogja. 

"Jadi solusinya agar berbaur dengan punya kegiatan yang kita suka, misal teman-teman Papua suka dengan olahraga, bisa berbaur di situ dulu. Dan itu teman-teman Papua dan adik dari sekarang di bawah 2020 proses berbaurnya seperti itu. Teman-teman Papua di UGM berbaur dari olahraga, yang basket berbaur dengan basket. Jadi proses berbaur dari lingkup yang kecil," jelas dia. 

Penyebab Ujaran Kebencian dan Solusinya

Perguruan Tinggi di DI Yogyakarta. (Solopos/Nugroho Meidinata)

Jogja yang dikenal sebagai Kota Pelajar memiliki sejumlah perguruan tinggi terkemuka, baik negeri maupun swasta. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 126 peguruan tinggi di Jogja, yang terdiri dari 109 di bawah naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi serta 17 perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama.

Oleh karena itu, Jogja  menjadi salah satu tujuan utama masyarakat Indonesia untuk menempuh pendidikan di sini, termasuk masyarakat Papua. Berdasarkan data dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) Daerah Istimewa Yogyakarta, per Juli 2019 jumlah mahasiswa Papua di Jogja lebih dari 15.000 lebih. Hal ini mengalami peningkatan yang signifikan dari 2015. Pada tahun itu, jumlah mahasiswa Papua di Jogja masih di angka 13.119. 

Jumlah mahasiswa Papua di DIY. (Solopos/Nugroho Meidinata)

Banyaknya mahasiswa Papua di Jogja tidak terlepas dari ujaran kebencian di media sosial dan diskriminasi di kehidupan sehari-hari. Susahnya cari tempat tinggal atau indekos karena banyak masyarakat Jogja tidak menerima mahasiswa dari Papua hingga ujaran kebencian dijuluki "Malika" kerap dialami mereka. Malika merupakan nama ilmiah dari kedelai hitam. 

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Gugus Tugas Papua UGM Arie Ruhyanto, stereotipe tentang mahasiswa Papua sejauh ini memang negatif. Ada beberapa faktor yang bisa dilihat, yakni adanya faktor budaya dan sejarah yang memperkuat ujaran kebencian dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jogja.

"Trikora dikampanyekan dimulai dari sini yang Presiden Bung karno dilakukan di Alun-Alun Utara. Ada gerakan bebaskan Irian Barat dan macam-macam kala itu, namun digagalkan oleh Bung Karno lewat Trikora. Secara psikologi alam bawah sadar mereka sangat tidak menghendaki tidak terlepas dari NKRI. Gerakan merebut Papua dari Jogja, tertanam betul. Sehingga upaya-upaya separatisme dari masyarakat Papua dianggap mengkhianati perjuangan masyarakat Jogja," ujar Arie kepada Espos, Selasa (26/11/2024). 

Kemudian, juga soal perilaku sekelompok Papua di Jogja yang disebut kerap melakukan kerusuhan hingga mabuk-mabukan. Hal ini yang membuat masyarakat Jogja menggeneralisasi mahasiswa Papua biang rusuh.

Arie mengatakan hal ini juga ikut berkontribusi dalam memperkuat stereotipe mahasiswa Papua di Jogja. Meskipun begitu, hal tersebut tidak dapat dibenarkan. 

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bernando J Sujibto, mengungkap penyebab lain dari fenomena tersebut. Tidak adanya integrasi antara mahasiswa Papua di Jogja dan masyarakat lokal Jogja juga menimbulkan diskriminasi dan ujaran kebencian yang semakin masif dialami mereka. 

Hal ini ditambah dengan konflik yang melibatkan mahasiswa Papua di Jogja, termasuk kejadian Babarsari Gotham City pada 2022 dan kerusuhan di Asrama Papua di Kusumanegara 2016. 

"Artinya, tidak ada upaya sistematis secara baik dan komprehensif meminimalisir kejadian-kejadian seperti ini. Jadi, misalkan ada konflik kecil dibiarkan. Kejadian-kejadian ini dibiarkan jadi menggumpal. Citra orang timur mabuk-mabukan di jalan, tukang pukul, urakan, konflik, itu semakin besar," ujar Bernando kepada Espos pada Kamis (28/11/2024).

Maka dari itu, diperlukan ruang temu antara mahasiswa Papua dengan masyarakat lokal Jogja agar hal-hal tersebut tidak terjadi. Bernando mengatakan sebelum 2011, pernah ada festival anjungan daerah yang mempertemukan organisasi tiap daerah, termasuk Papua. Namun, acara-acara tersebut kini tidak ditemukan. Padahal menurut Bernando, ruang pertemuan ini penting. 

Berbagai pihak bisa menjadi inisiator dalam ruang pertemuan antara mahasiswa Papua dan masyarakat lokal, yakni perguruan tinggi hingga pemerintah. 

Jika fenomena ini dibiarkan terus menerus, akan memberikan dampak negatif kepada mahasiswa Papua. Dengan begitu, mereka akan lebih mengeksklusifkan diri lagi dengan kelompoknya. "Dalam teori sosiologi, konflik memperkuat integrasi kelompoknya, yang diarahkan Papua, dia akan memperkuat kelompoknya sendiri," beber dia. 

Arie Ruhyanto juga mengatakan pola komunikasi antara kedua belah pihak harus dibangun agar tidak tercipta diskriminasi dan ujaran kebencian yang dialami mahasiswa Papua di Jogja. "Dari masyarakat sendiri Jogja, perlu melihat lebih proporsional, tidak mengeneralisir. Yang mabuk-mabukan bukan orang Papua, orang Jogja sendiri juga mabuk-mabukan. Orang jogja juga enggak pakai helm. Enggak fair juga orang Papua digeneralisir seperti itu," pungkas Arie. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Januardi Husin, mengatakan media massa juga mempunyai peranan penting dalam mengurangi ujaran kebencian yang dialami mahasiswa Papua di Jogja. 

"Media penting banget, media salah satu tempat yang mampu menetralisir sumbu di media sosial. Misalnya ketika narasi negatif terhadap teman-teman Papua di X, yang bisa menjadi katalisator media massa. Problemnya, di media tidak mampu melihat persoalan. Seringkali terbawa dalam kejadian-kejadian yang sedang naik," kata pria yang akrab disapa Juju itu kepada Espos, Selasa (26/11/2024). 

Juju bercerita dalam kerusuhan yang terjadi di Babarsari, Depok, Sleman, di Yogyakarta pada Juli 2022 lalu yang melibatkan mahasiswa Papua itu media massa hanya cenderung mengangkat narasi-narasi dari pihak kepolisian tanpa melihat sisi dari mahasiswa Papua. 

"Babarsari trending di Twitter, itu pasti ada kejadian apa. Sebagian poros dari media itu narasi dari polisi, bukan teman-teman Papua. Tempat untuk teman-teman Papua menyampaikan ke media massa masih kurang. Kalau seperti itu media massa, tidak bisa menjadi katalisator terhadap sentimen negatif terhadap teman-teman Papua," jelas Juju.  

Sentimen: neutral (0%)