Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: covid-19
Upah Minimum Versus Bla Bla Bla....
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Upah Minimum Versus Bla Bla Bla....](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2022/12/Hijriah_Al_Wakidah.jpg?quality=60)
Pembahasan seputar kenaikan upah pasti muncul setiap menjelang pergantian tahun. Ini menjadi semacam siklus yang tidak bisa hanya didiamkan atau sekadar pelengkap informasi seputar ekonomi dan bisnis.
Pembahasan tentang kenaikan upah itu biasanya diwarnai dengan tarik ulur pendapat antara pengusaha dan buruh/pekerja dan argumen-argumen itu tak lepas dari topik pertumbuhan ekonomi, inflasi, daya beli masyarakat, potensi kenaikan harga barang-barang, dan daya saing industri.
Kali ini lebih menarik. Kalangan pekerja mungkin bisa saja senang dengan keputusan pemerintah tentang kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5%, biarpun jika membuka data historis paling tidak 10 tahun terakhir, angka 6,5% itu bukanlah angka yang fantastis.
Data di satudata.kemnaker.go.id menunjukkan pada 2023 nilai rata-rata upah minimum adalah Rp2.923.309,04 atau naik 7,5%. Sumber data lain menyebut UMP pada 2012-2016 pernah naik double digit.
Pada periode 2020-2022 tidak perlu kita bandingkan karena ada kondisi istimewa pada tahun itu, yakni pandemi Covid-19. Saya tidak akan membahas apa sih yang bisa masyarakat peroleh dari kenaikan upah 6,5%?
Yang menarik dari pembahasan upah minimum tahun ini adalah bahwa kenaikan upah bakal dikeroyok dengan lebih banyak kenaikan beban yang akan diterima masyarakat pada 2025.
Siapa saja yang akan mengeroyok si kenaikan upah minimum? Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), tambahan iuran pensiun, normalisasi pajak penghasilan final (PPh Final) bagi wajib pajak orang pribadi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), atau iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) jika jadi diterapkan.
Center of Economic and Law Studies (Celios) berpendapat kenaikan upah 6,5% itu tidak ada apa-apanya dengan sederet kenaikan beban baru masyarakat pada tahun 2025.
Idealnya, jika upah minimum dihadapkan pada kenaikan banyak hal itu, seharusnya angkanya bukan 6,5%, tetapi minimal 8,7%-10%. Angka itu dinilai sebagai angka ideal untuk memberikan stimulus atau menopang daya beli masyarakat, khususnya segmen kelas menengah.
Kita tahu jauh sebelum berbagai wacana kenaikan beban masyarakat itu mencuat, daya beli masyarakat menunjukkan tanda-tanda melemah. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 menunjukkan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia tinggal 52 juta jiwa dari angka 60 juta jiwa pada 2018.
Sinyal melemahnya daya beli masyarakat juga ditunjukkan dengan deflasi di Indonesia yang terjadi sekian kali berturut-turut.
Deflasi yang terdengar menguntungkan karena tren harga barang yang lebih rendah sejatinya adalah alarm karena menjadi fenomena makro ketika ekonomi masyarakat sedang tidak cukup kuat untuk membeli barang-barang kebutuhan.
Banyak pengamat memproyeksikan pelemahan daya beli akan berlanjut dan masyarakat akan mengantisipasi beban pengeluaran yang lebih besar dengan menahan belanja.
Dari sini semestinya kebijakan ekonomi negara tidak hanya berfokus pada angka upah minimum, tetapi juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat secara menyeluruh.
Seiring dengan kenaikan upah minimum, pemerintah juga harus memastikan ada kebijakan yang mendorong pengurangan biaya hidup agar kenaikan upah tersebut benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga.
Alternatif lain, daripada membuat perbandingan antara kenaikan upah minimum dengan kenaikan beban-beban lain yang mengeroyok angka upah, yang jelas tidak lagi sebanding, mungkin negara perlu mengangkat pentingnya kebijakan ekonomi yang lebih inklusif.
Kebijakan itu seperti memberikan ruang bagi pekerja di sektor informal atau sektor lain yang tidak terjangkau upah minimum, tetapi juga merasakan dampak inflasi dan kenaikan harga barang.
Kenaikan UMP seharusnya diiringi pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya mencakup sektor formal, tetapi juga pekerja di sektor-sektor lain yang mengalami tekanan serupa.
Sebagai ibu rumah tangga, saya merasakan betul pengeluaran rumah tangga semakin besar dengan berbagai kebutuhan baru yang muncul seiring waktu.
Saya bukan orang kaya yang selama ini atau nanti akan menikmati insentif PPN dari pemerintah, dan bukan pula kelompok masyarakat penerima subsidi kendaraan listrik.
Saya juga bukan kelompok masyarakat yang masuk kategori penerima bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai, bahkan pendaftaran anak saya ke Program Indonesia Pintar saat masih sekolah dasar dulu tidak disetujui.
Deretan kenaikan berbagai beban tadi yang siap mengeroyok kenaikan upah minimum menjadi hal yang sangat riskan dihadapi kelompok masyarakat kelas menengah seperti saya, misalnya, yang sedikit beruntung masih bisa menikmati subsidi energi, bahkan tidak semua kebutuhan energi di rumah tangga saya dapat subsidi.
Jadi, kalau masyarakat kelas menengah mungkin tidak mampu menghitung secara riil seberapa besar pemerintah mengintervensi kemampuan daya beli masyarakat, mereka—termasuk saya—berharap pemerintah bisa mengurangi beberapa beban yanga dihadapi masyarakat.
Pengurangan beban itu seperti mengurangi pajak barang-barang konsumsi dan menstabilkan harga bahan pokok. Peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pendidikan yang diikuti dengan biaya kesehatan dan pendidikan yang lebih terjangkau mungkin jauh lebih dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Saya berharap para pemangku kebijakan lebih memprioritaskan keseimbangan antara kenaikan upah dan kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup. Angka 6,5% ini harus cukup untuk menjaga daya beli pekerja, bukan hanya memenuhi angka statistik semata.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)