Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Temanggung
Pigura Tua
Espos.id Jenis Media: Kolom
Di suatu ruang keluarga rumah tua milik perempuan tua petani tembakau di ujung barat Temanggung, Jawa Tengah, saya menemukan pigura tua berjamur yang terpampang di dinding renta.
Di pigura tua itu terdapat tulisan yang mulai luntur berbunyi "Ajining Raga Saka Busana, Ajining Diri Saka Lathi". Itu merupakan ungkapan berbahasa Jawa yang mengingatkan manusia bahwa harga diri seseorang ditentukan ucapannya, sedangkan kehormatan seseorang ditentukan busananya.
Sempat bibir ini bergerak untuk bertanya, sejak kapan dan kenapa pigura berisi ungkapan tersebut ditempelkan di dinding ruang keluarga? Pemilik rumah sempat menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya mengajak duduk dan menjawab pertanyaan, sembari mengunyah kinang.
Ia kemudian menjawab perlahan dan bertahap. Intinya, pemilik rumah yang merupakan petani tembakau tersebut menyadai zaman akan semakin modern dan tata krama Jawa perlahan-lahan akan mulai dilupakan. Ia tak ingin itu juga terjadi pada keturunannya.
Ia memajang ungkapan Jawa tersebut di ruang keluarga agar anak, cucu, dan berharap hingga cicitnya kelak selalu mengingat. Ia tak ingin keturunannya menjadi orang yang berlisan bobrok dan berpakaian sembarangan sehingga menjatuhkan harga diri serta kehormatan keluarga.
Peristiwa di ruang keluarga milik petani tembakau yang tak lain bude saya itu sebenarnya terjadi puluhan tahun silam. Peristiwa itu kembali terbesit di ingatan saya setelah peristiwa viral belakangan hari ini. Kebanyakan masyarakat yang mengenal media sosial hampir pasti mengetahui video viral seorang lelaki yang dianggap sebagai pemuka agama memaki pedagang es teh di suatu acara pengajian.
Meski permasalahan antara keduanya sudah dianggap selesai setelah si pemuka agama meminta maaf, namun makian itu masih terus terbesit di ingatan kebanyakan orang. Sekasar itukah ulama sekarang?
Kok orang kayak begitu dipanggil "gus"? Ah, zaman sekarang ustaz cuma jual agama! Itulah kira-kira penilaian dan persepsi masyarakat yang menerapkan peribahasa ”nila setitik rusak susu sebelanga”. Gara-gara kesalahan ucap satu orang, semua dipukul rata.
Peristiwa ini menjadi gambaran nyata betapa penting menjaga lisan dan sikap, bukan hanya untuk menghindari melukai hati orang lain, tetapi juga demi menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga.
Ucapan yang tidak terkontrol dapat menjadi bumerang, meruntuhkan citra baik yang telah dibangun bertahun-tahun dalam hitungan detik. Ungkapan Jawa "Ajining Raga Saka Busana, Ajining Diri Saka Lathi" mengingatkan kita bahwa ada tanggung jawab moral dalam setiap perkataan yang kita lontarkan, terlebih jika ucapan itu dilontarkan di tengah-tengah khalayak ramai.
Kata-kata dan pilihan bahasa mencerminkan siapa kita sebenarnya, sejauh mana kita menghormati orang lain, seberapa beradab kita sebagai masyarakat modern, serta bagaimana kita menjaga harga diri dan kehormatan keluarga.
Ungkapan pada pigura tua itu menggambarkan betapa seorang petani tembakau sadar akan perubahan zaman, serta betapa relevan ungkapan tersebut untuk zaman sekarang ketika dunia cepat berubah, tetapi nilai-nilai dasar seperti tata krama, sopan santun, dan penghormatan terhadap orang lain tetaplah relevan sepanjang masa.
Ironisnya, peristiwa yang terekam video viral antara pemuka agama dengan pedagang es teh itu menunjukkan bahwa kadang-kadang, ketika emosi mendominasi, tata krama seakan-akan hilang dalam sekejap.
Ketika seseorang yang dihormati gagal menjaga ucapan, dampaknya bisa jauh lebih besar karena ia bukan hanya meruntuhkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri, tetapi juga memengaruhi pandangan masyarakat terhadap kelompok atau institusi yang diwakili.
Masyarakat kita kerap kali menggunakan standar moral kolektif untuk menilai seseorang dan ketika kesalahan kecil terjadi, hukuman sosial sering kali datang dengan cepat dan keras. Sayangnya, pada era digital, setiap ucapan dan tindakan dapat terekam dan menyebar dengan begitu mudah.
Satu kalimat yang diucapkan dengan nada kasar dapat menjadi tagline buruk yang membayangi seseorang selama bertahun-tahun. Inilah penyebab penting bagi siapa saja—bukan hanya tokoh masyarakat—selalu berhati-hati dengan kata-kata.
Menjaga ucapan bukan sekadar soal kesopanan, tetapi juga soal menjaga keseimbangan sosial. Dalam budaya Jawa, ucapan buruk dianggap bisa menodai tidak hanya diri sendiri tetapi juga nama keluarga.
Oleh karena itu, banyak orang tua zaman dahulu yang menekankan pentingnya berbicara dengan bijak, tidak hanya untuk melindungi hubungan sosial, tetapi juga menjaga nama baik keluarga.
Peristiwa ini memberikan pelajaran besar kepada kita semua. Ketika seseorang berbicara atau bertindak dengan cara yang tidak pantas, ia tidak hanya melukai orang yang menjadi objek kemarahan, tetapi juga merendahkan dirinya sendiri.
Kata-kata kasar dan perilaku yang tidak terkendali adalah cerminan dari jiwa yang belum sepenuhnya matang. Sebaliknya, ucapan yang lembut, penuh pengertian, dan tetap tegas menunjukkan karakter yang kuat dan bermartabat.
Dalam konteks yang lebih luas, tata krama yang baik bukan hanya tentang bagaimana kita terlihat di mata orang lain, tetapi juga tentang menjaga kehormatan pribadi.
Kehormatan diri seseorang adalah aset yang tidak ternilai harganya, yang hanya bisa dipertahankan melalui sikap dan ucapan yang konsisten dengan nilai-nilai moral. Pesan yang tersirat padai pigura tua di ruang keluarga tua itu sangat jelas, menjaga tata krama adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap diri sendiri.
Ketika kita berbicara atau bertindak dengan buruk, pada dasarnya kita tidak hanya melukai orang lain, tetapi juga menjatuhkan harga diri kita sendiri. ”Ajining Raga Saka Busana, Ajining Diri Saka Lathi" bukan hanya ungkapan lama yang terpajang pada pigura tua di dinding renta.
Itu merupakan cermin yang mengingatkan kita bahwa di tengah hiruk-pikuk zaman modern, tata krama tetap menjadi pilar penting dalam membangun karakter manusia yang utuh dan bermartabat.
Di dunia nyata maupun di dunia maya, menjaga ucapan dan sikap adalah bentuk penghormatan kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)