Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Ferrari, Ford, Honda
Event: Formula 1
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Las Vegas, Pasar Baru, Tiongkok
Tokoh Terkait
General Motors di Formula 1, Sinyal Kebangkitan Pabrikan AS?
Tirto.id Jenis Media: News
tirto.id - Hal pertama yang disadari oleh Liberty Media usai mengakuisisi Formula One (F1) dari tangan Bernie Ecclestone adalah merosotnya jumlah penonton dalam beberapa tahun terakhir. Menurut mereka, kegagalan terbesar rezim Ecclestone adalah menarik minat generasi muda untuk menyaksikan F1.
Berangkat dari situ, Liberty Media mengambil langkah yang rasanya takkan pernah terpikirkan oleh Ecclestone. Mereka mendekati Netflix, pelantar streaming terpopuler sejagat raya, untuk memproduksi tayangan eksklusif yang menuturkan kisah di balik layar para pembalap serta tim F1. Usulan itu mendapat sambutan baik dari Netflix hingga kemudian lahirlah serial dokumenter berjudulFormula 1: Drive to Survive.
Pertama kali dirilis pada 2019, Drive to Survive masih terus diproduksi hingga kini. Itu tak mengherankan, menurut laporan The Athletic pada April 2023, jumlah penonton setiap tahunnya semakin banyak. Musim kelima yang dirilis pada 2024 telah disaksikan oleh 643 ribu penonton, 37 persen di antaranya berasal dari AS.
Dari sini muncul efek domino. Tingginya jumlah penonton F1 dari AS membuat ajang balap ini menjadi idola baru. Menurut survei yang dilakukan Morning Consult pada 2022, jumlah penonton F1 di AS naik 33 persen sejak 2020. Tak cuma itu, 53 persen responden mengatakan bahwa alasan menyukai F1, tak lain, adalah karena menonton Drive to Survive di Netflix.
Berkat Drive to Survive pula F1 akhirnya bisa menyaingi Indy Car, yang sebelumnya merupakan ajang balap mobil terbuka paling populer di AS. Sekitar 29 persen responden survei mengaku menyukai Indy Car, sementara fans F1 ada di kisaran 28 persen pada 2022.
Tingginya animo masyarakat AS terhadap F1 ini pun direspons cepat oleh Liberty Media yang kebetulan juga berbasis di Negeri Abang Sam. Secara berturut-turut, pada 2022 dan 2023, mereka menambahkan dua kota di AS sebagai tuan rumah F1.
Pada 2022, Miami didapuk sebagai tuan rumah. Tahun berikutnya giliran Las Vegas yang ditunjuk. Ditambah Austin yang sudah menjadi tuan rumah F1 sejak 2012, kini AS memiliki tiga kota penyelenggara balapan.
Bisa dibilang, AS sudah menjadi basis baru bagi fandom F1. Meski demikian, masih ada satu yang kurang dari ini semua, yaitu minimnya keterwakilan AS, baik dalam hal pembalap maupun konstruktor. Pada musim 2024 hanya ada satu pembalap AS di F1, yaitu Logan Sargeant, dan sama sekali tidak ada pabrikan AS yang ikut berkompetisi. Ceruk inilah yang kemudian coba dimanfaatkan oleh General Motors (GM).
Pada 25 November 2024, F1 secara resmi mengumumkan bergabungnya GM sebagai kontestan kesebelas di kompetisi ini. Melalui jenama mewahnya, Cadillac, GM bakal mulai berpartisipasi di F1 mulai musim 2026. BBC mewartakan, untuk berkompetisi di F1, GM/Cadillac harus membayar mahar senilai 450 juta dolar AS sebagai anti-dilution fee (biaya kompensasi berkurangnya uang hadiah seiring dengan masuknya tim baru).
Tim Cadillac Formula 1 akan berada di grid mulai tahun 2026. foto/reuters
Keputusan Polemis tetapi Strategis
Terdapat sebuah "teori konspirasi" di balik bergabungnya GM/Cadillac ke F1. Sebelumnya, ada tim balap AS bernama Andretti Global—dipimpin Michael Andretti, putra juara legenda juara F1 Mario Andretti—yang berusaha berafiliasi dengan F1. Namun, upaya mereka ditolak oleh Liberty Media, yang kemudian memantik perhatian Departemen Kehakiman AS.
Andretti Global sebenarnya sudah menggandeng GM/Cadillac dalam upayanya tersebut. Mengingat status GM sebagai salah satu penyedia lapangan kerja terbesar di AS, penolakan Liberty Media memicu reaksi tak menyenangkan. Menurut laporan The Race, ada anggapan bahwa Liberty Media telah menunjukkan sikap "anti-kompetisi" lewat penolakannya terhadap Andretti/Cadillac.
"Teori konspirasi" yang beredar adalah bahwa Liberty Media akhirnya menyerah terhadap tekanan dari Pemerintah AS sehingga memutuskan menerima GM/Cadillac sebagai salah satu kompetitor. Namun, tidak ada penyematan embel-embel Andretti di dalam nama utamanya.
Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, keputusan GM/Cadillac untuk berkompetisi di F1 bisa dipandang sebagai sebuah langkah strategis.
GM punya sejarah cukup panjang di ajang balap. Lewat berbagai jenama, macam Chevrolet, Pontiac, Oldsmobile, dan Buick, sudah lama sekali GM menorehkan kisah sukses di ajang balap. Namun, sebagian besar di antaranya hanya diraih di level domestik, utamanya pada ajang balap NASCAR serta Indianapolis 500.
Di luar AS, GM sejatinya sudah mampu menggoreskan sejarah dengan tinta emas pada ajang balap ketahanan Le Mans melalui Cadillac dan Corvette. Sembilan kemenangan sudah dibukukan GM lewat jenama Corvette.
Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat pada ajang bersejarah tersebut, mereka bukanlah F1 yang popularitasnya betul-betul mengglobal. Maka, masih ada anggapan bahwa GM hanyalah pemain minor di ajang balap internasional, meski sempat sukses di Le Mans.
Citra itulah yang ingin diubah GM. Dalam pernyataan resminya, Presiden GM, Mark Reuss, berujar, "Sebagai puncak dari motorsport, F1 menuntut inovasi menembus batas dan kesempurnaan. Ini adalah panggung global bagi GM untuk mendemonstrasikan kehebatan teknologi kami di level yang berbeda."
Ucapan Reuss bisa diartikan bahwa GM siap melebarkan sayapnya. Sejauh ini, selain di AS, jangkauan GM baru mencapai Tiongkok, Korea Selatan, Brasil, Timur Tengah, dan Eropa. Lewat demonstrasi yang ditampilkan di F1, GM seperti tengah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pasar baru yang belum mereka jamah selama ini.
Selain itu, F1 dan GM memiliki keselarasan dalam memandang masa depan. Keduanya sama-sama menginginkan prospek otomotif yang berkelanjutan. Secara khusus, GM sudah menyatakan, pada era mendatang, semua mobil bikinannya bakal bertenaga listrik.
Di sisi lain, mulai musim 2026, F1 memiliki regulasi baru untuk mencapai net zero pada 2030. Mereka akan menggunakan bahan bakar berkelanjutan dan 50 persen mesinnya bakal bertenaga listrik.
Artinya, F1 bakal menjadi laboratorium bagi GM untuk terus berinovasi dengan teknologi terbaru di bidang otomotif, mulai dari soal mesin, baterai, sampai aerodinamika.
Pebalap Formula One Mercedes Lewis Hamilton terlihat saat latihan dalam Monaco Grand Prix di Circuit de Monaco, Monte Carlo, Monaki, Kamis (29/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Gonzalo Fuentes/foc/cfo
Memprediksi Kans GM/Cadillac di F1
Rekam jejak pabrikan AS di ajang F1 bisa dibilang kurang mentereng, terutama jika dibandingkan pabrikan-pabrikan Eropa dan Jepang, macam Ferrari, Honda, Mercedes, juga Renault. Namun, bukan berarti tidak pernah ada pabrikan AS yang sukses di sana. Pada dekade 1960-an hingga 1980-an, Ford pernah menjadi salah satu tim tersukses di F1 dengan torehan 10 gelar juara dunia konstruktor.
Sayangnya, Ford kemudian tertinggal dari pabrikan-pabrikan Jepang dan Eropa. Kesuksesan terakhirnya di F1 terjadi pada 1994, ketika Michael Schumacher merengkuh titel juara dunia perdananya. Pada era tersebut, ada pula pabrikan AS lain yang bersaing di F1, yaitu Chrysler. Akan tetapi, performanya jauh dari kata impresif.
Memasuki paruh kedua dasawarsa 2020-an, pabrikan-pabrikan AS siap kembali berbicara banyak di F1. Sebelum GM/Cadillac diresmikan sebagai tim ke-11, Ford sudah terlebih dahulu mengumumkan comeback. Pada musim 2026, rencananya mereka akan mempersenjatai mobil-mobil milik tim Red Bull yang sampai sekarang masih bermesin Honda.
GM/Cadillac nantinya tidak akan langsung menggunakan mesin bikinan mereka sendiri. Selama dua musim pertama, mereka akan berkontestasi dengan mesin yang dikembangkan oleh Ferrari. Baru pada 2028 nanti mesin Cadillac akan benar-benar digunakan. Untuk bisa mengembangkan tim dengan mobil andal, langkah pertama GM/Cadillac adalah menyusun tim mumpuni.
Sejumlah nama sarat pengalaman di F1 telah bergabung dengan GM/Cadillac mulai dari Nick Chester (eks Arrows, Lotus, dan Mercedes FE) sebagai direktur teknik, Jon Tomlinson (eks Jordan, Renault, dan Mercedes FE) sebagai kepala bagian aerodinamika, John McQuilliam (eks Manor dan Prodrive) sebagai kepala desainer, serta Chris Green (eks Brawn dan Mercedes) sebagai kepala teknologi informasi. Selain itu, ada nama Mario Andretti yang bakal berperan sebagai penasihat.
Setelah itu, langkah yang harus dilakukan adalah menentukan dua pembalap utama. Sejauh ini belum ada satu nama pun yang benar-benar menjadi favorit, meskipun GM/Cadillac disebut-sebut bakal memprioritaskan pemuda lokal. Dua pembalap lokal terdepan saat ini, selain Sargeant, adalah Colton Herta—putra eks joki CART, Bryan Herta.
Menilik line-up serta pembalap yang dijadikan target saat ini, kans GM/Cadillac untuk bisa langsung mendobrak ke papan atas sebenarnya tidak terlampau besar. Apalagi, mesin Ferrari yang akan mereka gunakan nanti bisa dipastikan bukan mesin terbaik. Bagi tim baru seperti GM/Cadillac, meraih poin saja sudah menjadi prestasi tersendiri, terutama mengingat bagaimana Haas—tim AS terakhir di F1—selalu gagal melakukannya.
Barangkali, kekuatan GM/Cadillac yang sebenarnya baru bisa disaksikan ketika mereka sudah menggunakan mesin bikinan sendiri pada 2028. Perihal itu, tentu saja General Motors memerlukan biaya tak sedikit. Sebagai gambaran, selama semusim, rata-rata tim F1 membutuhkan dana 135 juta dolar AS. Jumlah ini seharusnya bukan masalah bagi GM yang pendapatan tahunannya mencapai ratusan miliar dolar.
Yang jelas, GM sebenarnya punya banyak jam terbang di dunia balap. Persoalannya tinggal bagaimana menerjemahkan semua itu ke jagat F1 yang sangat berbeda dengan NASCAR, Le Mans, atau Indy 500.
Mengingat dana rasanya takkan jadi kendala bagi GM, kesuksesan nanti bakal lebih ditentukan oleh cara mereka menakhodai tim. Kuncinya manajemen, sebab F1 merupakan perlombaan sumber daya manusia.
Sentimen: positif (100%)