Sentimen
Negatif (66%)
8 Des 2024 : 11.39
Informasi Tambahan

BUMN: BRI

Institusi: Universitas Indonesia

Kab/Kota: Banyumas, Tegal

Kasus: covid-19, PHK

Ekonomi Tak Pasti, Banyak Iuran Menanti

8 Des 2024 : 11.39 Views 61

Tirto.id Tirto.id Jenis Media: News

Ekonomi Tak Pasti, Banyak Iuran Menanti

tirto.id - Mukroni kaget saat menemui fakta bahwa beras di lapak langganannya naik sekitar Rp100-200 per kilogram. Namun, sebagai pemilik warung tegal (warteg), sudah pasti dia membeli bahan pangan pokok tersebut dalam jumlah besar.

Sehingga, kenaikan harga yang dirasanya sudah mulai terjadi sejak awal Desember 2024 ini cukup memberatkan baginya.

“Naiknya memang, kan, per kilo ya Rp100-200. Tapi kan kalau kami [beli] jumlahnya besar, kan, lumayan juga, kan, per karungnya. Kami enggak mungkin beli sekilo doang. Itu, kan, juga dampaknya lumayan gitu, kan,” kata Mukroni, saat berbincang dengan Tirto, Selasa (3/12/2024).

Kenaikan harga beras itu, menurut dia, masih akan berlanjut dan semakin tinggi ketika tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen resmi diterapkan per 1 Januari 2025. Beras memang menjadi salah satu barang yang dikecualikan dari tarif PPN bersama gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Namun, ekosistem logistik di baliknya, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) tak bisa bebas dari pungutan pajak. Alhasil, berbagai bahan pangan tersebut tetap saja akan mengalami kenaikan harga.

“Artinya, kan, walaupun dalam PPN dikecualikan bahan sembako yang menjadi kebutuhan warteg, tapi kan menjadi masalah ketika ada efek dominonya. Karena yang lain pada naik, maka bahan baku juga nanti akan naik,” kata Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) itu.

Padahal, pasca pandemi Covid-19, para pengusaha warteg belum pulih-pulih amat dari keterpurukan. Rencana pemerintah untuk mengubah skema penyaluran BBM bersubsidi, yang dikhawatirkan akan membuat harga bensin golongan tertentu mengalami kenaikan menambah kekhawatiran yang bercokol di kepala Mukroni semakin besar.

Sebab, sebagai Ketua Kowantara, dia mendapat laporan sudah ada sekitar 200 usaha warteg mati karena pelemahan daya beli masyarakat. Parahnya, jumlah itu hanya didapatnya dari satu daerah saja, Jakarta Timur, belum dari sudut-sudut lain Jakarta. Tahun depan, dengan penaikan harga berbagai barang imbas penyesuaian tarif PPN dan perubahan skema BBM, dia takut keberlangsungan usaha warteg akan semakin terancam.

“Kalau misalnya (harga) bahan naik, kan, menu harganya akan kami naikkan mau enggak mau. Itu juga akan berdampak kepada pelanggan dengan daya beli belum pulih. Dan ya itu tadi income kami akan berkurang dan ekonomi rakyat bawah menjadi stagnan atau malah turun,” kata Mukroni.

Pelemahan daya beli masyarakat semakin dirasakan Kartika, yang merupakan pemilik usaha bakery dan pastry di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah sejak paruh kedua 2024. Sudah kondisi ekonomi makin sulit, para produsen dan distributor bahan baku roti mulai menaikkan harga barang dagangannya sejak bulan kemarin. Alasannya, ancang-ancang sebelum PPN betul naik di awal tahun.

“Biar nanti sudah benar diberlakukan, dia (pembeli) sudah bisa beli untuk yang harga selanjutnya gitu loh. Jadi bahan-bahan baku (roti) aku gitu. Aku sudah perhatiin nih, ada yang naiknya lumayan drastis, pokoknya semua naik,” beber Tika, sapaan Kartika, kepada Tirto, Selasa (3/12/2024).

Sebagai contoh, sekaleng butter merk Anchor dengan berat sekitar 2,5 kilogram yang sebelumnya dihargai Rp360 ribu menjadi hampir Rp425 ribu. Pun dengan margarin yang kini menjadi di kisaran Rp360 ribu per kaleng, dari sebelumnya Rp350 ribu.

Sebagai pengusaha panganan yang telah memiliki pelanggannya sendiri, Tika mengaku tak bisa sembarangan mengganti bahan baku yang selama ini digunakannya dengan bahan-bahan dari jenama lainnya. Karena dikhawatirkan akan mengubah cita rasa dari produknya.

“Kalau dalam produksi bakery dan pastry, butter kan memainkan peran untuk rasa ya, jadi rasa wangi, tekstur. Jadi kalau kita mau ganti merek itu, kami mikir, karena kan kami sudah punya pelanggan yang tahu rasanya, kalau misalkan kami mencoba yang lain tuh, takutnya gambling ke depannya,” ujarnya.

Sementara itu, seiring dengan pelemahan daya beli masyarakat yang terjadi lima bulan belakangan -tercermin dari tingkat inflasi rendah, membuat Tika dan suaminya harus memutar otak untuk menjajakan kue-kue kering dan beragam roti yang diproduksinya.

“Jemput bola lah, nitipin dari satu toko ke toko lain,” kata ibu empat anak itu.

Namun, jika pemerintah jadi merealisasikan perubahan skema penyaluran BBM subsidi di 2025, maka ongkos distribusi tokonya akan jadi tantangan tersendiri.

Opsi untuk membuka toko demi menghemat biaya distribusi pun tak menjadi prioritasnya di 2025. Sebab, saat memutuskan untuk menyewa toko, mau tak mau dia harus membebankan biaya tersebut ke ongkos produksi. Artinya, dia harus menaikkan harga jual produknya. Sedangkan keputusan untuk menaikkan harga jual produk menjadi pilihan terakhir di tengah tantangan untuk menambah jumlah konsumen.

“Akhirnya, pengusaha itu harus memikirkan bagaimana bisa buat besok gitu. Sementara jalan saja dulu deh, enggak usah mikir gue dapat saving segini, gue bisa alokasi ini-ini, buat ini itu. Sama satu lagi sih yang agak rentan juga itu usaha yang emang butuh sewa tempat (karena mahal),” imbuhnya.

Pelemahan daya beli masyarakat dan juga sulitnya ekonomi Indonesia lantas membuat Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 hanya akan berada di level 5,00-5,05 persen dan sekitar 5,0-5,1 persen di sepanjang 2025. Prediksi ini tak berbeda jauh dari pertumbuhan ekonomi nasional di 2023 yang berada di level 5,05 persen.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh di kisaran 5 persen dan paling tinggi 5,02 persen pada 2024. Sedangkan di 2025, ekonomi diperkirakan hanya akan tumbuh di kisaran 4,8 - 5 persen, juga tak lebih tinggi dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2025 yang sebesar 5,2 persen.

Lebih kecil dari kedua lembaga tersebut, Center of Economics and Law Studies (Celios) meramal, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang 2024 hanya akan tumbuh di kisaran 5 persen dan turun menjadi sekitar 4,9 persen di tahun depan.

“Perkiraannya bisa ya kalau misalkan ada PPN 12 persen berlaku, itu proyeksinya pertumbuhan ekonomi bisa turun sampai 4 persen, 4,03 persen. Apabila kebijakan PPN ditangguhkan dan ada stimulus tambahan untuk perlindungan, bansos (bantuan sosial) kelas menengah misalnya, itu mungkin pertumbuhan ekonomi tahun depan masih bisa di level 4,9-5 persen,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Selasa (3/12/2024).

Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga ekonomi dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Dunia (International Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), prediksi lembaga-lembaga ekonomi nasional memang lebih pesimistis.

Namun, hal itu bukan tanpa sebab. Rencana penaikan tarif PPN, perubahan skema subsidi BBM, penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan, dan kebijakan-kebijakan tak merakyat lainnya lah yang menyebabkan LPEM FEB UI, CORE Indonesia, dan Celios memasang ramalan rendah ekonomi nasional.

Dalam laporannya yang berjudul PPN 12% - Pukulan bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, Celios mengungkap, pungutan yang ditarik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, berisiko menurunkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hingga Rp65,3 triliun dan mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun.

Selain itu, penaikan PPN menjadi 12 persen juga akan menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, tambahan pengeluaran bagi kelompok rentan miskin sebesar Rp153.871 per bulan dan kenaikan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan bagi kelompok masyarakat kelas menengah.

“Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP, pemerintah sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif PPN dalam rentang 5-15 persen melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif tidak sepenuhnya bersifat wajib, dan ada ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih pro-rakyat,” jelas Bhima.

Namun, alih-alih menunda atau membatalkan kebijakan ini, pemerintah seperti yang disebutkan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu lalu, lebih memilih untuk memberikan bansos berupa subsidi listrik selama 3 bulan. Padahal, dampak bansos hanya sementara, sedang efek yang ditimbulkan dari penyesuaian tarif PPN akan bertahan dalam jangka waktu lama.

“Kenaikan tarif PPN berpotensi memperberat daya beli masyarakat yang saat ini sudah melemah,” lanjut dia.

Pada triwulan III 2024 saja, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sebesar 4,91 persen secara tahunan (yoy) dan bahkan menurun sebesar -0,48 persen secara kuartalan (q toq), dari yang sebelumnya 4,93 persen. Kemudian, sempat pula terjadi deflasi selama lima bulan beruntung sebelum kembali mencatatkan inflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan (month to month/mtm) atau 1,71 persen (yoy) di Oktober 2024.

“Serta penurunan omzet UMKM hingga 60 persen menurut laporan Bank BRI menandakan lemahnya kondisi ekonomi masyarakat. Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi ini,” kata Bhima.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat perlambatan ekonomi yang terjadi pada 2025 merupakan kelanjutan dari lemahnya berbagai indikator makroekonomi di penghujung tahun ini. PPN 12 persen yang rencananya bakal diterapkan di awal tahun depan membuat masyarakat utamanya dari kelompok kelas menengah ke bawah tak begitu menantikan datangnya tahun baru.

Ekspektasi buruk ini lantas berpengaruh terhadap kinerja industri yang tercermin melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) atau indeks PMI Manufaktur yang masih saja berada pada zona kontraksi sejak akhir Juli 2024. S&P mencatat, PMI Indonesia November 2024 kontraksi di angka 49,6, lebih baik ketimbang posisi Juli yang sebesar 49,3.

“Kenapa kemudian angka untuk PMI itu masih berada pada level kontraksi? Karena penjualan untuk beberapa produk dinilai relatif belum terlalu mengalami peningkatan ya, meskipun kapasitas produksi mulai digunakan, tetapi penjualan untuk beberapa produk itu tidak mengalami peningkatan yang signifikan dan ini mengindikasikan lemahnya permintaan dari konsumen atau dari masyarakat,” jelas Yusuf, kepada Tirto, Senin (2/12/2024).

Kondisi ini cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana industri manufaktur mulai melaju kencang di akhir tahun, seiring dengan adanya momen Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Di sisi lain, pelambatan ekonomi juga dinilai terjadi karena pemerintah mengerem belanja infrastruktur sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani belum lama ini. Ini pun menjadi hal langka karena di tahun-tahun sebelumnya pemerintah selalu menggenjot pembangunan infrastruktur di seluruh negeri untuk mengerek realisasi belanja pemerintah.

Sebagai informasi, dari catatan Kemenkeu, realisasi belanja pemerintah pusat hingga akhir Oktober 2024 mencapai Rp1.834,5 triliun atau sekitar 74,3 persen dari APBN 2024. Sedangkan belanja kementerian/lembaga (K/L) adalah sebesar Rp933,5 triliun atau 85,6 persen dari pagu APBN 2024.

“Di tahun depan kami proyeksinya 4,8 kisarannya ya 4,8 hingga 5 persen. Kenapa kemudian tidak terlalu jauh angkanya? Karena kami melihat di tahun depan dorongan ataupun kebijakan yang disiapkan oleh pemerintah itu relatif belum terlihat terutama untuk setidaknya menstimulasi perekonomian,” ungkap Yusuf.

Perlambatan ekonomi di 2025 diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap kinerja realisasi investasi. Sebab, investor baik dari dalam maupun luar negeri hanya akan tertarik untuk menanamkan modalnya apabila ekonomi tumbuh dan konsumsi masyarakat terjaga tinggi.

“Tapi seperti yang kita diskusikan di awal karena kebijakannya sebenarnya tidak terlalu banyak yang terlihat untuk mendorong stimulasi perekonomian terutama konsumsi rumah tangga,” imbuh dia.

Di sisi lain, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen oleh Prabowo juga dinilai belum akan mampu mengungkit daya beli masyarakat, apalagi secara drastis. Bagaimanapun, penyesuaian tarif PPN akan berbanding lurus dengan perubahan harga berbagai komoditas serta barang dan jasa.

Namun, selain juga belum ditransmisikan langsung di berbagai daerah, penaikan UMP juga dinilai tak ideal karena masih jauh dari tarif PPN yang akan diterapkan mulai tahun depan. Tidak hanya itu, upah di beberapa sektor bahkan ada yang mengalami perlambatan karena menurunnya kinerja sektor industri yang bersangkutan.

“Terkait upah juga kalau kita lihat misalnya di sepanjang atau data terakhir 2024 menunjukkan untuk beberapa sektor katakanlah seperti pertanian, perdagangan, kemudian juga industri pengolahan, itu tercatat menunjukkan pertumbuhan upah real yang mengalami perlambatan,” tutur Yusuf.

Menyambung Yusuf, menurut Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group (AAG), Andy Nugroho, pemberlakuan kenaikan tarif PPN, penyesuaian iuran BPJS Kesehatan, dan juga perubahan skema subsidi BBM jelas akan memberatkan orang-orang dengan penghasilan terbatas atau kelompok ekonomi kelas menengah dan bawah.

Bagi mereka, kata Andy, bila tidak bisa mendapatkan penghasilan tambahan selain penghasilan utamanya, harus ada pengeluaran yang dipotong atau ditunda. Pada akhirnya, kondisi ini akan berimplikasi pada penurunan omset dunia usaha yang kemudian memperbesar potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan penutupan perusahaan.

“Artinya, efek penurunan konsumsi masyarakat karena daya beli menurun akan semakin luas. Dalam bahasa singkat, akan terjadi penurunan Produk Domestik Bruto,” kata Andy, kepada Tirto, Rabu (4/12/2024).

Di sisi lain, kondisi investasi di Indonesia juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi secara global. Sebagai contoh, saat Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga acuan dan diikuti oleh Bank Indonesia, kebijakan itu dapat berimbas pada semakin diminatinya produk obligasi ritel yang memiliki bunga atau imbal hasil lebih tinggi daripada produk tabungan ataupun deposito bank.

Kemudian, pasca terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS, sedikit banyak membuat pasar saham yang sebelumnya bergejolak, perlahan-lahan tenang kembali karena situasi politik dunia sudah lebih stabil.

“Dan hal tersebut membuat pasar saham menjadi pilihan yang menarik untuk berinvestasi. Kondisi – kondisi ini juga akan membuat harga emas bisa cenderung turun,” imbuhnya.

Akan tetapi, untuk di dalam negeri, penurunan suku bunga BI membuat pasar properti tak menarik lantaran suku bunga kredit juga akan ikut turun. Pun, saat pelemahan ekonomi terjadi di tahun depan, akan semakin mengurungkan niat masyarakat untuk membeli properti baik yang bakal digunakan sebagai hunian maupun investasi menjadi semakin ciut.

“Meskipun suku bunga turun namun kondisi ekonomi tidak terlalu bagus, akan membuat pasar rumah mewah atau mereka yang berencana beli properti untuk investasi akan menjadi bersikap wait and see,” lanjut Andy.

Sementara itu, Bank Indonesia melihat tahun 2025 dengan lebih optimistis. Hal itu terlihat dari proyeksi yang dirilis Bank Sentral, di mana pada 2025 pertumbuhan ekonomi masih akan tumbuh di kisaran 4,8-5,6 persen dan menjadi 4,9-5,7 persen pada 2026.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan, pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh konsumsi swasta dan kinerja ekspor yang diprediksi berjalan cukup baik di tahun mendatang.

“Dengan sinergi tersebut insyaallah ekonomi Indonesia 2025 dan 2026 akan menunjukkan kinerja yang cukup tinggi dan akan membaik,” tutur Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), di Kantor Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).

Adapun konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap terjaga di kisaran 4,5-5,3 persen pada 2025 dan sekitar 4,8-5,6 persen pada 2026. Selain itu, investasi diperkirakan meningkat menjadi 4,4-5,2 persen di 2025 dan menjadi 4,7-5,5 persen di tahun selanjutnya. Sedangkan kinerja ekspor diperkirakan akan tumbuh mencapai 4,8-5,6 persen pada 2025 dan 5,7-6,5 persen pada 2026. Serta inflasi di 2025 dan 2026 diramal masih akan tetap terjaga di kisaran target Bank Indonesia, yakni 2,5 plus minus 1 persen.

Sama halnya dengan Bank Sentral, pemerintah juga masih optimistis pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 dapat tumbuh sesuai target APBN, di kisaran 5,2 persen. Walau tak dipungkiri, dirinya masih akan tetap mewaspadai konsumsi masyarakat di tahun depan.

“Tapi tentu saja, titik-titik yang harus kami waspadai juga ada. Konsumsi harus kita tingkatkan. Investasi akan lebih bagus lagi kalau kita bisa tumbuhkan,” kata Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, saat ditemui usai PTBI.

Selain menjaga agar daya beli masyarakat tak semakin anjlok, pemerintah juga masih akan terus mempercepat realisasi belanja pemerintah, khususnya untuk proyek infrastruktur strategis dan program bansos yang diperkirakan akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) yang signifikan.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, mengatakan, investasi juga menjadi motor penggerak yang penting. Pemerintah mendorong iklim investasi melalui percepatan pembangunan infrastruktur dan penyederhanaan regulasi.

“Terakhir, penguatan sektor riil tetap menjadi prioritas. Industri pengolahan, khususnya makanan, logam dasar, dan farmasi, menunjukkan pertumbuhan yang stabil berkat permintaan domestik dan internasional,” kata Ferry Irawan, dalam pesannya, kepada Tirto, Rabu (4/12/2024).

Sentimen: negatif (66.7%)