Sentimen
Aku Rusa Berbulu Merah
Espos.id
Jenis Media: Lifestyle
![Aku Rusa Berbulu Merah](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2024/12/20241205174153-071224-rusamerah.jpg?quality=60)
Lelaki hampir 50 tahun yang kulitnya sawo matang, rambutnya keriting, dan hidungnya bagai paruh elang itu mungkin terkejut, tidak menyangka aku tiba-tiba berdiri di depan ruangan tempat dia biasa menulis naskah drama atau puisi. Ruangan yang sempit seperti penjara ukuran satu orang itu biasanya kami sebut sekret, kepanjangan dari sekretariat.
Ramah dia menyilakan aku duduk dan tentu saja aku langsung duduk di kursi kayu panjang yang sudah pula puluhan tahun ada di depan sekret. Mungkin sudah lebih 20 tahun aku tidak duduk di kursi ini, kalau dulu nyaris setiap hari. Biasanya sebelum latihan atau sesudah latihan teater.
Aku duduk dengan semua kenangan yang mendadak memenuhi kepalaku dan dia turut pula duduk. Tapi, dia memilih duduk di kursi kayu panjang di hadapanku.
Di depan sekret ada dua kursi kayu panjang yang saling berhadapan. Di antara kedua kursi panjang itu ada sebuah meja pendek yang tidak begitu besar. Meja itu tempat meletakkan minuman atau sepiring gorengan yang biasa dibeli dari luar kompleks kesenian taman budaya.
Sahabat kentalku itu dulu satu kelompok teater bersamaku di teater Lotot. Namun, dua tahun selepas tamat kuliah, aku memutuskan merantau ke Ibu Kota. Keputusan itu secara otomatis membuat aku berhenti berlatih dan bermain teater. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu dengannya.
“Tumben kau mampir. Pasti ada sesuatu.”
“Aku rindu.”
“Rindu? Hahaha, akting pulak kau sama aku. Lagi pun, bukan nggak tahu aku kalau kau sering ke kota ini, tapi kau tak mau singgah.”
Aku tersenyum. Bukan karena tebakannya berhasil menembus jantung alasanku, melainkan dialeknya yang khas mengingatkanku pada saat-saat kami masih sering pergi bareng, makan bareng, latihan bareng, bahkan tidur bareng.
Jujur, bertemu dengannya membuatku teringat masa-masa di mana aku begitu bergairah dan berlimpah semangat dalam berteater. Masa-masa itu sering menggoda ingatan saat aku rindu pada sekret ini. Apakah dia juga mengingat masa-masa itu? Ah, mana mungkin dia lupa. Bahkan, aku yakin dia tak mungkin lupa walau sedikit.
Setiap duduk di kursi kayu ini, ada saja yang selalu kami jadikan bahan cerita. Tentu saja paling banyak tentang mimpi-mimpi besar kami kepada teater. Pernah sekali waktu selesai latihan teater, entah mengapa mendadak dia bertanya padaku.
“Kaya dulu baru berteater atau berteater sampai kaya?”
Kuperhatikan wajahnya dengan saksama. Matanya yang hitam menusuk jiwaku sehingga dapat kupastikan itu pertanyaan yang amat serius.
“Kaya dululah baru berteater!”
“Pulanglah! Balik lagi kalau kau telah menjadi orang kaya!”
Aku tertawa, lalu gantian menatapnya serius. “Kau mengusirku?”
“Loh, kau kan menjawab ‘kaya dulu baru berteater’. Jadi untuk apa kau ada di sini?”
Aku pikir sahabatku itu terlampau serius dalam berteater. Saking seriusnya, dia pun melihat hitam dan putih saja. Padahal dalam hidup masih banyak warna. Pilihan yang dia berikan kepadaku semestinya tak hanya itu.
Pilihan lain kan masih ada, misalnya, tetap berteater seraya mencari pemasukan dari luar teater. Jadi, bukan benar-benar mencari pemasukan (kaya) dari berteater. Tapi, kala itu, dia tetap tidak setuju dan memintaku memilih salah satu.
“Bang Yon, apa kabar? Jadi sekarang kau yang memimpin teater Lotot ini?”
“Tak ada pemimpin-pemimpin di sini. Sesekali Bang Yon juga masih menggarap pertunjukan.”
“Kalau begitu mana Bang Yon? Kenapa tak nampak?”
“Kau teleponlah! Kau kan punya nomornya!”
Sahabatku itu memang apa adanya, tak pernah dia manis-manis cakap. Bahkan dengan Bang Yon, pimpinan teater kami dulu, dia tak sungkan meninggikan suara.
Tapi, kami semua di teater Lotot memahami dirinya. Ya, itu semata karakter belaka. Aslinya dia itu sangat baik.
Pernah suatu kali, kelompok teater kami mengadakan pertunjukan monolog. Sekira satu jam sebelum pertunjukan dimulai, sekelompok orang yang mengatasnamakan ormas keagamaan datang dan meminta kelompok kami membatalkan pertunjukan.
Monolog itu sendiri ketepatan aku yang menjadi aktornya. Tanpa gentar sahabatku itu menjulurkan leher tatkala salah satu oknum ormas mengacungkan parang.
“Tebas leherku kalau berani kau?” kata dia kepada lelaki yang memegang parang.
“Kami kemari bukan mau membunuh orang. Kami hanya ingin menyadarkan kalau pertunjukan kalian berpotensi membangkitkan kembali ideologi haram,” jawab lelaki itu.
Kala itu naskah monolog yang aku pentaskan berjudul Saya Rusa Berbulu Merah (1), sebuah monolog tentang tokoh bangsa yang dianggap berideologi merah. Aneh sebenarnya. Kalau pun anggapan itu benar, kalimat-kalimat dalam naskah monolog itu menurutku tidak ada yang bermuatan membangkitkan kembali ideologi yang mereka maksud.
Sesungguhnya aku pun tak soal apabila monolog itu akhirnya batal. Maksudku pindah lokasi saja lalu kabarkan di mana lokasi yang baru kepada para penonton yang sudah membeli tiket. Namanya juga monolog, tidak masalah meskipun bukan di gedung pertunjukan yang standar. Bahkan aku bersedia garasi di rumahku menjadi tempat pertunjukan berlangsung. Lagi pula, apabila sedang latihan di rumah, aku sering menggunakan garasi itu sebagai panggung latihanku.
“Sudahlah, jangan ribut! Ikuti saja mau mereka. Monolognya kita pindahkan ke rumahku saja,” kataku membujuknya.
“Enak kali orang ini! Nggak! Aku tidak mau!” jawabnya dengan mata yang tampak mengobarkan api neraka.
Dia meminta kami semua masuk ke dalam gedung untuk terus melanjutkan pertunjukan. Tak lama, beberapa pemuda setempat yang ternyata adalah temannya datang dengan membawa parang dan samurai. Merasa sahabatku itu bukan orang sembarang, ormas itu akhirnya memutuskan pergi. Sebelum pergi mereka masih sempat menasihati.
“Kalau tidak berhenti, nanti kami akan membawa pasukan lebih banyak!” kata salah seorang dari mereka.
Mendengar kalimat itu, sahabatku muntab. Tanpa banyak berpikir lagi, dia lepaskan bogem ke wajah anggota ormas yang lantam bicara. Anggota ormas itu tersungkur.
Melihat teman mereka tersungkur, salah satu anggota mereka yang lain spontan menghadiahi sahabatku sebuah liang di perutnya. Mendadak suasana menjadi gaduh. Dua orang dari anggota ormas pun kesudahannya mendapatkan lubang liang yang sama karena tusukan preman teman sahabatku.
Sambil memegang perutnya yang masih mengeluarkan darah segar, aku bonceng sahabatku itu ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter yang berjaga langsung melakukan tindakan.
Untung tusukan itu tidak terlalu dalam. Beberapa jam kemudian sahabatku berbaring istirahat dengan tenang di rumah sakit. Sepuluh hari kemudian setelah keluar dari rumah sakit, sahabatku itu mendesakku untuk mementaskan monolog tersebut di garasi rumahku.
“Kalau ujungnya di rumahku juga, untuk apa kau sampai harus kena tikam?” kataku mengingat peristiwa itu.
Kami pun tertawa. Begitu lepas sampai-sampai beberapa anak remaja yang ingin berlatih teater dengan sahabatku keheranan melihat kami.
Dia kemudian mengajakku masuk ke ruang latihan teater yang berada di seberang sekret teater Lotot. Dalam sebuah sesi latihan, dia memperkenalkan aku pada murid-muridnya. Setelah latihan selesai, dia bercerita kalau murid-murid tadi bukanlah anggota teater Lotot, melainkan anak-anak pejabat dan orang kaya yang ingin anaknya menjadi aktor (kelak menjadi pemain film).
Kalau aku hitung ada lima murid yang ikut latihan. Iuran dari murid-murid itulah yang dia pergunakan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya.
“Apa cukup?”
“Cukup nggak cukup. Tapi, aku juga menulis. Kadang puisi, kadang juga ulasan kegiatan seni.”
Lalu kami berkeliling kompleks kesenian taman budaya sambil bernostalgia. Kenangan kembali menyerbu kepalaku. Sungguh begitu banyak kisah terpatri di setiap sudut-sudut kompleks kesenian ini.
Di depan pintu gedung utama, sahabatku bercerita bahwa kompleks kesenian taman budaya sedang dalam permasalahan. Katanya, pemerintah kota yang memiliki sertifikat tanah kompleks kesenian ini ingin mengajak investor swasta untuk mengelola kompleks kesenian itu secara profesional.
Namun, para seniman tidak dilibatkan. Hal itu menimbulkan protes di kalangan seniman, utamanya seniman teater yang kukuh tidak menyetujui rencana pemerintah.
“Kami sudah diusir beberapa kali. Tapi, aku dan teman-teman teater yang lain, bahkan beberapa kelompok dari seni tari dan sastra, memutuskan tetap bertahan di sini.”
“Kenapa tidak pindah ke tempat sementara yang telah disediakan pemerintah?”
Dia tersenyum. Kemudian mengajak aku kembali duduk di depan sekret. Saat aku duduk sambil mengisap rokok, dia keluar dari dalam sekret, membawa dua buah buku.
“Buku kau, ya?”
“Ya, buatmu.”
“Terima kasih. Aku sudah lama tak menulis puisi.”
“Semoga buku itu bisa membuat kau kembali menulis puisi.”
Di parkiran mobil kami berpisah. Aku menyalaminya dengan sebuah amplop. Kulihat sahabatku itu tersenyum. Tentu saja aku bahagia melihat dia tersenyum menerima pemberianku. Aku katakan padanya, besok-besok aku akan main lagi ke sekret.
“Datanglah kapan saja kau mau datang. Aku selalu siap menyambutmu,” katanya sambil tersenyum saat menyilakanku beranjak pergi dari kompleks kesenian taman budaya.
Di dalam mobil sepanjang perjalanan kembali ke hotel tempat aku menginap, aku mencoba menafsir senyumnya. Sebagai sahabat kentalnya, aku paham betul senyum itu.
Senyum seperti itu biasanya selalu dia terbitkan bilamana perasaannya sedang kurang baik kepada seseorang yang dia kenal. Dan senyum itu biasanya lahir dari upayanya meredam amarah. Tapi apa salahku padanya? Memberikannya sedikit rezeki kan lumrah. Apalagi aku sekarang sudah menjadi seorang pengacara kondang Ibu Kota. Uang segitu kecil bagiku, tapi pasti besar baginya.
Duh, jangan-jangan dia tahu. Tapi, sudah setua ini, kenapa dia tidak juga berubah? Dasar seniman sok idealis. Apa salahnya pemerintah kota ingin kesenian menjadi lebih tertata dan enak dipandang mata. Lagi pula seniman tidak dilibatkan, bukan berarti merendahkan seniman. Ah, cari perkara saja sahabat kentalku itu memang.
Buru-buru aku pencet nomor ponsel sekretarisku.
“Lina, tolong hubungi wali kota! Katakan saya mau bertemu, malam ini juga!”
Akasia, 2024
(1) Saya Rusa Berbulu Merah, naskah monolog karya Ahda Imran.
ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatra Utara. Ia seorang fuqara di Amirat Sumatra Timur. Selain menjadi seorang fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya “Buku Latihan Menulis Cerpen” tidak akan diterbitkan.
Sentimen: neutral (0%)