Sentimen
Undefined (0%)
5 Des 2024 : 13.53
Tokoh Terkait

Antitesis Negara Kesejahteraan

5 Des 2024 : 13.53 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Antitesis Negara Kesejahteraan

Belum genap 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, rakyat dihadapkan pada rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% pada 2025. Kebijakan ini merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terutama Pasal 7 ayat (1).

Langkah ini menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan janji pemerintah yang mengutamakan kepentingan rakyat. Kenaikan tarif PPN yang berdampak langsung pada konsumsi masyarakat luas dinilai tidak sejalan dengan semangat negara kesejahteraan (welfare state).

Negara kesejahteraan bertujuan melindungi kelompok rentan dan mendistribusikan kekayaan secara adil. Sistem perpajakan yang regresif, seperti PPN, membebani semua kelompok masyarakat tanpa membedakan kemampuan finansial. 

Hal ini berisiko memperlebar kesenjangan sosial sebagaimana diungkapkan Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014). Pajak regresif cenderung membebani kelompok berpenghasilan rendah lebih besar secara proporsional, sementara kelompok kaya nyaris tidak terpengaruh.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat koefisien Gini Indonesia berada pada angka 0,381. Ini menunjukkan ketimpangan ekonomi yang signifikan. Laporan Oxfam (2017) menyebut kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta rakyat termiskin. 

Dalam konteks ini, rencana kenaikan pajak lebih terlihat sebagai beban tambahan bagi rakyat kecil, bukan solusi redistribusi kekayaan. Kebijakan kenaikan pajak ini merupakan ujian besar bagi pemerintah dalam menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. 

Pemerintah harus mampu menjawab pertanyaan fundamental: Apakah kebijakan ini benar-benar dirancang untuk mendukung kesejahteraan rakyat ataukah hanya untuk menambal anggaran tanpa memikirkan dampak terhadap kelompok paling rentan?

Keberpihakan pemerintah dapat diukur dari bagaimana mereka mengalokasikan beban fiskal. Jika kebijakan ini lebih berat bagi rakyat kecil yang sudah terimpit oleh inflasi dan ketidakpastian ekonomi global, hal tersebut menegaskan bahwa pemerintah gagal memahami inti dari semangat negara kesejahteraan.

Sebaliknya, langkah progresif seperti pajak kekayaan (wealth tax) dan penegakan pajak terhadap korporasi besar serta penghindar pajak dapat menjadi indikator bahwa pemerintah benar-benar berpihak kepada rakyat. 

Evaluasi Kebijakan Pajak

Kebijakan semacam ini tidak hanya lebih adil, tetapi juga efektif dalam mengurangi ketimpangan sosial dan memperkuat fondasi ekonomi.

Sebagai bahan evaluasi, pemerintah perlu melihat kembali kebijakan tax amnesty yang diberlakukan beberapa tahun lalu pada masa pemerintahan sebelumnya. 

Kebijakan ini, yang seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan wajib pajak besar, justru menunjukkan wajah ketidakadilan fiskal di Indonesia.

Pada praktiknya kebijakan tax amnesty memberikan pengampunan bagi penghindar pajak, termasuk kelompok taipan dan pemilik aset besar, dengan imbalan pembayaran tarif pajak yang lebih rendah. 

Data Kementerian Keuangan menunjukkan hingga akhir pelaksanaan tax amnesty, sekitar Rp135 triliun penerimaan negara berasal dari deklarasi harta di dalam dan luar negeri.

Keberhasilan ini datang dengan mengorbankan prinsip keadilan pajak karena pengampunan diberikan kepada mereka yang seharusnya membayar lebih banyak.

Ironisnya, pada saat yang sama, rakyat kecil terus dibebani pajak tidak langsung seperti PPN yang tidak mengenal kompromi. Hal ini menunjukkan bias kebijakan yang lebih lunak terhadap kelompok elite, tetapi keras terhadap rakyat biasa.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat menciptakan preseden serupa. Alih-alih menargetkan kelompok kaya yang sebenarnya memiliki kapasitas fiskal lebih besar, kebijakan ini kembali membebani masyarakat umum. 

Situasi ini sangat bertentangan dengan semangat negara kesejahteraan yang menekankan distribusi beban ekonomi secara proporsional sesuai dengan kapasitas masing-masing kelompok.

Konsep negara kesejahteraan mengutamakan redistribusi kekayaan melalui kebijakan yang progresif, yaitu membebani kelompok kaya untuk mendukung kebutuhan masyarakat kecil. Kebijakan fiskal di Indonesia tampak bergerak ke arah sebaliknya.

Tax amnesty yang diluncurkan beberapa tahun lalu menjadi salah satu contoh. Alih-alih memperkuat sistem pajak bagi kelompok elite dan korporasi besar, negara justru memberikan pengampunan bagi mereka. 

Kini, dengan rencana kenaikan tarif PPN, beban fiskal kembali dialihkan kepada masyarakat luas, termasuk kelompok yang paling rentan terhadap dampak inflasi dan pelemahan ekonomi global.

Janji yang Harus Ditepati

Indonesia didirikan atas semangat membebaskan rakyat dari penindasan, termasuk dalam aspek ekonomi. Amanat Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Kebijakan seperti kenaikan PPN justru menempatkan rakyat kecil dalam posisi yang lebih tertekan.Sebagai solusi, pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada rakyat kecil. 

Pajak harus menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekadar alat untuk menambah pemasukan negara tanpa memperhatikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat.

Semangat negara kesejahteraan adalah janji besar negara kepada rakyat. Janji ini harus diwujudkan melalui kebijakan yang adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan kelompok yang paling rentan. Tanpa itu, visi negara kesejahteraan hanya akan menjadi utopia yang jauh dari kenyataan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 November 2024. Penulis adalah dosen Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan Soegijapranata Catholic University dan Ketua Griya Riset Indonesia)

Sentimen: neutral (0%)