Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Apple, Harley-Davidson, Oppo, Samsung, Xiaomi
Kab/Kota: Magelang
Tokoh Terkait
Spesial
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Spesial](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2022/09/Kaled_Hasby_A.jpg?quality=60)
Dulu, saat meilput turnamen golf di Magelang, saya tertegun dengan motor Harley Davidson yang terpajang di lapangan. Rupanya motor gede alias moge warna hitam tersebut adalah hadiah utama turnamen olahraga itu.
Saya memandangi cukup lama sambil mengamati dengan cermat mesinnya. Mungkin karena bawaan sarjana teknik mesin. Saya tertegun bagaimana bisa satu unit motor bermesin segede mesin mobil dengan kubikasi 1.800 cc.
Dengan bodi yang jauh lebih ringan daripada mobil, seharusnyasepeda motor cukup menggendong mesin lebih kecil, 125 cc hingga 200 cc, seperti motor kebanyakan.
Dengan mesin berkapasitas segitu motor bisa melaju cukup kencang. Ngapain harus ditenagai mesin lebih besar dibandingkan mesin mobil low cost green car atau LCGC?
Salah seorang anggota panitia mendekati saya yang memandangi motor itu. Lelaki muda itu melihat saya dengan mata yang kalau bisa bicara mungkin akan bilang, "Belum pernah lihat Harley, ya?"
Saya membuka percakapan dengan bertanya, "Motor ini konsumsi BBM-nya sampai berapa, ya?". Dia menjawab, "Sembilan kilometer per liter."
"Wah boros sekali! Dengan bobot yang lebih berat, mobil saja bisa sampai 14 kilometer per iter, apalagi kalau dibandingkan dengan motor yang bisa sampai 35 kilometer per liter," ucap saya spontan yang lantas dibalas oleh lelaki tersebut dengan jawaban, "Ini bukan motor, ini Harley Davidson!"
Saya langsung terdiam. Melipir menjauh. Saya yakin lelaki itu bukan pemilik Harley Davidson, namun—mohon maaf—sudah punya modal sombongnya. Saya jadi berpikir, apakah pemilik motor Harley Davidson memiliki pikiran yang sama dengan lelaki itu, bahwa Harley Davidson itu bukan sepeda motor meski beroda dua.
Kalau melintasi jalan umum merasa perlu diberi ruang yang luas seperti mengendarai mobil. Pemikiran itu semakin diperkuat dengan berita tentang petinggi Motor Besar Club Indonesia (MBCI), organisasi yang menaungi pemilik Harley Davidson dan moge lain, ingin diberi hak melintasi jalan tol.
Alasannya, mereka membayar pajak lebih besar untuk kendaraan mereka. Mereka iri dengan pengguna sepeda onthel yang diberikan jalur khusus, padahal tidak dikenakan pajak atas kendaraan tak bermesin itu.
Memiliki barang premium bisa memberikan efek psikologis berupa rasa bangga, menaikkan gengsi, dan kadang-kadang merasa spesial daripada orang kebanyakan.
Saya akhirnya bisa memahami mengapa pengguna Harley Davidson merasa spesial di jalanan. Mungkin saja saya juga akan begitu kalau punya Harley Davidson. Untungnya tidak.
Harley Davidson menjadi contoh barang premium di lini sepeda motor—saya bersikeras menganggapnya sepeda motor. Sementara di lini handphone, saya rasa Iphone adalah pemegang status gawai premium nomor wahid.
Saya rasa kebanyakan orang bakal sepakat dengan ini. Belum pernah Apple menjual Iphone baru di bawah Rp5 juta, bahkan untuk tipe SE sekalipun. Merek lain dengan harga segitu bisa mendapatkan handphone kelas menengah yang mungkin spesifikasinya lebih baik daripada Iphone yang berharga lebih mahal.
Umumnya orang yang membeli Iphone karena fitur, fungsi, dan ekosistem teknologinya. Banyak pula orang yang membeli Iphone hanya karena gengsi maupun fear of missing out atau FOMO alias takut ketinggalan tren terkini.
Menenteng Iphone saat bertemu teman atau reuni sekolah bisa menambah kepercayaan diri. Iphone adalah statement, seperti halnya Harley Davidson. Tak perlu mengatakan saya mapan secara finansial, cukup pakai Iphone.
Apple pintar memainkan strategi bisnis dengan mengelola sisi psikologis konsumen. Steve Jobs g sedari awal merancang Iphone tidak seperti gawai kebanyakan. Ia ingin menciptakan jenama yang bisa memiliki banyak fungsi, mudah digunakan, dan spesial sehingga bikin orang bangga memakainya.
Semua keunggulan itu ditebus dengan harga tak murah. Konsep ini diteruskan Tim Cook dengan sukses. Handphone kelas atas nomor satu dalam top of mind orang kebanyakan adalah Iphone, bukan Samsung meski memiliki tipe flagship yang harganya tak kalah mahal.
Seperti produknya, Apple merasa perusahaan spesial yang perlu mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Indonesia. Mereka mencoba menyiasati aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40% untuk produk gawai yang dijual di Indonesia.
Mereka tidak mau berinvestasi sebanyak di Vietnam, India, atau Thailand untuk menjual produk di Indonesia. Dari komitmen berinvestasi Rp1,7 triliun untuk pembangunan akademi pengembangan aplikasi di beberapa lokasi, Apple masih berutang US$10 juta atau sekitar Rp158 miliar.
Alih-alih melunasi utang itu yang seharusnya rampung pada 2023, Apple kembali memberikan janji manis akan berinvestasi US$100 juta untuk periode 2024-2026, namun belum disetujui Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Nilai investasi yang dijanjikan Apple dianggap masih belum memenuhi asas keadilan. Perusahaan seperti Apple lebih memilih strategi investasi minim sehingga kerap dianggap tidak memenuhi ekspektasi pemerintah.
Konsekuensinya, pemerintah melarang penjualan handphone seri terbaru Apple yakni Iphone 16. Nilai investasi Apple di Indonesia terbilang sangat kecil jika dibandingkan di Vietnam (US$15,8 miliar) dan di India (US$5 miliar).
Tentu Apple punya alasan kenapa enggan membangun pabrik di Indonesia dan memili Vietnam dan India. Bisa jadi salah satunya adalah market share Apple di Indonesia.
Meski tak bisa dibilang sedikit, pasar Apple di Indonesia tak sebesar merek lain. Oppo memegang market share terbesar, yakni 17%, diikuti Samsung (16,3%) dan Xiaomi (13,6%) per September 2024.
Iphone "hanya" meraup 12,4% market share. Sisanya, diperebutkan merek lain. Faktor lain kemungkinan adalah kompleksitas rantai pasokan. Apple memiliki rantai pasokan global yang sangat terintegrasi, dengan sebagian besar komponen dan perakitan dilakukan di China, Vietnam, dan India.
Membangun rantai pasokan baru di Indonesia memerlukan waktu, biaya, dan keahlian lokal yang mungkin belum mencukupi standar Apple.
Kesulitan memenuhi standar kualitas tinggi Apple dari mitra manufaktur lokal bisa jadi salah satu alasan penghambat. Indonesia selaku negara berdaulat secara ekonomi tetap harus memegang kuat aturan.
Kita memang membutuhkan investasi dan transfer teknologi untuk membuat negara ini semakin maju, namun jangan sampai disetir oleh kepentingan asing.
Indonesia juga harus berbenah di banyak sektor, mulai dari panjangnya rantai birokrasi dan perizinan serta kesiapan insfrastruktur. Yang tak kalah penting adalah kesiapan sumber daya manusia yang harus bisa memenuhi standar perusahaan internasional macam Apple.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 November 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)