Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Bata
Kab/Kota: Lombok, Yogyakarta
Selepas Empat Puluh Hari
Espos.id
Jenis Media: Lifestyle
![Selepas Empat Puluh Hari](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2024/11/20241129170109-301124-selepas40hari.jpg?quality=60)
Beberapa hari ini aku berkutat bersama kesepian dan kerinduan tidak terbalaskan pada kakek dan nenek pemilik rumah besar yang meninggal empat puluh hari lalu. Jauh berbeda rasanya dengan yang kualami pada dua tahun lalu, saat aku baru satu setengah tahun tinggal bersama keduanya yang masih bugar - keceriaan masih mewarnai rumah besar ini.
Anak-anak dan para cucu kakek-nenek datang bertandang merayakan Hari Raya, liburan panjang sekolah, hingga liburan akhir tahun. Kuingat senantiasa rona wajah ceria kakek dan nenek yang menyambut mereka. Ada yang datang tidak lama. Ada juga yang menginap beberapa hari. Semua bergembira.
Tapi itu dulu. Kini, setelah kakek dan nenek sakit selama setahun kemudian meninggal empat puluh hari lalu, kecerian dan kegembiraan seolah luluh dilantakkan waktu. Rumah besar ini terasa sunyi setiap hari. Anak-anak keduanya tidak pernah datang lagi.
Jangan tanyakan ke mana dan di mana anak-anaknya sekarang, yang dulu sering datang saat kedua orang tuanya sehat. Aku tidak tahu.
Sudah sering kuhubungi mereka, meminta sekadar say hello atau menanyakan kabar, tapi tidak ada jawaban. Bahkan telepon dariku langsung dimatikan.
Mereka juga tidak mengirimkan apa pun untuk orang tuanya saat mereka berdua sakit. Sekedar uang untuk berobat atau membeli makanan tidak pernah. Aku harus bekerja keras, apa saja, agar mendapat uang untuk menutup keperluan sehari-hari dan biaya pengobatan kedua orang tua mereka yang biasa kupanggil kakek dan nenek karena aku lebih pantas menjadi cucu dibandingkan anak mereka.
Aku tersadar dari lamunan. Memandang sekeliling. Mata ini tertuju pada sepeda motor butut milik kakek yang sering mogok di jalan, teronggok di pojok ruangan tamu. Menyeruak kembali kenangan ketika kakek masih sehat, ia mengantarkanku melamar pekerjaan yang urung kudapatkan karena terlambat datang wawancara kerja akibat motornya mogok di tengah jalan.
Aku marah dan kesal saat itu, tapi kata-kata kakek membuatku tersadar, "Ini bukan rezekimu. Rezekimu adalah bersama kami, menemani hingga akhir hayat."
Kembali kesunyian mengurungku dalam bingkai sekat-sekat kesenangan bersama keduanya di setiap sudut rumah besar ini. Kupahami kecerian tiada lagi terasa di hati. Hanya rasa rindu, rasa kangen yang tidak bisa digambarkan selalu menyertaiku.
Tetangga kanan-kiri tidak ada yang menengok kakek dan nenek, orang yang dulu dituakan di kampung ini, saat sakit. Sementara, para tetangga lama masih menyempatkan waktu memberi bantuan materi, pangan, hingga melayat ketika kakek dan nenek meninggal meskipun tidak tinggal di kampung yang sama lagi.
Dan kini, selepas empat puluh hari, makin banyak rumah para tetangga yang berganti gedung-gedung pencakar langit, hotel bintang lima, hingga minimarket jejaring. Aku hanya tahu para tetangga itu pindah ke tempat yang jauh.
Rumah besar yang sekarang kutinggali sendiri ini tidak lagi bisa disebut rumah besar. Berada di antara kepungan bangunan lebih besar membuatnya kecil. Bahkan mungkin tidak ada yang tahu ada rumah di sini. Atau malah tidak pernah ada bertandang lagi ke rumah ini seperti mereka, anak-anak kakek dan nenek.
Saat anak-anak kakek dan nenek kukabari bahwa orang tua mereka stroke, tidak ada yang mau datang. Teleponku pun tidak ada yang mengangkat. Hingga orang tua mereka meninggal, tidak ada satu pun yang melayat.
***
Kini, selepas empat puluh hari kematian kakek dan nenek, anak-anak mereka yang berganti menghubungiku. Ada beberapa kali panggilan telepon masuk yang kuangkat. Bukan menanyakan kabarku, melainkan tentang rumah besar yang kini kutempati sendiri.
"Kenapa kamu masih tinggal di rumah busuk itu?"
"Harusnya kamu juga menjual rumah itu seperti rumah tetangga-tetangga yang lain."
"Buat apa kamu tinggal di rumah yang sepi tidak berguna begitu?"
Itu adalah perkataan dan pertanyaan yang mampir ke telingaku sepekan setelah orang tua mereka tiada dan puncaknya selepas empat puluh hari dengan narasi berbeda.
"Jual dong rumahnya, aku butuh uang banyak buat bayar tagihan ini-itu."
"Aku punya hak atas rumah itu. Jual saja, nanti kita bagi-bagi uang hasil penjualannya."
"Bisa tidak sih kamu cepat jual rumah itu? Aku muak dengan semua kenangan di dalamnya."
Aku hanya diam, tidak kujawab perkataan atau pertanyaan mereka. Kulafalkan istighfar, berharap mereka cepat sadar dengan ucapan-ucapan itu.
***
“Jadi kapan Masnya mau jual rumah ini?” Seorang utusan pengembang datang ke rumah saat hari beranjak malam. Aku terdiam. Teringat selepas empat puluh hari, ia sudah tiga kali datang ke rumah besar yang kutinggali sendiri ini. Kali ini dengan membawa koper besar ke rumah besar.
Aku mendesah perlahan. Mulut ini kubuka pelan-pelan. Mengeluarkan kalimat yang sebenarnya tidak mau kukatakan. Terbata-bata aku mengatakan sesuatu yang ingin didengarnya. Ia tersenyum. Membuka koper besar, menyodorkan dokumen dan beberapa uang sebagai tanda pembayaran di muka. Aku kembali mendesah. Kuambil pulpen yang disodorkannya, menandatangani dokumen. Uang pun berpindah tangan kepadaku. Selesai sudah, ia bergegas pergi.
Anak-anak orang tua yang kupanggil kakek dan nenek langsung pulang ke rumah besar yang kini kutinggali sendiri begitu kukabari berita yang sudah lama ingin mereka dengar. Mereka datang membawa wajah-wajah ceria. Bukan menemuiku, tapi umtuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
"Ingat, bagianku paling besar karena aku laki-laki dan anak pertama. Selanjutnya kamu, kamu, kamu, dan kamu." Anak tertua menunjuk satu per satu saudaranya.
"Yang terakhir, kamu. Bagianmu yang paling kecil. Kamu paham kan kenapa?" Aku mengangguk pelan.
"Motor butut itu juga jadi milikku sekarang. Mau aku jual. Lumayan buat nambal cicilan mobil." Anak kakek yang paling bungsu menambahkan.
"Bukankah kalian ada kenangan pada motor yang dibilang butut itu. Kakek dan nenek sering menceritakan bahagianya kalian menaiki motor itu bersama keduanya, berangkat dan pulang sekolah lalu jalan-jalan sore keliling kampung ini. Dan apakah kalian ingat belajar naik motor pakai motor itu?" Aku membuka kembali keran ingatan kenangan mereka.
"Mana kutahu? Saat itu aku masih bayi. Masa bodohlah." Si anak paling bungsu ketus menyahut.
"Hei, kamu itu cuma penumpang di rumah besar ini. Jadi, jangan sok ikut campur. Kenangan-kenangan begitu hanya masa lalu yang tiada gunanya. Yang paling penting itu kehidupan masa kini." Si anak sulung berkata sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Aku langsung terdiam. Cukup tahu diri untuk tidak perlu menjawabnya.
Aku memang bukan bagian sepenuhnya keluarga ini. Kakek dan nenek mengangkatku dari panti asuhan saat aku menamatkan kuliah yang dibiayai keduanya. Mereka memintaku menemani keduanya tatkala anak-anak mereka jarang pulang meski sekadar menemani, merawat, menjaga, hingga mendengar curahan hatinya kecuali saat Hari Raya tiba. Itu pun saat keduanya masih sehat.
Aku sedih mengetahui mereka terlampau sibuk bekerja, mencari materi duniawi. Lalu, saat kakek dan nenek sakit dan kemudian meninggal, mereka tidak pernah lagi datang walau sekadar menjenguk, melayat, hingga mengunjungi makam orang tua mereka. Rasa berbakti dan kerinduan pada orang tua seakan sudah benar-benar lenyap dari hati mereka.
Aku menatap lekat pigura foto kakek dan nenek yang sudah dilepas paksa dari dinding kamar mereka. Teringat sebelum meninggal, kakek dan nenek tidak mewasiatkan apa pun kepadaku. Keduanya hanya berpesan singkat, "Terima kasih sudah menemani hari-hari tua kami berdua." Tidak terasa air mata menetes di pipi.
Yogyakarta, 4 Oktober 2024.
Herumawan Prasetyo Adhie. Jejaka yang suka berjalan kaki dan bila lelah melanda naik angkutan umum daring. Cerpennya dimuat di berbagai media massa. Buku kumpulan cerpen berjudul Pulsa Nyawa terbit pada Agustus 2019 oleh AT Press Lombok.
Sentimen: neutral (0%)