Sentimen
Netralitas di Lingkungan RT
Espos.id Jenis Media: Kolom
Wacana politik pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat rukun tetangga (RT) sering kali menjadi ajang perebutan pengaruh karena langsung bersentuhan dengan pemilih.
Di sinilah pertarungan antara tim sukses terasa sangat tajam. Mereka berebut dukungan pengurus RT demi mendulang suara warga sebagai pemilih. Fenomena yang kemudian terjadi adalah para pengurus RT mengarahkan warga untuk memilih kandidat tertentu.
Sering kemudian memunculkan pertanyaan apakah ini bagian dari strategi politik yang sah atau justru bentuk tekanan yang merusak nilai-nilai demokrasi?
Kebebasan memilih adalah hak dasar setiap warga negara sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Artinya, pemilih memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan tanpa paksaan atau tekanan dari pihak mana pun. Arahan dari pengurus RT berpotensi mengurangi kebebasan ini.
Dalam banyak kasus, warga merasa terpaksa harus mengikuti arahan demi menjaga hubungan baik dengan pengurus RT atau tetangga sekitar, padahal, kebebasan memilih adalah esensi demokrasi yang harus dijaga.
Pengurus RT sering dianggap sebagai figur yang dekat dengan masyarakat dan dipercaya memberikan pandangan terbaik bagi lingkungan. Jika arahan diberikan berdasarkan pertimbangan yang matang dan tanpa paksaan, hal ini dapat mempermudah sosialisasi kandidat kepada warga.
Sering terjadi arahan afiliasi politik itu sumbernya dari tingkatan di atasnya, yakni dari kepala dusun yang ditekan kepala desa atau lurah dengan dalih menyatukan suara untuk kepentingan bersama agar memudahkan proses pembangunan di desa/kelurahan tersebut.
Ketika kandidat yang diusung bersama berhasil mendapatkan kekuasaan, imbal balik berupa kemudahan mengajukan proposal pembangunan desa akan didapatkan. Pertimbangan ini sering kali menjadi dalih pengarahan ke kandidat tertentu yang dianggap kuat.
Arahan dari pemangku wilayah seperti ini sering kali disertai dengan tekanan halus, seperti rasa sungkan atau ancaman implisit terhadap warga yang memilih berbeda.
Ini melanggar prinsip pemilu yang bebas dan rahasia, serta berpotensi menimbulkan politik transaksional, sebagaimana dilarang oleh Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Demokrasi di negeri kita menegaskan bahwa pemilih berhak memberikan suara secara langsung, bebas, dan rahasia. Sayangnya, arahan pengurus RT sering kali membuat warga merasa kehilangan kerahasiaan tersebut.
Mereka takut pilihan diketahui dan menimbulkan konflik di lingkungan. Perbedaan pandangan politik yang sehat berubah menjadi gesekan sosial karena ada pihak yang merasa didominasi atau ditekan.
Kondisi ini berisiko memecah solidaritas masyarakat desa. Apakah ini yang kita sebut sebagai pesta demokrasi? Edukasi tentang hak pilih yang bebas dan rahasia harus terus digalakkan.
Warga perlu memahami bahwa mereka berhak menentukan pilihan tanpa intervensi. Yang harus berperan dalam hal ini, seharusnya, adalah para pengurus RT di lingkungan masing-masing.
Pengurus RT sebagai tokoh lokal sebaiknya menjaga netralitas. Jika memiliki preferensi pribadi, hal ini tidak boleh memengaruhi tugas mereka sebagai pemimpin lingkungan. Mungkinkah para pengurus RT bisa bijak sedemikian, apalagi ketika juga ada tekanan dari atas?
Sebenarnya pengurus RT bisa bersikap menolak intervensi dalam bentuk apa pun kepada warganya. Memberikan kebebasan memilih bagi warga adalah sebuah keputusan bijaksana, sekaligus mengajarkan bahwa beda pilihan harus tetap menjaga kerukunan.
Peran panitia pengawas pemilu dan pilkada sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada tekanan atau intimidasi yang terjadi selama proses pemilu di lingkungan desa sampai ke RT. Inilah yang harus dilakukan agar demokrasi bisa tetap waras di desa-desa.
Pengurus RT harus memahami bahwa ajakan yang mengarah pada intimidasi atau pemberian imbalan materi melanggar Pasal 280 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 521 undang-undang itu dengan ancaman hukuman penjara hingga dua tahun dan denda maksimal Rp24 juta.
Pemilu dan pilkada di lingkungan RT seharusnya menjadi ajang demokrasi yang mengutamakan kebebasan warga untuk memilih berdasarkan hati nurani. Arahan dari pengurus RT yang berpotensi menekan kebebasan harus dihilangkan demi menjaga nilai-nilai demokrasi.
Akhirnya, hanya dengan menjunjung tinggi asas jujur dan adil kita dapat memastikan bahwa hasil pemilu dan pilkada benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Memastikan hak memilih adalah milik setiap individu, bukan kelompok atau tokoh tertentu.
Kalau tidak ada yang memulai mengambil sikap seperti ini maka fenomena pengarahan afiliasi politik akan terus mencederai demokrasi dan dianggap kewajaran. Sadarilah bahwa menjaga demokrasi yang sehat di negeri ini adalah tanggung jawab bersama.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 November 2024. Penulis adalah Ketua Rukun Tetangga di Sidowayah, Ngreco, Weru, Sukoharjo)
Sentimen: neutral (0%)