Sentimen
Netral (84%)
25 Nov 2024 : 16.43
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Klaten, Tangerang

Kasus: korupsi

156 Cakada dari 33 Provinsi Terafiliasi Dinasti Politik

25 Nov 2024 : 23.43 Views 8

Tirto.id Tirto.id Jenis Media: News

156 Cakada dari 33 Provinsi Terafiliasi Dinasti Politik

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa 33 dari 37 provinsi yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024 mendatang terindikasi kuat memiliki pasangan calon yang terafiliasi dengan dinasti politik.

Peneliti ICW, Yassar Aulia, menjelaskan bahwa 26,8 persen (156 dari total 582 individu calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah) terindikasi terafiliasi dinasti politik.

Jika dirinci lagi, ada 100 calon kepala daerah dan 56 calon wakil kepala daerah yang memiliki afiliasi dengan dinasti politik.

"Para kandidat ini umumnya terafiliasi karena ikatan darah atau ikatan pernikahan dengan berbagai variasi di tiap provinsi," kata Yassar dalam keterangan tertulis, Minggu (24/11/2024).

Seturut penelitian ICW, pola dinasti politik yang paling banyak yaitu melalui hubungan orang tua-anak sebanyak 70 kandidat. Setelahnya, ada pola dinasiti melalui hubungan suami-istri sebanyak 40 kandidat, adik-kakak sebanyak 34 kandidat, saudara (keponakan, sepupu, ipar) sebanyak 8 kandidat, dan pola dinasti mertua-menantu sebanyak 4 kandidat.

Yassar menyebut bahwa dari total 37 provinsi yang ditelusuri oleh ICW, hanya Provinsi Papua Barat, Papua, Papua Tengah, dan Papua Selatan yang tidak ditemukan memiliki afiliasi dinasti politik.

Di sisi lain, lima provinsi dengan dinasti politik terbanyak adalah Nusa Tenggara Barat (11 kandidat), Sulawesi Tenggara (11 kandidat), Sulawesi Selatan (10 kandidat), Sulawesi Barat (9 kandidat), dan Sulawesi Utara (7 kandidat).

"Meski secara legal-formal tidak ada larangan bagi individu yang terafiliasi dinasti politik untuk berlaga di Pilkada, namun jika pemilihan umum dimaknai sebagai sarana sirkulasi kekuasaan dan mencari pemimpin berkualitas, keberadaan dinasti politik berpotensi besar akan bertolak belakang dengan esensi demokrasi dan menjauhi semangat tata kelola pemerintahan yang meritokratis," ujar Yassar.

Selain itu, Yassar mengatakan bahwa ICW juga mencatat bahwa terdapat kaitan kuat antara keberadaan dinasti politik dan praktik lancung korupsi. Katanya, dari setidaknya 54 dinasti politik yang pernah terpetakan—baik di skala daerah dan nasional, maupun lingkup kekuasaan eksekutif dan legislatif—terdapat kasus korupsi yang muncul di wilayah tersebut.

"Sebagai contoh, dinasti Ratu Atut Chosiyah yang memiliki 12 anggota keluarga dalam kepemimpinan Banten di mana ia dan adiknya menjadi terpidana dalam kasus korupsi alat kesehatan di Tangerang Selatan" tuturnya.

"Pada dinasti Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais dan anaknya, Rita Widyasari, sama-sama terseret dalam kasus korupsi yang berbeda saat menjabat menjadi kepala daerah. Contoh lain, pada dinasti Klaten, pasangan suami-istri Haryanto Wibowo dan Sri Hartini menjadi terpidana korupsi dan suap promosi jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS)," tambahnya.

Yassar menyebut bahwakorelasi kuat antara dinasti politik dan kasus korupsi di suatu daerah tersebut menjadi satu hal yang harus disikapi secara serius. Terlebih, dinasti politik yang selalu berusaha mewariskan dan mempertahankan kekuasaan mencerminkan demokrasi yang semu.

Merespons situasi memprihatinkan ini, ICW menginisiasi peluncuran fitur baru dalam situs Rekam Jejak yang telah dikembangkan sejak 2015 untuk memantau afiliasi serta latar belakang pejabat publik.

Katanya, ICW telah mengkompilasikan sejumlah informasi tentang calon kepala daerah dan wakilnya di seluruh provinsi dan 89 kabupaten/kota dari sumber-sumber informasi yang terbuka.

"Selain itu, informasi yang dikompilasikan juga didapatkan dari masukan-masukan publik. Pada fitur baru tersebut, terdapat informasi terkait afiliasi dinasti politik, afiliasi bisnis, informasi terkait korupsi, kekayaan dari para kandidat yang dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), hingga afiliasi lainnya dari tiap calon kepala daerah dan calon wakilnya," ucapnya.

Terakhir, kata Yassar, peluncuran fitur ini tidak semata sebagai bentuk edukasi politik kepada publik. Lebih dari itu, ini juga merupakan kritik ICW terhadap KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang abai dalam mengungkapkan data terkait rekam jejak tiap kandidat yang mencalonkan diri di pilkada.

Sentimen: netral (84.2%)