Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Senayan
Kasus: kasus suap, korupsi
Tokoh Terkait
DPR Nihil Komitmen Memberantas Korupsi saat Pilih Pimpinan KPK
Tirto.id Jenis Media: News
tirto.id - Komisi III DPR RI merampungkan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon pimpinan (capim) dan calon dewan pengawas (dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (21/11/2024). Hasilnya, Komisi III DPR RI menetapkan masing-masing lima nama pimpinan dan lima nama dewas yang akan dibawa ke dalam rapat paripurna DPR RI.
Kelima nama pimpinan dan lima nama dewas KPK periode 2024-2029 ditetapkan berdasarkan hasil voting atau pemungutan suara dari seluruh delapan fraksi ada di Parlemen. Sebanyak 44 orang dari 47 anggota Komisi III hadir dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.
Berdasarkan hasil voting, Irjen Kementerian Pertanian, Komjen Setyo Budiyanto, terpilih sebagai pimpinan KPK setelah mengantongi 45 suara. Komjen Setyo mengalahkan Johanis Tanak dengan dua suara, dan Fitroh Rohcahyanto dengan satu suara.
Setyo mengantongi 46 suara untuk keterpilihan sebagai pimpinan KPK. Sementara, Fitroh Rohcahyanto mendapat perolehan 48 suara. Lalu, Ibnu Basuki Widodo memperoleh 33 suara. Kemudian, Johanis Tanak mendapat 48 suara serta 39 suara untuk Agus Joko Pramono.
Sementara itu, lima dewas KPK terpilih 2024-2029 adalah Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Wisnu Baroto, Gusrizal, dan Sumpeno. Benny dan Chisca sama-sama mendapatkan suara terbanyak, yakni 46 suara. Disusul Wisnu Baroto dengan perolehan 43 suara kemudian Gusrizal dan Sumpeno sama-sama meraup 40 suara.
“Dari konfigurasinya ada satu orang polisi sebagai ketua, dua orang jaksa, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna, satu orang hakim dan juga satu orang auditor. Maka saya melihat ini yang pertama, DPR ingin mengontrol KPK,” ujar Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, merespons nama-nama tersebut kepada Tirto, Jumat (22/11/2024).
Karena, jika melihat dari komposisi pimpinan KPK yang telah diumumkan, tak ada satu pun masyarakat sipil atau figur yang datang dari latar belakang organisasi non-pemerintah atau aktivis antikorupsi. Sebaliknya, beberapa nama capim dan dewas terpilih justru diisi oleh figur-figur yang diwakili oleh aparat penegak hukum (APH).
“Jadi ini tentu sangat mengecewakan karena tidak adanya unsur masyarakat sipil, tidak adanya unsur profesi, bahkan juga tidak ada unsur perempuan,” kata Zaenur.
Selain itu, beberapa di antara pimpinan KPK yang terpilih juga tampak memiliki catatan kontroversial yang menyisakan tanda tanya besar. Salah satunya Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, yakni mantan Komisaris PT Wika Beton Tbk, pada 28 Juli 2023.
Dalam paparannya saat fit and proper test, Johanis Tanak bahkan terang-terangan akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHAP yang berlaku.
Bukan hanya Johanis Tanak, rekam jejak buruk juga ditemukan pada seluruh pimpinan KPK terpilih. Agus Joko Pramono diduga pernah menerima transaksi mencurigakan sejumlah Rp 115 Miliar. Ada pula Ibnu Basuki Widodo, seorang Hakim Tinggi Pemilah perkara di Mahkamah Agung pernah memvonis bebas terdakwa korupsi bernama Ida Bagus Mahendra dalam kasus pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama tahun 2010.
Ibnu Basuki juga tercatat pernah melarang peliputan media massa dan jurnalis dalam siaran langsung persidangan kasus mega korupsi E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto, saat menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2017.
Sementara Setyo Budiyanto dan Fitroh Rohcahyanto yang berasal dari institusi penegak hukum patut diduga memiliki konflik kepentingan dengan lembaga asalnya, yaitu Polri dan Kejaksaan.
“Banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal. Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk,” ujar Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, kepada Tirto, Kamis (22/11/2024).
Calon Pimpinan (Capim) KPK Setyo Budiyanto mengikuti uji kelayakan dan kepatutan bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Nihil Komitmen DPR Reformasi KPK
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, justru melihat hasil pimpinan KPK yang terpilih makin menunjukan tidak ada komitmen DPR untuk melakukan reformasi KPK. Pasalnya, pimpinan KPK yang bermasalah masih dipilih dan bahkan menduduki urutan pertama.
“Padahal semua sudah menyaksikan bagaimana kiprah pemberantasan korupsi selama Johanis Tanak berada di KPK,” ujar Lakso dalam pernyataannya diterima Tirto, Jumat (22/11/2024).
Selain potensi catatan etik, tidak ada gebrakan yang dilakukan Johanis Tanak dan bahkan berniat memukul mundur instrumen utama inovasi KPK, yaitu OTT. Ini membuktikan tidak adanya komitmen serius dari Komisi III DPR RI untuk mengembalikan KPK seperti sediakala.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengamini nama-nama pimpinan terpilih KPK baru justru adalah mereka yang bermasalah sejak awal. Jadi tentu dalam hal ini, ada masalah dengan Komisi III DPR RI.
"Komisi III tidak mempertimbangkan keterwakilan masyarakat sipil. Itu memang menjadi masalah besar di dalam proses komisioner kemarin," ujar Herdiansyah Hamzah kepada Tirto, Jumat (22/11/2024)
Pria akrab disapa Castro itu menduga, Komisi III DPR RI sejak awal tidak berbasiskan pelacakan atau melihat rekam jejak dan integritas dari para pimpinan yang terpilih ini. Padahal, sudah jelas lima-limanya bermasalah dan menuai kontra sejak awal mereka mendaftar.
"Bahkan kita melihat ini bukan hanya komposisi. Tapi soal cara pandang dan kepentingan yang dibawa pada saat seleksi komisioner KPK terpilih ini," ujarnya.
Castro mengatakan ada semacam upaya untuk mempertahankan apa yang disebut sebagai kepentingan politik bagi Komisi III DPR RI supaya KPK tetap sama posisinya. Alih-alih menguatkan KPK, kata dia, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan justru tidak ada yang berkembang sebagaimana kelemahan KPK usai UU KPK direvisi.
"Kalau saya menangkap memang ini tidak hanya di KPK. Keterpilihan semua anggota lembaga negara dari proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III hampir biasanya orang-orang reputasinya bagus justru tidak terpilih. Sebaliknya mereka yang memiliki reputasi buruk itu malah terpilih. Kita bisa melihat watak dari DPR yang diwakili oleh Komisi III ini," pungkas dia.
KPK Makin Sulit untuk Independen
Zaenur Rohman bahkan melihat KPK seperti dijadikan sekretariat bersama bagi para aparat penegak hukum baik masih aktif maupun yang sudah purna. Ini kemudian akan berdampak pada makin hilangnya independensi KPK.
"Saya tidak melihat dengan konfigurasi pimpinan KPK yang seperti ini KPK akan kembali menjadi lembaga negara yang bisa independen," kata Zaenur.
Dia khawatir, dengan konfigurasi pimpinan lima orang ini, KPK akan makin tunduk di bawah kekuasaan. Bahkan, tidak hanya dalam arti kekuasaan pemerintah, tetapi juga KPK akan sangat dipengaruhi oleh penegak hukum lain.
“Ini kalau kita lihat dengan konfigurasi ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pimpinan-pimpinan KPK yang berasal dari APH ini dan juga auditor akan bersedia dan mampu untuk menangani korupsi di tempat mereka berasal, di institusi tempat mereka berasal?,” ujarnya mempertanyakan.
Padahal, kata Zaenur institusi asal pegawai KPK masih belum bebas dari korupsi. Baik di kejaksaan, kepolisian, Mahkamah Agung, hingga Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Sebab itu, pesimistis di lima tahun yang akan datang, korupsi bisa diberantas mengingat KPK-nya sendiri didominasi oleh unsur aparat penegak hukum.
“Semoga pesimistis saya salah,” tutur Zaenur.
Sentimen: negatif (97%)