Sentimen
Positif (100%)
25 Nov 2024 : 11.28
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Bogor, Denpasar, Surabaya

Tokoh Terkait

Antara Panggilan Jiwa dan Beban Hidup

25 Nov 2024 : 18.28 Views 15

Tirto.id Tirto.id Jenis Media: News

Antara Panggilan Jiwa dan Beban Hidup

tirto.id - “Pak Guru”, panggilan yang membuat Aldi Fadillah (27) begitu senang sekaligus haru. Masih banyak warga kampung di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat – tempat tinggal Aldi – yang amat menghormati profesi guru. Panggilan “Pak Guru” tetap dilayangkan warga pada Aldi meskipun ia lebih banyak berjibaku di pasar, ketimbang di dalam kelas. Memang, selain seorang guru honorer di salah satu SD Negeri di Parung, Aldi membuka warung kelontong di rumahnya untuk menambah pemasukan hidup.

Ia rajin ke pasar untuk membeli barang-barang yang akan dijual di warung. Aldi biasa cabut ke pasar sebelum azan Subuh berkumandang. Orang-orang di pasar juga karib menyapa Aldi dengan sebutan “Bang Guru”. Profesi guru yang tak mampu memberikan keluarganya sumber pemasukan yang cukup itu terpaksa membuat Aldi berprofesi ganda.

“Kalau andalin gaji honorer bulanan ya mana bisa cukup untuk orang berkeluarga. Jadinya saya buka usaha lain di rumah, istri yang menjaga [warung],” ucap Aldi dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2024).

Sejujurnya, kata Aldi, ada semacam perasaan sedih bercampur bangga ketika orang-orang memanggilnya guru. Bangga, karena Aldi diakui sebagai seorang pendidik generasi bangsa. Sedih sebab profesi yang dibanggakan tersebut justru seringnya menjadi sumber persoalan hidup dari keluarga kecilnya. Jika bukan sebab bangga dan terinspirasi jejak Ayahnya yang juga seorang guru, Aldi mungkin sudah menanggalkan titel guru sejak lama.

Aldi sudah hampir lima tahun menjadi guru honorer. Ayah seorang anak perempuan berusia tiga tahun itu juga berulang kali berganti-ganti profesi sampingan untuk menunjang hidup. Ia sempat menjadi guru les privat, menjadi petugas survei, hingga menjadi kurir lepas. Namun yang pasti, Aldi belum rela menanggalkan panggilan “Pak Guru” dari kesehariannya.

Gaji bulanan Aldi sebagai guru honorer sebesar Rp700 ribu saja. Nominal ini amat jauh dari standar UMP di daerah Aldi tinggal. Dengan gaji sekecil itu, kata dia, mau tak mau Aldi mesti mencari tambahan pemasukan. Baru dua tahun ke belakang Aldi terpikirkan untuk membuka warung di depan rumahnya.

“Rp700 ribu itu untuk anak saya kecil satu, untuk istri, dan harian kita. Ada sedikit sekali yang kita putar di [modal] warung, jangan tanya [me]nabung gimana,” kata dia getir.

Aldi merasa menjadi guru honorer seperti orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia sering merasa miris masih terasa ada kasta antara guru honorer dengan ASN yang berpangkat PNS atau PPPK. Padahal, kata Aldi, kerja yang dilakukan sehari-hari tidak jauh berbeda. Ia menilai pemerintah seharusnya menghargai profesi guru setara tanpa kasta.

“Ketika gurunya makmur dan baik kehidupannya tidak memikirkan anak dan istri di rumah makan apa, itu akan semakin baik mengajarnya tidak banyak pikiran,” ujar Aldi.

Arma (28), punya kisah serupa dengan Aldi. Perempuan asal Jakarta ini sudah menjadi guru honorer selama 4 tahun. Ia mengaku bingung dengan status guru honorer yang seperti tidak diakui keberadaannya. Arma merasa seperti orang yang sedang bekerja ilegal. Padahal dia saban hari berusaha selalu bersemangat dan tabah mengajar di depan murid-muridnya.

Akhir April lalu, sebuah momen hampir meruntuhkan keteguhan Arma. Kala itu, ia guru mata pelajaran bahasa Inggris di salah satu SMP Negeri di Jakarta Pusat. Pada suatu pagi, Arma diminta menghadap kepala sekolah. Ternyata, ibu dari dua orang anak itu dipecat tiba-tiba karena pihak sekolah enggan bermasalah mempekerjakan guru honorer. Kasus pemecatan guru honorer di berbagai daerah beberapa bulan yang lalu ini disebut cleansing massal.

“Saya langsung keluar hari itu juga, diberhentikan lisan saja tanpa woro-woro sebelumnya,” ujar Arma kepada reporter Tirto, Jumat.

Saat ini Arma tetap menjadi guru honorer di salah satu SD negeri di daerah Kedoya. Arma diliputi kekhawatiran dan ketakutan jika peristiwa di sekolah sebelumnya kembali terulang. Ia juga bingung dengan statusnya sebagai guru, karena Dapodik miliknya sudah dinonaktifkan oleh sekolah sebelumnya sehingga ia belum bisa mendaftar PPPK.

Di sisi lain, kesejahteraan guru honorer membuat Arma mengelus dada. Arma mengaku gaji bulanannya saat ini hanya Rp1,5 juta, jumlah yang sangat jauh dari UMP DKI Jakarta. Dia terkadang mendapat gaji dalam sistem rapel. Adakalanya honor baru diterima Arma setelah dua bulan kerja. Hal ini membuat Arma harus ekstra ketat mengatur pengeluarannya selama dua bulan penuh.

“Honornya dari dana BOS dan memang katanya biasa dirapel. Bahkan di sekolah dulu, saya sempat tanda tangan terima gaji itu Rp4,5 juta tapi cuma nerima Rp1,3 juta. Lalu diminta itu jangan dibilang siapa-siapa atau guru lain,” ucap Arma.

Sejumlah guru antre untuk menerima SK Guru saat Pembinaan dan Penyerahan Surat Keputusan (SK) Guru Formasi CPNS 2018 di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (30/12/2023).ANTARA FOTO/Didik Suhartono/Spt.

Eksistensi guru honorer di Indonesia memang tampak seperti kelompok marjinal. Nasib guru honorer masih diliputi kisah nelangsa dan kegamangan. Guru honorer dikungkung status yang tidak pasti dan tanpa kejelasan masa depan. Buramnya jenjang karir guru honorer tercermin jelas dari ketidakjelasan pemerintah mengatur eksistensi guru honorer.

Keberadaan guru honorer masih dibutuhkan di lapangan karena banyaknya kebutuhan guru untuk mengajar di sekolah negeri. Di sisi lain, sederet regulasi yang dikeluarkan pemerintah justru meniadakan eksistensi guru honorer. Sejumlah aturan terkesan menegaskan bahwa guru honorer tidak diakui pemerintah.

Misalnya dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah; Surat Edaran Menpan RB Nomor B/1527/M.SM.01.00/2023 yang tidak memperkenankan pengangkatan non-PNS/non-PPPK tanpa nomor registrasi Badan Kepegawaian Daerah (BKN); serta dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN pada Pasal 66.

Lucunya, pemerintah tidak bisa mengelak bahwa mereka masih membutuhkan keberadaan guru honorer. Sikap ini tergambar jelas dalam Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis BOS Pengelolaan Dana BOS pada Pasal 40. Aturan itu masih mengatur jelas terkait pemberian gaji bagi guru honorer lewat Dana BOS.

Tak Diakui Negara

Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai kontradiksi yang ditunjukkan pemerintah terhadap guru honorer, makin menegaskan nelangsa nasib mereka. Guru honorer hadir di sekolah untuk mengajar tetapi tidak dapat pengakuan resmi dari pemerintah pusat dan daerah.

“Dan mereka hanya ada pengakuan kepala sekolah dan mereka mengandalkan dana BOS,” kata Iman kepada reporter Tirto, Jumat.

Pemberian gaji dengan Dana BOS juga bukan tanpa kendala. Menurut Iman, masih sering terjadi temuan sekolah yang menganggarkan gaji untuk guru honorer setara UMP daerah. Namun, sekolah tersebut ternyata mempekerjakan dua guru, sehingga gaji untuk satu orang diberikan kepada dua orang guru honorer.

Artinya, kata Iman, satu guru lainnya ilegal dan tidak diakui sama sekali. Namun sekolah terpaksa mempekerjakan mereka karena kekurangan tenaga pengajar. Alhasil, guru honorer ini diupah dengan sangat murah dan jauh dari kelayakan. Iman menyebut, rata-rata upah yang diterima guru honorer berada di kisaran Rp300 ribu sampai Rp1,5 juta.

“Mereka [guru honorer] hadir saat kekurangan guru, tetapi ketika guru honorer menanyakan kejelasan status pemerintah daerah atau sekolah, tidak mau memberikan status jelas,” ucap Iman.

Menurut Iman, saat guru honorer harus kerja sampingan demi membiayai hidupnya karena gajinya sebagai guru sangat kecil, artinya pemerintah sudah gagal menjamin kesejahteraan bagi guru. Padahal, guru honorer adalah bagian dari penyelenggara pendidikan yang sudah selayaknya diakui dan diberikan upah yang layak.

Logikanya, kata Iman, pemerintah membutuhkan guru namun gagal menyediakan lapangan kerja guru PNS dan PPPK. Dengan begitu, guru honorer justru hadir untuk sekolah yang kekurangan tenaga pengajar. Adanya aturan yang melarang keberadaan guru honorer justru menandakan pemerintah gagal melihat kenyataan di lapangan.

“Pemerintah justru berutang banyak dengan keberadaan guru honorer,” ujar Iman.

Data Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 2024 mencatat, terdapat 3.413.618 guru di Indonesia. Sebanyak 1.256.570 orang atau 36,81 persen berstatus PNS, 770.134 orang (22,56) PPPK, guru swasta 902.531 orang (26,44 persen), lalu guru honor yang belum terangkat di sekolah negeri 484.483 orang (14,19 persen). Jumlah ini belum termasuk guru honorer yang ada di madrasah atau di bawah Kementerian Agama.

Sebelumnya, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa melakukan survei kesejahteraan guru di Indonesia pada pekan pertama bulan Mei 2024. Survei dilakukan secara daring terhadap 403 responden guru di 25 provinsi. Responden survei terdiri dari 123 orang berstatus sebagai Guru PNS, 118 Guru Tetap Yayasan, 117 Guru Honorer atau Kontrak dan 45 Guru PPPK.

Hasilnya, sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan dan 13 persen diantaranya berpenghasilan dibawah Rp500 Ribu per bulan. Jika dirinci, ada 74 persen guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan bahkan 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan dibawah Rp500 Ribu.

Sejumlah murid berbaris sambil menyalami guru saat perayaan Hari Guru di SMP Negeri 1 Denpasar, Bali, Sabtu (25/11/2023). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/aww.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahrizal Martha Tanjung mengatakan, melihat situasi guru honorer saat ini, maka boleh dikatakan bahwa pemerintah telah gagal menjamin kesejahteraan guru dari sisi gaji atau upah layak. Pasalnya, kata dia, kesejahteraan guru bukan hanya berbicara soal gaji, tetapi juga hak-hak seperti jenjang karier, perlindungan hukum, kebebasan berorganisasi, kebebasan memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah, serta peningkatan kualifikasi dan kompetensi.

“Guru tidak punya pilihan akhirnya banyak yang melakoni kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentunya berdampak terhadap kesungguhan guru mengajar di kelas yang tidak maksimal,” kata Fahrizal kepada reporter Tirto, Jumat.

Pemerintah, kata dia, idealnya mampu menjamin kesejahteraan guru sesuai amanat dari UU Guru dan Dosen. Dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan mendapat jaminan kesejahteraan sosial. Penggunaan frasa ‘kebutuhan hidup minimum’ di dalam UU ini dinilai Fahrizal jelas merujuk pada UU Ketenagakerjaan.

“Dengan UU Ketenagakerjaan ini, sistem penggajian tenaga kerja telah melahirkan sistem upah minimum. Maka idealnya, guru-guru memiliki standar upah minimum dalam suatu wilayah,” ucap Fahrizal.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyatakan bahwa pihaknya tidak berwenang dalam hal menaikkan gaji guru ASN maupun gaji guru yang ada di bawah naungan yayasan. Gaji guru ASN telah diatur sesuai pangkat dan golongan, sedangkan gaji guru swasta diatur sesuai kemampuan sekolah atau yayasan. Namun, kata Mu’ti, guru yang mengikuti sertifikasi akan mendapatkan tunjangan tambahan.

“Begitu dia ikut sertifikasi, maka dia mendapatkan tunjangan sertifikasi, yang dengan tunjangan itu, maka kesejahteraannya akan meningkat. Jadi meningkatnya bukan karena kita menaikkan gaji, tapi melalui sertifikasi,” kata Mu’ti di Jakarta, Selasa (19/11/2024).

Sentimen: positif (100%)