Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Beijing
AS Sebut Mobil Listrik Jadi Ancaman Keamanan Data, China: Terlalu Dibesar-besarkan
Republika.co.id Jenis Media: Otomotif
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin kembali menyebut kekhawatiran dan kecurigaan Amerika Serikat (AS) terhadap produk mobil dari Chiba khususnya mobil listrik terlampau dibesar-besarkan.
"Membesar-besarkan apa yang disebut sebagai 'ancaman China' terhadap keamanan data hanyalah mengarang-ngarang alasan untuk membenarkan tindakan AS dalam menindas China," kata Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu (13/3/2024).
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Menteri Perdagangan Amerika Serikat Gina Raimondo yang mengatakan mobil listrik asal China suatu hari nanti dapat dikendarai di jalan-jalan AS jika ada kontrol cukup Pemerintah AS terhadap perangkat lunak dan sensor di mobil-mobil tersebut. Pernyataan itu disampaikan oleh Raimondo dalam wawancara dengan media saat kunjungannya ke Filipina pada Senin (11/3/2024).
"AS telah menggunakan apa yang disebut keamanan data sebagai dalih untuk membatasi aliran data ke negara-negara yang dianggap mencurigakan dan mengumumkan penyelidikan atas kendaraan yang terkait ke negara-negara tertentu," kata Wang Wenbin.
Langkah tersebut, kata Wang Wenbin, berarti menyalahgunakan konsep keamanan nasional dan bertujuan menekan perkembangan perusahaan-perusahaan dari negara lain.
"Kami berharap AS akan mengambil tindakan nyata untuk menjaga lingkungan bisnis yang terbuka, adil dan tidak diskriminatif serta bekerja sama dengan pihak lain untuk merumuskan aturan keamanan data universal dan memberikan kontribusi positif terhadap aliran data yang bebas di seluruh dunia," jelas Wang Wenbin.
China, sebut Wang Wenbin, tidak pernah menyalahgunakan batasan aturan untuk menargetkan negara atau perusahaan tertentu.
"Kami menyambut perusahaan dari semua negara dan 'platform', segala jenis produk dan layanan ke pasar China selama mereka mematuhi persyaratan undang-undang dan peraturan China," tambah Wang Wenbin.
Menurut Wang Wenbin, dalam rantai industri kendaraan listrik, berbagai pihak mempunyai kepentingan yang saling terkait. "Keberhasilan China dalam industri kendaraan listrik adalah keberhasilan globalisasi. Kendaraan listrik China diterima secara luas di dunia bukan karena menggunakan subsidi, namun dengan berupaya meningkatkan kualitas dan menurunkan biaya," ungkap Wang Wenbin.
Wang Wenbin pun menyebut kendaraan listrik dari China juga berkontribusi terhadap pembangunan global yang ramah lingkungan dan rendah karbon.
"China berkomitmen terhadap keterbukaan berstandar tinggi dan menjunjung prinsip-prinsip ekonomi pasar dan peraturan WTO. Kami siap menyediakan lingkungan bisnis yang terbuka, inklusif, transparan, dan non-diskriminatif bagi perusahaan-perusahaan dari semua negara yang melakukan kerja sama perdagangan dan investasi di China, posisi ini tetap tidak berubah," tambah Wang Wenbin.
Selain menggunakan baterai sebagai pengganti bensin untuk sumber tenaga, kendaraan listrik saat ini juga dilengkapi dengan perangkat lunak bantuan mengemudi maupun sarana hiburan di dalam mobil yang terhubung dengan ponsel pengguna.
Hal itu menimbulkan kekhawatiran soal pengumpulan data seperti yang disampaikan Gedung Putih pada akhir Februari yang menyebut Departemen Perdagangan akan menginvestigasi apakah kendaraan listrik yang diimpor dari China menimbulkan risiko keamanan nasional.
Raimundo menyebut hal itu adalah demi melindungi rakyat AS dari ancaman yang ditimbulkan China. Kekhawatiran mengenai potensi akses data atas masyarakat di AS itu juga yang mendorong para legislator AS mempertimbangkan rencana undang-undang (RUU) yang dapat melarang aplikasi media sosial TikTok beroperasi di AS. TikTok dimiliki ByteDance yang berbasis di China.
Raimundo juga menyebut upaya AS untuk mengamankan rantai pasok terutama di bidang semikonduktor "membuat kemajuan signifikan".
Dalam kunjungannya selama dua hari ke Filipina, Raimundo memimpin delegasi 22 eksekutif senior dari bisnis dan organisasi nirlaba AS yang mengumumkan 1 miliar dolar (sekitar Rp15,49 triliun) investasi baru di Filipina.
sumber : Antara
Sentimen: positif (80%)