Sentimen
Informasi Tambahan
Club Olahraga: Barcelona
Institusi: Korpri
Kab/Kota: Surabaya, Karet
Surat Cinta dari Venesia
Detik.com Jenis Media: Hiburan
Venesia, 22 Februari 2022
Untuk Ibuku tercinta
di rumah mungil dengan sepasang pohon kelapa kembar di halaman
Aku tulis surat ini di atas kertas ilusi, dengan pena mimpi. Bersama merah merekah bunga-bunga tulip dan lili, aku mencoba meremas dan merobek-robek segala penyesalan lalu agar tiada sesal kemudian. Dengan kerendahan hati dan rasa syukur yang banyak, aku mencoba menulis surat ini untukmu, Bu. Walau bagaimanapun, usaha bakti padamu kadang terasa sia-sia dan tak seberapa. Berbeda jauh dengan semua pengorbananmu. Aku yakin cinta yang kau berikan padaku tak pernah ternilai harganya. Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membalasnya. Aku hanya ingin melihatmu terus bahagia walau dalam kesendirian, meski dari kejauhan, itu saja.
Bu, detik yang terus berlalu membuatku sadar. Kadang aku benar-benar tak pernah ingin menjadi dewasa. Berharap ke masa manis dahulu dengan hidup tanpa beban. Mencoba kembali dalam pikiran-pikiran lugu tanpa aturan rumit nan berbelit. Tentu ini begitu berlawanan saat dulu aku begitu ingin cepat menjadi besar. Melihat bapak berkaca memakai seragam batik KORPRI khas pegawai negeri, lalu memakai sepatu pantofel yang sama klimisnya dengan rambutnya. Aku ingin jadi seperti bapak, pikirku. Bekerja sebulan lalu menerima gaji di tanggal 25.
Dengan uang gaji itu tentu aku bisa membeli topeng dan pedang plastik yang bisa menyala beberapa buah. Bertarung dengan kawan-kawanku dan aku akan mempertahankan posisiku sebagai Power Rangers Merah. Menjadi pemimpin di permainan itu lalu berteriak-teriak membunuh monster-monster yang hendak menyerang bumi. Aku, Seno, Gilang, Lastri, dan Dwi akan terus mempertahankan keutuhan bumi. Jumpalitan di pekarangan Pak Kemat hingga sore hari lalu meninggalkan jejak-jejak pohon singkong dan pohon pisang yang patah dan berantakan.
Kulihat, Lastri dan Gilang saling berebut peran. Gilang yang kemayu malah ingin jadi Power Rangers Pink. "Kamu kan laki-laki?" Begitu tanyaku ketus. Aku tak tahu apakah sampai hari ini ia masih sakit hati padaku. Yang terjadi kemudian kami lari tunggang langgang lantaran diusir Pak Kemat yang berteriak kesal di pintu belakang rumahnya.
Ternyata, meninggalkan masa kekanakan dan menjadi dewasa tak semudah yang kubayangkan. Cicilan motorku yang nunggak, belum bayar SPP kuliah, menunggu honor cerpen yang tak kunjung datang, juga cinta dan rindu pada teman wanitaku yang tak kunjung terbalas. Aku bisa saja menginginkan atau meminta Tuhan mengubah tubuhku kembali kecil seperti bocah. Namun tetap saja, pikiran dalam otakku akan terus mendewasa. Jelas berbeda.
Sekarang aku sering mengumpulkan tiket nonton bioskop bersama teman-temanku. Tak ada yang wanita. Aku pria penakut. Mohon jangan tanya aku mau nikah kapan ya, Bu! Nanti aku kirim kabar setelah siap. Tiket itu sengaja aku pamerkan ke media sosial. Aku begitu agar tak dicap sebagai manusia kamar yang setiap malam terus mengunyah buku. Ini jauh berbeda sekali dengan dulu. Ketika tawa bahagia menjadi satu. Ketika aku telah berhasil mengumpulkan bungkus permen karet hanya untuk menderetkan alfabet agar menjadi sebuah nama merek permen itu. Aku telah berhasil mengumpulkan 4 huruf. Y-O-S-A. Sekali lagi, coba lagi, lalu coba lagi untuk menemukan alfabet terakhir demi membentuk kata Y-O-S-A-N.
"Bu, huruf N susah dapatnya. Adek sudah beli tiap hari. Kalau huruf N ketemu, nanti bisa dapat sepeda lho, Bu."
Engkau hanya membalas dengan gelengan. Sebuah politik perdagangan yang aku belum paham saat itu. Sekarang, saat jagoan kembarku sudah berumur 4 tahun, aku jadi paham arti gelengan itu. Batas kesabaran yang sering ditahan oleh seorang ibu. Membeli snack mahal yang hanya berisi angin. Jumpalitan di kasur dan memporak-porandakan bantal dan seprai. Mandi air hujan seharian. Mencoba minggat dari rumah saat dimarahi lalu kembali karena lapar. Juga dengan uang receh di bawah kasur kembalian beli sayur, aku yang telah mengambilnya, Bu. Aku dipaksa mencuri karena kawanku terus mengajakku adu kelomang. Tuhan pasti telah mencatat semuanya. Maafkan aku, Bu!
Kini saat melihat anak-anakku, aku seperti kembali ke masa dahulu. Seolah berkaca pada masa lalu. "Jika ingin dekat dengan mereka, sejenak masuki dunianya. Lupakan tugas-tugas kantor dan obrolan dengan teman Facebook. Jauhkan ponsel darimu." Itulah ucapan yang sering dilontarkan istriku. Ya, setidaknya aku sedikit belajar, dulu aku juga seperti mereka, bukankah orangtua juga tetap anak dari orangtuanya yang dulu. Mereka belajar dan bermain dari tingkah laku dari kedua orangtuanya. Sekarang aku paham.
Satu hal yang pernah diucapkan istriku, laki-laki memang tak pernah bisa dewasa. Hipotesis dari mana itu aku tak tahu. Pernah satu hari kami pulang saat magrib menjemput dengan tubuh lusuh dan bau amis. Kedua tangan memegang tiga joran pancing dan kantung kresek berisi lima ikan betik dengan ukuran sedang. Wajah anak-anakku polos memeluk paha menatap istriku dengan muka memelas dan mata sebening kristal. Jauh berbeda dengan air muka ayahnya yang sedikit acuh dan malas berdebat.
"Bukan apa-apa. Bikin khawatir. Kalau pergi bilang mau ke mana. Jangan begini lagi, pulang malam. Sudah mandi sana, terus makan!"
Kami memilih diam. Menjawab adalah ajakan perang. Tetapi kami baru sadar jika dari balik pintu ia mengamati tingkah laku kami bertiga di dalam kamar mandi. Saat busa-busa beterbangan dan dalam ketelanjangan serta tawa cekikikan itu, ia dengan sengaja perlahan membuka pintu. Aku melihatnya, seperti tadi. Gelengan kepala dan kesabaran yang ditahan. Kedua anakkku buru-buru berebut merangkul kepalaku yang berendam dalam bathtub. Wajah ketakutan seperti melihat monster karena kami sudah kelewat berisik. Cukup lama kami terdiam, sampai suara itu melegakan hati.
"Cukup, akting kalian bagus juga. Gambar yang bagus. Cocok ini. Mama lagi mau ikut lomba fotografi. Siapa tahu nanti aku dapat hadiahnya," ia melenggang pergi dengan meninggalkan sesungging senyum di balik daun pintu. Dalam hati, yang benar saja. Gila! Mudah-mudahan tidak ada bagian sensitif yang tersorot kamera tadi.
Hati wanita memang serupa lukisan abstrak. Sebagai laki-laki aku sering berlatih meramal isi hati istriku demi mendapat pelukannya. Untuk rumus ini aku tak begitu yakin, aku hanya bergurau saja. Lagi pula aku sering melihat Ibu dulu sering bercanda mesra tanpa rumus-rumus rumit dari buku. Para penulis di luar sana juga banyak yang mencipta buku-buku rumus cinta untuk keharmonisan rumah tangga. Namun, kau sungguh tak perlu itu, Bu. Aku yakin, cintamu padaku dan bapak tulus dan murni untuk keluarga. Tanpa embel-embel pamrih, atau dengan rumus rumah tangga yang mencuplik Google dan Youtube sebagai acuan ibu-ibu muda sekarang, padahal belum tentu kebenarannya.
Ibu masih ingat saat aku menangis di halaman karena digigit laba-laba? Ya, demi bisa memanjat dinding rumah lalu memperbaiki genteng yang bocor sengaja aku sodorkan telunjukku pada binatang berbulu kaki delapan warna hitam, kuning, dan biru di daun pacar di halaman depan, sebab bapak tak pulang-pulang.
Sejujurnya aku ingin menjadi Spiderman seperti dalam film yang kulihat semalam. Tubuh berubah merah lalu bergelantungan ke pohon dan tiang. Tetapi itu tak pernah terjadi. Tanganku ketika itu tak pernah mengeluarkan benang-benang putih halus dan lengket. Yang terjadi aku kesakitan. Ibu malah terus tertawa, aku makin kencang menangis. Lalu, di sela tangisku itu engkau berkata, "Tumben bapakmu belum pulang dari Surabaya, ini sudah tanggal 28. Ada apa ya? Mudah-mudahan ia baik-baik saja," suaramu bernada cemas walau mencoba ditahan. Tangisku berhenti saat engkau bilang bapak akan pulang lusa dari kabar telepon tetangga yang punya wartel.
Lain ladang, lain belalang. Itu yang kurasakan sekarang. Anak-anakku tak satu pun yang mengidolakan ayahnya. Berangkat kerja memakai seragam wearpack abu-abu tua dengan seperangkat alat-alat khas maintenance di dalam kotak perkakas. Dan di sela-sela pekerjaanku, kusempatkan pikiranku berkhayal lalu menulis dalam laptopku saat istirahat. Namun, mereka tak pernah ingin jadi seperti ayahnya. Aku malah senang, suatu hari nanti mereka bisa memilih nasibnya sendiri.
"Pa, kapan kita main ke Barcelona? Aku ingin ketemu sama Messi. Foto bareng dan minta tanda tangan."
Alisku berjengit. Bingung mau menjawab. Aku tak begitu suka bola. Itulah kenapa saat ia bercerita tentang Stadion Camp Nou dan gegap gempita di dalamnya, aku hanya mencoba menjadi pendengar setia. Entah dari mana mereka tahu itu semua. Mungkin istriku, ia suka bola biarpun seorang wanita.
Sebentar lagi ulang tahunmu yang ke-65. Tak ada yang bisa kuberikan selain doa agar engkau selalu diberikan kesehatan. Nanti, jika ada waktu, umur, dan rezeki, kuajak Ibu jalan-jalan sembari naik gondola menyusuri Grand Canal sambil melihat keindahan jembatan Rialto. Lalu pulangnya mampir ke Piazza San Marco. Nanti kuajari juga makan cicchetti. Cucu-cucumu di sini sangat merindukanmu. Semoga kau baik-baik saja dan selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan dalam menjalani hidup. Bu, aku benar-benar rindu. Apalagi dengan makanan buatanmu. Urap kembang turi juga sayur cangkang melinjo yang pedas. Aku benar-benar rindu, Bu.
Salam cinta dan sayang dariku juga menantumu.
Peluk cium dari cucu-cucumu, Deon dan Diaz.
***
"Sayang, apa kamu tahu draf surel di laptop ini?"
"Eh, ada ya? Tadi pas kamu keluar, laptop ini buat nonton Youtube si kembar."
"Duh, malah terkirim. Siapa ini? Kapan kamu ngajarin mereka utak-atik email?"
"Enggak pernah. Ke siapa?"
"Foto akunnya sih Messi."
Dody Widianto lahir di Surabaya, karyanya tersebar di berbagai antologi dan media
Simak Video "Pierre Gruno Lakukan Penyerangan Gara-gara Ini"
[-]
(mmu/mmu)
Sentimen: positif (100%)