Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: California
Tokoh Terkait
Nia Asmady, Sosok Muda Berbakat di Balik Peluncuran Satelit RI Terbesar di Asia
Detik.com Jenis Media: Ekonomi
Tampil necis, kasual, serta cantik dengan wajah yang selalu tersenyum. Begitulah gaya Adipratnia Satwika Asmady, sosok wanita muda berusia 29 tahun di balik suksesnya peluncuran Satelit Nusantara Tiga atau yang juga disebut Satelit Republik Indonesia (Satria-1). Satelit terbesar dari di Asia milik Indonesia.
Satria-1 adalah satelit Indonesia yang meluncur menggunakan Roket Falcon 9 milik perusahaan Elon Musk, SpaceX, dari Florida pada 19 Juni 2023 lalu. Satelit ini berfungsi untuk memberikan akses internet yang merata ke berbagai wilayah Indonesia, khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Siapa yang menyangka, ada anak muda yang memegang peranan penting di balik peluncuran satelit yang sempat dipamerkan para menteri hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. Adipratnia, atau yang akrab disapa Nia salah satu orangnya.
Sekilas, Nia tampak seperti anak muda gaul pada umumnya yang banyak ditemui di ibu kota. Anaknya sedikit malu-malu, apalagi saat diminta untuk diambil fotonya. Di balik itu semua, dirinya punya tanggung jawab besar sebagai Customer Launch Director dalam peluncuran satelit terbesar di Asia tersebut.
Sebagai Customer Launch Director, salah satu tanggung jawab Nia adalah memegang kendali satelit tersebut bisa meluncur atau tidak. Pada saat peluncuran Satria-1, Nia berada langsung di dalam gedung SpaceX Lauch & Landing Control untuk memonitor proses satelit mengangkasa.
Jika satelit sudah siap meluncur, Nia lah yang memberikan aba-aba 'go, or no go' kepada tim roket SpaceX. Dari aba-aba Nia tersebut, barulah Satria-1 yang berkapasitas 150 Gbps itu bisa meluncur dengan roket SpaceX ke orbit 146 derajat Bujur Timur (BT) di langit Papua.
Dengan sedikit malu-malu, perempuan kelahiran Jakarta 24 Agustus 1993 itu bercerita awal mula bisa dipercaya dalam proyek Satria-1. Satria-1 sejatinya adalah proyek kedua yang dipegang oleh Nia, setelah sebelumnya juga dipercaya kantornya, PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), ikut dalam proyek Satelit Nusantara Satu pada 2019.
"Di 2019 PSN meluncurkan Satelit Nusantara Satu. Jadi saya masuk PSN 2017, itu yang proyek itu Nusantara Satu lagi on hold karena masih terkendala financing. Tapi pas proyeknya udah jalan lagi, saya ditugasi jadi Project Management Office. Di waktu proyek itu, saya sempat sebulan di US, monitoring progress konstruksi satelit. Mengawasi, tapi waktu itu nggak ikut bagian desainnya," kata Nia ditemui di Orlando, Florida, beberapa waktu lalu.
Karena sudah punya pengalaman di proyek Satelit Nusantara Satu, Nia kembali ditunjuk PSN untuk ikut menggarap Satria-1. Bedanya dengan Nusantara Satu, dalam proyek Satria-1 ini Nia terjun langsung mulai dari proses desain, negosiasi kontrak dengan pemerintah, hingga mengawasi proses perakitan di Thales Alenia Space, Prancis.
Nia Asmady menggunakan jaket PSN saat ditemui di Orlando usai peluncuran Satria-1 Foto: Fadhly Fauzi RachmanEngineer muda lulusan California Polytechnic State University, itu seorang diri mengawasi proses perakitan Satria-1 selama satu tahun di Prancis. Selama proses itu, terkadang Nia juga harus bisa mengambil keputusan besar untuk mewakili perusahaan. Dia harus memastikan Satria-1 yang dibuat oleh Thales Alenia sesuai dengan yang diharapkan.
"Karena satelitnya nggak bisa dibetulin kalau sudah meluncur, dan environment-nya ekstrim, barang-barangnya harus kualifikasinya space grade. Harus benar-benar, almost perfect. Misalnya bautnya kegedean, terus signal-nya 10 dB ini adanya 9,5 dB bisa atau nggak. Ini harus kita diskusikan, ini kita accept atau kita reject," jelas Nia.
Hal itu menurut Nia jadi tekanan besar untuknya. Sebab jika salah mengambil keputusan, ia bertanggung jawab dengan proyek senilai US$ 545 juta atau setara Rp 7,68 triliun. Namun ia tetap menjalaninya dengan lancar.
"Yang bikin deg-degannya itu sih, karena kaya aku ngerasa 'ada kemungkinan nggak ya, satu keputusan ini ada impact-nya'. Sama takut, kalau proyeknya kenapa-kenapa atau takut ada salah ambil keputusan. Tapi aku merasa, 'oke kalau bukan gue yang ambil keputusan, ya nggak ada lagi'," katanya.
Bukan cuma itu, selama mengawasi produksi satelit di Prancis, Nia juga kerap memiliki jam kerja ganda karena perbedaan waktu dengan Indonesia. Pada pagi hari sampai sore, ia sibuk mengawasi satelit, lalu pada saat tengah malam ia juga harus memberikan laporan kepada kantornya di Jakarta.
"Makanya kadang banyak momen-momen yang kaya, banyak banget yang udah aku lakuin buat perusahaan. Kaya demi secinta ini dengan perusahaan, karena nggak make sense," curhatnya.
Meski lelah dan banyak tekanan dalam mengerjakan Satria-1, anak kedua dari dua bersaudara itu tetap bangga bisa diberi kesempatan untuk mewakili perusahaan selama di Prancis. Ia pun punya cara untuk mengatasi tekanannya dalam bekerja.
"Jujur aku nggak begitu religius, tapi aku mencoba untuk spiritual. Dan aku bilang meditasi itu membantu. Terus juga cuci mata, liat nature," katanya.
Nia pun akhirnya bisa merasa cukup lega setelah satelit Satria-1 bisa meluncur dengan sukses tanpa hambatan. Ia pun berharap proyek yang telah dikerjakannnya ini bisa berdampak positif untuk banyak orang yang membutuhkan.
"Karena kaya yang, 'aku kerjain ini buat NKRI, orang-orang yang nggak akan tau ini proyek aku'. Ini bener-bener untuk somebody, somewhere yang aku juga mungkin nggak akan kenal, dan aku nggak akan bisa paham impact-nya sedangkal atau sedalam apa. Cuma ya sudah aku jalani. Aku juga ingin PSN jadi contoh yang bagus. Dan aku juga kerja keras untuk orang tua aku, karena mereka sudah kasih banyak ruang yang spesial buat aku," katanya.
(fdl/fdl)Sentimen: positif (100%)