Suhu Saham Ini Bawa Ramalan Buruk, Berani Baca?
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat masih dibayangi tanda tanya terkait potensi resesi buntut dari kenaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 1% dari sebelumnya 0,4% oleh The Fed.
Meski demikian, banyak yang memprediksi Amerika Serikat tetap akan mengalami resesi, dan bursa saham (Wall Street) akan kehabisan tenaga menguat kemudian berbalik merosot.
Jeremy Siegel, salah satu suhu di pasar finansial, menjadi salah satu yang memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi, meski yang ringan saja.
"Saya memperkirakan akan terjadi resesi yang ringan dan bisa dikatakan pasar sudah memposisikannya," kata Siegel sebagaimana dilansir Business Insider, Kamis (15/6/2023).
Pensiunan profesor keuangan di Wharton School of the University of Pennsylvania juga memperingatkan para pelaku pasar terhadap pergerakan bursa saham ke depannya. Indeks S&P 500 sudah melesat lebih dari 20% dari level terendah Oktober 2022 dan masuk pasar bullish, tetapi Siegel mengatakan saat dot com bubble dan krisis finansial 2008, S&P 500 juga sempat menguat lebih dari 20%.
"Pasar saham yang saat ini sedang bullish bukan jaminan tidak akan terjadi penurunan. Saya masih berhati-hati dan saya tidak berfikir kita berada pada posisi awal tren kenaikan," ujarnya.
Siegel juga mengatakan kemerosotan S&P 500 bisa terjadi, tetapi tidak akan terjun ke bawah level terendah Oktober 2022 di kisaran 3.500. Artinya, ada risiko S&P 500 anjlok lagi sekitar 20% dari level saat ini di kisaran 4.400.
Baik resesi Amerika Serikat, hingga indeks S&P yang berisiko anjlok lagi tentunya akan berdampak ke Indonesia.
Perekonomian Indonesia bisa mengalami lebih banyak tekanan dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Terkait The Fed, Siegel justru melihat suku bunga tidak akan dinaikkan lagi. Hal ini berbeda dengan pengumuman kebijakan The Fed Kamis dini hari waktu Indonesia.
The Fed mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 5% - 5.25%, setelah menaikkan sebanyak 10 kali beruntun dengan total 500 basis poin. Namun, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.
Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% - 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis poin.
Tidak hanya dinaikkan, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama. Hal itu diungkapkan oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
"Pemangkasan suku bunga akan tepat dilakukan saat inflasi turun secara signifikan. Dan sekali lagi, kita berbicara beberapa tahun ke depan," kata Powell.
Langkah tersebut diambil guna membawa inflasi kembali ke target 2%. Namun, Siegel memprediksi The Fed pada akhirnya akan mengubah target inflasinya menjadi 3%.
Perekonomian Amerika Serikat saat ini memang cukup membingungkan. Dengan suku bunga yang berada di level tertinggi 16 tahun dan dua kali lipat lebih tinggi dari batas yang dianggap netral 2,5% seharusnya sudah terjadi kemerosotan ekonomi hingga resesi. Nyatanya tanda-tanda tersebut belum terlihat, bahkan pasar tenaga kerja masih sangat kuat.
Pada awal bulan ini, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Mei perekonomian mampu menyerap 339.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), jauh lebih tinggi dari prediksi 190.000 orang. Berdasarkan catatan Dow Jones, penyerapan tenaga kerja tersebut sudah 29 bulan beruntun lebih tinggi dari ekspektasi.
Tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 3,7%, tetapi masih di dekat level terendah sejak 1969. Kenaikan upah per jam juga masih kuat, sebesar 4,3%year-on-year. Hal ini membuat inflasi di Amerika Serikat menjadi susah turun.
[-]
-
Harga Rumah Anjlok Parah, Pemicunya Ternyata Ini
(haa/haa)
Sentimen: negatif (99.9%)