Review Never Have I Ever (Season 4): Sebuah Konklusi yang Memuaskan
Detik.com Jenis Media: Hiburan
Ketika pertama kali dirilis pada bulan April 3 tahun lalu, Never Have I Ever dengan cepat menarik perhatian saya. Sebagai pecinta cerita remaja, serial yang satu ini memberikan sesuatu yang menyegarkan meskipun resepnya sama saja. Ada cerita tentang identitas, rasa ingin divalidasi oleh orang lain, drama pertemanan, drama percintaan, dan tentu saja hubungan anak dan orang tua.
Meskipun perjalanannya familier, tapi Never Have I Ever berhasil menjadi segar karena ia mempunyai tokoh yang tiga dimensional. Devi (Maitreyi Ramakrishnan) sebagai seorang anak dari imigran dengan segala drama yang ia alami ternyata menjadikan serial ini menjadi salah satu tontonan Netflix yang tidak bisa dilewatkan. Berita baiknya, musim keempat sekaligus penutup dari kisah Devi ternyata memberikan ending yang memuaskan.
Di akhir musim ketiga, Devi dan Ben Gross (Jaren Lewinson) kembali bertemu setelah semua drama yang terjadi. Mengingat ini adalah tahun terakhir Devi sebagai anak SMA, tidak mengherankan kalau pembuat Never Have I Ever menempatkan Devi ke situasi yang sangat normal dirasakan oleh remaja yang tinggal di Amerika: berhubungan seks untuk pertama kalinya. Dan tentu saja setelah mereka berhubungan untuk pertama kalinya, baik Devi dan Ben sama-sama canggung. Devi hubungannya dengan Ben akan berjalan normal, tapi begitu masuk sekolah ia menemukan Ben punya pacar bernama Margot (Victoria Moroles).
Selain kisah cinta, tentu saja teman-teman Devi juga mempunyai masalah yang pelik. Eleanor (Ramona Young) dan Fabiola (Lee Rodriguez) masing-masing mempunyai krisis tentang apa yang akan mereka lakukan setelah lulus SMA. Fabiola menemukan dirinya diterima di kampus yang diidolakan oleh Devi, sementara Eleanor berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya sebagai aktor. Paxton Hall-Yoshida (Darren Barnet), yang sempat mengelilingi orbit hati Devi, menemukan dirinya tidak cocok dengan dunia kampus dan sekarang bekerja di sekolah Devi. Apakah ia tetap menjadi cowok ter-cool di sekolah atau justru hal ini menjadi bahan olok-olokan siswa lain?
Setelah menyaksikan empat musim Never Have I Ever, saya kagum dengan bagaimana kreator Mindy Kaling dan Lang Fisher menciptakan karakter Devi. Tidak seperti kebanyakan cerita remaja, Kaling dan Fisher tidak ragu-ragu untuk menunjukkan bahwa musuh utama Devi adalah dirinya sendiri.
Kemampuan Devi untuk mensabotase dirinya sendiri adalah sesuatu yang sungguh luar biasa. Musim keempat serial ini juga tidak lepas dari hal-hal bodoh yang dilakukan Devi. Dan ternyata justru hal tersebut yang menjadikan Never Have I Ever menjadi salah satu cerita remaja yang menyegarkan. Kita sebagai penonton diajak untuk melihat bagaimana Devi belajar dari kesalahannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sungguh pengalaman yang cukup emosional untuk melihat seorang gadis di musim pertamanya yang tidak bisa move on dari kematian ayahnya kemudian berubah menjadi gadis yang meraih mimpinya.
Sebagai musim penutup, tentu saja Never Have I Ever berniat untuk memberikan konklusi terhadap semua karakter pentingnya. Ada berbagai macam konflik yang hadir dalam 10 episode di musim keempat ini. Dari yang kurang penting (nenek Devi yang punya pacar baru), yang medium penting (bagaimana Paxton terombang-ambing mencari tujuan hidupnya), sampai yang krusial (hubungan Devi dengan ibunya), Never Have I Ever berhasil memberikan closure yang memuaskan. Yang mengejutkan, semua closure yang ada di serial ini disampaikan dengan menghibur. Tidak ada satu pun episode di musim keempat ini yang membosankan. Semuanya menawarkan keseruan tersendiri.
Dari segi permainan, semua aktor dalam serial ini memberikan penampilan terbaiknya. Setelah empat musim, chemistry semua pemainnya terlihat begitu prima. Ramakrishnan dengan Barnet bisa terlihat akrab seperti sahabat bahkan dengan screen time yang tidak sebanyak musim pertama. Poorna Jagannathan sebagai Ibu Devi memiliki kemampuan akting yang lebih dari mumpuni untuk memancing air mata di detik-detik terakhir. Ramona Young dan Lee Rodriguez terlihat seperti bestie Ramakrishnan sungguhan. Dan tentu saja Jaren Lewinson tahu apa yang ia lakukan untuk membuat ending Never Have I Ever berkesan.
Dengan warna-warna yang terang benderang dan durasi yang bersahabat, Never Have I Ever adalah sebuah tontonan wajib bagi Anda pecinta remaja. Selamat jalan, Devi. Selamat membuka bab baru dalam hidupmu!
Never Have I Ever dapat disaksikan di Netflix.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
Simak Video "Aksi Jason Momoa Balas Dendam Lawan Tim Vin Diesel di Film Fast X"
[-]
(mau/mau)
Sentimen: positif (100%)