Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: pengangguran, kebakaran
Tokoh Terkait
Harga Minyak Turun, Lagi- Lagi Karena Amerika
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kembali turun pada awal perdagangan Jumat (19/5/2023) melanjutkan tren pelemahan pada perdagangan hari sebelumnya.
Harga minyak mentah WTI melemah hingga 0,11% ke posisi US$71,78 per barel sementara harga minyak mentah brent juga dibuka melemah hingga 0,18% ke posisi US$75,83 per barel.
Pada perdagangan Kamis (18/5/2023), minyak WTI ditutup anjlok 1,33% ke posisi US$71,86 per barel sementara minyak brent juga melemah 1,29% ke posisi US$75,97 per barel.
Harga minyak turun pada Kamis sekitar 1% setelah data ekonomi Amerika Serikat (AS) masih menunjukkan panasnya ekonomi AS. Kondisi ini meningkatkan ekspektasi pasar mengenai kenaikan suku bunga yang akan dilakukan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) pada Juni nanti.
Harapan melunaknya The Fed semakin memudar setelah klaim pengangguran AS turun. Dolar AS pun kemudian menguat.
Pada pekan yang berakhir pada 13 Mei terdapat 242.000 pengajuan klaim pengangguran. Jumlah tersebut turun dibandingkan pekan sebelumnya yakni 264.000 serta tak sejalan ekspektasi pasar yakni 254.000.
Dolar yang lebih kuat membebani permintaan minyak karena bahan bakar lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya termasuk rupiah.
Inflasi AS tampaknya tidak mendingin cukup cepat untuk membuat The Fed menghentikan kenaikan suku bunganya.
Sejumlah pejabat terus menyampaikan pandangan hawkishnya.
Presiden The Fed Richmond, Thomas Barkin, mengatakan dirinnya merasa "nyaman" jika The Fed harus menaikkan suku bunga lagi pada Juni mendatang untuk menekan inflasi.
Pernyataan ini memperpanjang pernyataan Chief Cleveland Loretta Mester mengatakan The Fed belum pada titik di mana mereka merasa perlu untuk menahan suku bunga.
Senada, Presiden Fed Dallas Lorie Logan juga mengatakan inflasi saat ini tidak turun cukup tajam untuk mendukung pivot kebijakan.
Gubernur Fed Philip Jefferson mengatakan terlalu dini untuk melakukan pivot kebijakan hanya berdasarkan data saat ini.
Suku bunga tinggi meningkatkan biaya pinjaman, yang dapat memperlambat ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.
"Kabar baik bagi ekonomi sekarang menjadi berita buruk bagi prospek permintaan minyak mentah karena ketahanan ekonomi akan memaksa The Fed untuk mematikan perekonomian," ucap Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA, dikutip Reuters.
Sementara itu, krisis plafon utang pemerintah sepertinya bisa diselesaikan sehingga mengurangi kekhawatiran pasar akan ketidakpastian ekonomi.
Presiden Joe Biden dan anggota kongres utama AS dari Partai Republik Kevin McCarthy pada hari Rabu menggarisbawahi tekad mereka untuk mencapai kesepakatan guna menaikkan plafon utang pemerintah federal sebesar $31,4 triliun. Pemerintah dapat kehabisan uang untuk membayar tagihannya paling cepat 1 Juni nanti.
Wakil Presiden AS Kamala Harris dan penasihat ekonomi utama Biden, Lael Brainard, mengatakan gagal bayar utang (default) akan membuat ekonomi jatuh ke dalam resesi.
Sementara itu, Wakil Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Luis de Guindos mengatakan ECB harus terus menaikkan suku bunga lebih lanjut untuk mengembalikan inflasi ke target jangka menengahnya sebesar 2% meskipun sebagian besar pengetatan telah dilakukan.
Hal lain yang membebani harga minyak, dimana saham blue-chip di China tergelincir setelah produksi industri dan pertumbuhan penjualan ritel negara itu di bawah perkiraan.
Hal tersebut dapat menghilangkan momentum pemulihan ekonomi. Diketahui China merupakan importir minyak terbesar dunia. Penjualan ritel melonjak 18,4% (yoy), naik tajam dari 10,6% pada Maret 2023. Namun, para analis sebenarnya mengharapkan pertumbuhan sebesar 21% untuk ritel.
Faktor lain yang dapat mengurangi permintaan minyak adalah kebakaran di Meksiko di kilang Salina Cruz milik perusahaan minyak negara Meksiko, Pemex.
Pekerja dievakuasi, tidak ada yang terluka dan api telah dikendalikan, menurut Palang Merah setempat.
Di sisi penawaran, ekspor minyak mentah Arab Saudi naik sekitar 1% menjadi 7,52 juta barel per hari (bpd) pada Maret dari bulan sebelumnya, menurut data dari Joint Organizations Data Initiative (JODI).
Kpler dan Petro Logistics, yang juga memantau pengiriman mengatakan ekspor Saudi mungkin telah jatuh pada bulan Mei karena pemangkasan produksi sukarela yang dijanjikan oleh kerajaan dan OPEC+.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
[-]
-
Ekonomi China Mulai Membara, Harga Minyak Bisa Ikut Terbakar(saw/saw)
Sentimen: negatif (100%)