Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Tokoh Terkait
Siti Nurbaya
Mengenang Hilman, Meninjau Kesusastraan Anak
CNNindonesia.com Jenis Media: Hiburan
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --Rutinitas kerja saya di Rabu pagi kemarin (9/3) dibuka dengan sebuah berita duka yang berseliweran di Twitter. Hilman Hariwijaya, pengarang yang buku-bukunya telah menemani saya semenjak kecil, menghembuskan napas terakhir setelah berjuang melawan penyakit liver.
Senada dengan para netizen di hiruk-pikuknya Twitter, saya pun merasa kehilangan.
Saya memang belum pernah bertemu, atau bahkan berkorespondesi, dengan Hilman. Namun, pergulatan saya dengan "Lupus Kecil: Rumpi Kala Hujan" semenjak beberapa minggu belakangan ini membuat saya kembali menjadi bagian dari dunia Hilman dan Lupus.
Ya, saya memang sedang terlibat dengan sebuah proyek penelitian mengenai geografi dan ruang dalam sastra anak internasional. Buku ini saya pilih sebagai salah satu obyek penelitian karena kelincahan tangan dan pena Hilman dalam membangun dunia tempat Lupus tinggal, perpaduan antara dunia nyata dan imajinasi, antara imaji masa lalu yang penuh memori dan realita masa kini yang masih aktual.
Ironisnya, nama Hilman dan Lupus sendiri sangat jarang disebut sebagai bagian dari khazanah sastra anak Indonesia. Justru, kelucuan (atau meminjam istilah di saat awal terbitnya serial ini, kengocolan) di dalam buku ini yang membuat banyak orang tidak bisa menjajarkan "Lupus" dengan "sastra" dalam satu kalimat.
Serial Lupus dianggap terlalu menjual kesenangan dan kelucuan tanpa nilai-nilai moral dan pendidikan yang sangat eksplisit. Hasilnya, Lupus dianggap setara dengan komik yang hanya menjual kesenangan dan dinilai tidak bermanfaat untuk tumbuh kembang anak.
Paradigma KunoSecara global, studi sastra anak sudah jauh meninggalkan paradigma kuno itu.
Jacqueline Rose dalam bukunya The Impossibility of Children's Fiction (1986) menggugat kentalnya pemaksaan nilai-nilai orang dewasa dalam sastra anak dan mengabaikan kenikmatan (pleasure) yang seharusnya ada dalam proses pembacaan sastra.
Di tahun 1992, Perry Nodelman menyebut sastra anak yang hanya berkutat dengan proses pendidikan moral untuk membentuk anak menjadi pribadi yang diinginkan oleh orang dewasa sebagai salah satu bentuk penindasan atau kolonialisme.
Mereka hanyalah dua dari banyak ilmuwan dan peneliti sastra anak yang menyuarakan kembalinya fokus kepada anak dalam karya sastra dan media yang memang ditujukan untuk mereka.
Inilah sastra anak yang seharusnya. Sastra yang ditulis dengan suara dan minat anak-anak. Teks yang bercerita tentang dunia dari kacamata mereka, bukannya dunia yang diinginkan orang dewasa untuk dialami anak-anak.
Di sisi lain, serial Lupus sendiri bisa dikatakan melawan arus narasi yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru tentang keluarga ideal.
Pemerintahan Orde Baru, sebagaimana dituliskan oleh Julia Suryakusuma, senantiasa menggaungkan narasi "keluarga ideal". Ayah diproyeksikan menjadi sosok dengan otoritas penuh untuk mengatur keluarga, sementara ibu jadi sosok penuh kasih yang mencurahkan seluruh waktunya untuk merawat semua anggota keluarga.
Tapi apa yang terjadi di dalam serial Lupus? Sosok Papi (di Lupus Kecil) dan Mami justru sering sekali bertindak seperti anak-anak dengan kesalahan ataupun keisengan mereka yang tidak kalah dengan Lupus dan Lulu.
Ketidaksesuaian penggambaran di buku ini dengan narasi pemerintah tentu saja menjadi alasan ketidakmampuan masyarakat melihat Lupus sebagai sebuah karya sastra yang setara dengan Siti Nurbaya atau Layar Terkembang.
Salah satu tujuan penelitian saya adalah untuk mengangkat Lupus dan Hilman, pengarangnya, ke jajaran karya sastra. Setidaknya, serial ini bisa mendapatkan apresiasi di dunia internasional apabila masyarakat Indonesia masih menolak mengakui posisi Lupus sebagai sebuah karya sastra untuk anak.
Sayangnya, Hilman sudah meninggal sebelum penelitian ini terselesaikan.
Yang bisa saya lakukan saat ini hanyalah menuliskan opini pendek ini dan berharap bahwa semakin banyak di antara kita yang bisa mengapresiasi Hilman dan karya-karyanya sebagai bagian dari khazanah kesusastraan anak Indonesia.
Selamat jalan, Hilman. Selamat jalan, wahai sastrawan yang mampu menuliskan dunia anak-anak!
(vws/vws) LEBIH BANYAK DARI KOLUMNISSentimen: positif (88.9%)