Menanti 'Angin Segar' untuk Film Dokumenter
CNNindonesia.com Jenis Media: Hiburan
Popularitas sejumlah film dokumenter seperti The Tinder Swindler atau Downfall di media sosial beberapa waktu terakhir sebenarnya terbilang angin segar. Pasalnya, dokumenter tak akrab dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Hal itu terlihat dari jumlah film dokumenter, baik garapan lokal maupun internasional, yang sanggup menjadi pembahasan di ruang publik. Tak banyak yang bisa jadi fenomena, padahal jumlah dokumenter yang ada di dunia ini tak terhitung lagi.
Menurut Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta, Satrio Pamungkas, minat rendah masyarakat Indonesia terhadap dokumenter karena menganggap film jenis ini sebagai "buku yang berat".
"Masih banyak juga cara pandang yang melihat bahwa dokumenter itu adalah sesuatu hal yang sangat membosankan dan melelahkan ketika menontonnya," kata Satrio kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Karena karakter common sense kita itu tidak suka hal yang terlalu berat," katanya.
Apalagi, sifat dokumenter bukanlah seperti film drama atau komersil lainnya yang bersifat hiburan. Menurut pengamat perfilman dan budaya pop, Hikmat Darmawan, film dokumenter itu "sebetulnya memang dari awal sejarah film,"
"Tidak ada cerita, tetapi adanya keadaan sehari-hari. Jadi dokumenter itu berawal dari hasrat untuk merekam kegiatan manusia atau alam, tempat hidup manusia apa adanya," kata Hikmat, dalam kesempatan terpisah.
Dokumenter, menurut Satrio, memang karya yang dinikmati bukan secara naratif, melainkan sebagai sebuah pengetahuan, cara berpikir, dan sejenisnya.
Film dokumenter Banda The Dark Forgotten Trail (2017) mengisahkan sejarah kelam penjajahan kolonial Belanda di Banda Naira, Maluku. (dok. Lifelike Pictures via YouTube)Karakter "berat" dari dokumenter itu disebut bukan hanya tak cocok dengan banyak masyarakat Indonesia, tapi juga penduduk global. Menurut Satrio, memang tak banyak dokumenter yang bisa menarik perhatian publik.
Hikmat juga berpendapat serupa. Selain dari permasalahan topik dalam dokumenter yang spesifik, penyebab mengapa jenis film ini tak terlalu dan tak selalu populer adalah punya "mesin marketing" yang berbeda dengan film komersil.
"Biasanya, subjeknya memang sangat khusus, tidak selalu sesuai dengan minat umum masyarakat yang memandang film sebagai hiburan," kata Hikmat.
Biasanya, menurut Satrio, film dokumenter bisa jadi "fenomenal" bila ia membawa suatu topik "yang sangat berani".
Satrio menyebut beberapa contoh, di antaranya garapan sutradara Joshua Oppenheimer yang berjudul Jagal (2012) dan Senyap (2014).
Kedua film itu memang sempat viral dan menjadi pembahasan. Apalagi kalau bukan bertemakan tragedi kelam yang berkaitan dengan pembantaian pada 1965, topik yang sensitif bagi sebagian pihak tapi gurih bagi lainnya.
Ada pula dokumenter lokal yang sempat menjadi pembahasan publik, seperti karya-karya dari Watchdoc. Dua film mereka, Sexy Killers (2019) dan The EndGame (2021), sempat viral di media sosial dan jadi pembahasan.
Lanjut ke sebelah..
Anti Mainstream BACA HALAMAN BERIKUTNYASentimen: positif (96.9%)