Urgensi menghapus tes calistung dalam seleksi masuk SD
Elshinta.com Jenis Media: Nasional
Mahasiswa Bimbingan Konseling dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar UMPR jadi sukarelawan psikotes penerimaan peserta didik baru di SD Muhammadiyah Palangka Raya, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO-UMPR.
Elshinta.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meminta sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah menghilangkan tes baca, tulis, dan hitung (calistung) dalam seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada jenjang SD/MI/sederajat.
Pernyataan itu disampaikan Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode 24 di Jakarta, pada akhir Maret lalu. Hal itu merupakan salah satu dari tiga target capaian Program Merdeka Belajar Episode Ke-24 bertajuk "Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan".
Dalam pernyataannya, dihilangkannya, tes calistung dari proses PPDB pada SD/MI/sederajat harus dilakukan karena setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar. Namun apakah kebijakan tersebut merupakan kebijakan baru? Hampir setiap pelaksanaan PPDB menjelang tahun ajaran baru, Kemendikbudristek menerbitkan aturan anyar terkait mekanisme penerimaan siswa baru.
Dalam setiap aturan tersebut selalu menyebut bahwa tidak ada mekanisme seleksi calistung untuk PPDB SD sederajat. Nadiem juga mengakui bahwa hal tersebut juga telah dilarang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim, mengakui larangan calistung dalam proses PPDB SD sederajat bukanlah kebijakan baru.
Larangan calistung sebagai syarat masuk SD sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010, regulasi dibuat zaman Mendikbud Mohammad Nuh. Selanjutnya diatur dalam pasal 69 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Selanjutnya, pada era Mendikbud Muhadjir Effendi, juga dilarang melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), khususnya Pasal 12 ayat 4, yaitu "Dalam seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan tes membaca, menulis, dan berhitung."
“Bahkan, Mas Nadiem juga menerbitkan larangan serupa dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB, Pasal 30 ayat 3 yang mana isinya adalah seleksi calon peserta didik baru kelas satu SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung,” kata Satriwan.
Yang terpenting, menurut dia, bagaimana pengawasan dari aturan tersebut. Pasalnya, praktik syarat calistung masuk SD masih terus terjadi belasan tahun meskipun sudah dilarang dalam peraturan.
Fenomena tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan dari Kemendikbudristek dan dinas pendidikan. Seharusnya Kemendikbudristek dan dinas pendidikan memiliki kewenangan melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkala terhadap praktik tes calistung yang merupakan bagian dari pelaksanaan PPDB di daerah.
Oleh karena itu, pemerintah perlu rutin melakukan pengawasan dan monitoring. Ke depan hendaknya pemerintah mengumumkan SD mana saja dan di daerah mana yang masih melakukan syarat calistung bagi calon siswanya.
“Juga perlu dilakukan pendataan, SD mana saja yang masih melakukan syarat calistung. Akan menjadi landasan untuk memberikan sanksi tegas,” imbuh dia.
P2G meminta larangan calistung agar jangan hanya tegas secara tertulis, tetapi lemah dalam penerapan maupun pengawasan serta tak ada sanksi bagi sekolah yang melanggar.
Sistemik
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, mengatakan perlu kolaborasi antara guru dan orang tua terkait calistung pada usia dini. Para guru, khususnya pada jenjang PAUD dan SD, perlu memikirkan dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dan sosial emosional karena sekolah mensyaratkan anak bisa berhitung dan menulis.
Belajar calistung sebelum waktunya akan menjadi beban tersendiri bagi anak. Bersekolah akan menjadi beban berat, anak jadi tak percaya diri, inferior, menilai dirinya bodoh karena masuk SD tapi tak bisa baca tulis hitung.
“Kami menilai desain pembelajaran SD hendaknya berorientasi pada pembangunan karakter anak, penanaman dan pembentukan nilai. Sekolah adalah arena bermain dan kegiatan pembelajaran berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak,” kata Iman.
Guru perlu merancang pembelajaran agar anak-anak berkembang secara baik, membangun rasa percaya diri, mengenali lingkungan, mengelola emosi, dan secara bertahap memahami dasar literasi dan angka. Selain itu, pola pikir dan pola asuh orang tua perlu diubah terutama di perkotaan. Persepsi orang tua yang mengasuh anaknya dengan aspek kognitif saja akan membebani anak bahkan mencerabut hak-hak dasar anak itu sendiri.
“Kebanyakan yang mendorong orang tua memaksakan anaknya menguasai calistung karena ingin memasukkan anaknya ke SD favorit. Mereka menjadi panik karena tidak bisa mengirimkan anaknya ke SD favorit yang diidamkan.”
Berbagai upaya pun ditempuh, misalnya, mendaftarkan anak usia dini ke bimbingan belajar calistung yang menyediakan pembelajaran dengan percepatan agar anak bisa calistung sejak dini. Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, menegaskan bahwa umumnya seorang anak bisa fokus belajar calistung saat memasuki usia enam hingga tujuh tahun.
“Sebab pada usia itu, sensorik dan motorik anak sudah siap,” kata Heru.
Heru meminta larangan yang dikeluarkan Kemendikbudristek juga diikuti dengan pembenahan buku pelajaran kelas satu SD yang saat ini sudah didominasi dengan tulisan dan bacaan yang panjang. Padahal, seharusnya buku-buku yang ada harus sejalan dengan kebijakan yang diterbitkan. Kita masih menanti apakah kebijakan baru Menteri Nadiem tersebut juga diikuti dengan berbagai terobosan pendukung lainnya.
Sejatinya, suatu kebijakan juga perlu diikuti dengan penciptaan ekosistem yang mendukung penerapan kebijakan tersebut dan juga pengawasan. Tanpa adanya kedua hal itu, suatu kebijakan sekadar ramai di media, tapi tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Apakah kebijakan Mas Menteri Nadiem mampu mengubah sistem seleksi masuk SD yang sudah berlangsung belasan tahun ? Kita tunggu saja.
Sentimen: netral (72.7%)