Bisa Nggak Ya Negara Cicipi Cuan dari Kenaikan Harga Batu Bara?
CNNindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Perang Rusia-Ukraina masih terus bergulir. Ironisnya, perang kedua negara itu mempengaruhi perekonomian global, salah satunya krisis energi yang membuat harga komoditas naik, seperti batu bara.
Demi mengatasi krisis energi, negara-negara Benua Biru mulai memutar otak. Beberapa negara, seperti Jerman, Belanda, Italia, dan Austria, bahkan membatalkan rencana penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara. Ini artinya pesanan batu bara pun bakal meningkat.
Harga batu bara pada perdagangan bursa ICE Newcastle, Selasa (12/7), ditutup pada posisi US$389 per ton, naik 0,61 persen dibandingkan hari sebelumnya.
Angka ini mendekati level tertinggi dalam sejarah yang tercatat pada awal Maret lalu, yakni US$446 per ton. Level tertinggi harga emas hitam ini juga terjadi beberapa pekan setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Meski fluktuatif, pada kenyataannya harga batu bara terus menanjak di tengah krisis energi saat ini. Lihatlah pada awal Februari atau sebelum perang Rusia-Ukraina berkecamuk, batu bara dibanderol US$147,65 per ton.
Melonjaknya harga komoditas batu bara, ibarat kata, sengsara membawa nikmat. Sebab, sebagai pengekspor batu bara terbesar di dunia, Indonesia tentu diuntungkan karena bisa memenuhi kekurangan pasokan di Eropa.
Kabar baik itu pun diamini oleh Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI). Mereka melihat peluang positif dari fenomena negara-negara Eropa yang berburu batu bara sebagai alternatif sumber energi.
"Mereka (Eropa) mau menggunakan batu bara untuk sementara. Intinya positif karena di dunia eksportir batu bara selain Rusia cuma empat negara, Afrika Selatan, Kolombia, Indonesia, dan Australia," imbuh Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Ia juga mengatakan sejak Maret lalu, beberapa perusahaan sudah mulai mengirim lebih banyak batu bara ke Eropa. Padahal, sebelum perang Rusia-Ukraina, ekspor batu bara ke Eropa sangat minim dalam dua sampai tiga tahun terakhir.
Pernyataan Hendra pun selaras dengan data Badan Pusat Statistika (BPS). BPS mencatat ekspor batu bara Indonesia sepanjang tahun ini mencapai puncaknya pada Maret 2022, dengan jumlah ekspor 61 miliar kilogram (kg). Angka ini lompat nyaris 40 persen dibanding Februari 2022, yakni 44,63 miliar kg.
Dengan kondisi krisis energi Eropa, dia memperkirakan permintaan batu bara bisa kembali menggeliat. "Kalau di 2021, total coal seaborne export itu sekitar 993 juta ton, perkiraan di 2022 berkisar 1.088 miliar ton," jelasnya.
Namun, patut diingat, durian runtuh dari kenaikan harga batu bara ini cuma dinikmati segelintir pengusaha. Padahal, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut negara bisa saja mengambil berkah di tengah krisis dengan memberlakukan pajak progresif terhadap batu bara.
Ia menjelaskan pos pajak batu bara, seperti pajak penghasilan (PPh) baik penghasilan badan maupun pribadi, serta bea keluar sudah ada. Di luar pajak, Indonesia juga punya setoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa royalti yang juga menyasar komoditas-komoditas tertentu termasuk di dalamnya komoditas batu bara.
"Jadi, saya kira instrumennya sudah ada, namun untuk mengoptimalkan kenaikan harga komoditas batu bara, saya kira pola pajak progresif itu bisa dilakukan pemerintah saat ini," ungkap Yusuf.
Dengan pola pajak progresif, batasan dari tarif yang harus dibayarkan oleh pengusaha berubah ketika tarif ataupun harga dari batu bara mengalami kenaikan. Namun, penyesuaian tarif pajak juga perlu mempertimbangkan tren beberapa waktu tertentu, sehingga aturan ini tidak rigid dan bisa berubah sewaktu-waktu mengikuti tren perubahan harga suatu komoditas itu sendiri.
"Misalnya dalam enam bulan harga batu bara mengalami tren kenaikan, maka ditentukan oleh pemerintah bakal terjadi penyesuaian tarif, terutama tarif PNBP maupun juga tarif biaya keluar untuk batas-batas tertentu dari harga komoditas tersebut," kata Yusuf.
Adapun untuk segelintir orang yang mendapatkan berkah, memang perlu dipastikan saja bahwa orang-orang ini telah melapor dan membayarkan pajaknya secara baik. Pemerintah harus hati-hati jika ingin mengenakan pajak pada orang pribadi.
Sebab, jika momentumnya tidak tepat dan unsur keadilannya tidak dipenuhi, maka ini akan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha melanjutkan ataupun menambah kapasitas produksi batu bara mereka.
Intinya, Yusuf menegaskan pemerintah bisa meraup berkah dari melonjaknya harga batu bara di tengah krisis energi saat ini. Memanfaatkan momentum kenaikan harga komoditas terhadap penerimaan negara, ia menilai lumrah dilakukan oleh berbagai negara.
Dengan catatan, sebelum memutuskan untuk menambah tarif bea keluar dan royalti batu bara atau mengenakan penambahan pajak kepada para pelaku usahanya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kondisi keuangan negara apakah betul-betul sedang seret atau masih aman.
"Karena fungsi pajak kan tidak hanya semata untuk mendulang pundi-pundi penerimaan, namun juga ada unsur keadilan di sana yang perlu diperhatikan," katanya.
Segendang sepenarian, Peneliti Indef Nailul Huda mengatakan sejak 2020 pemerintah memang sudah menjadikan batu bara sebagai barang kena pajak. Secara otomatis, batu bara dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea keluar.
Ia menuturkan agar keuntungan perusahaan batu bara juga mengalir ke negara dan bisa digunakan untuk keperluan masyarakat luas, pemerintah tinggal mengawasi saja proses penarikan pajaknya agar tidak bocor.
"Sekarang tinggal bagaimana pemerintah 'narik' pajak dari sektor batu bara ini. Jangan sampai terjadi kebocoran," tutur Nailul.
Selain itu, dia berpendapat pemerintah juga bisa mengubah batasan Harga Batu Bara Acuan (HBA) untuk pengenaan tarif royalti atau PNBP progresif. Ia menilai batas HBA saat ini masih terlalu tinggi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara, pemerintah menetapkan lima layer untuk penentuan tarif PNBP batu bara.
[-]
Adapun lima layer untuk penentuan tarif royalti batu bara tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi 1:
HBA kurang dari US$70 per ton, tarif royalti 14 persen.
HBA antara US$70 - US$80 per ton, tarif royalti 17 persen.
HBA antara US$80 - US$90 per ton, tarif royalti 23 persen.
HBA antara US$90 - US$100 per ton, tarif royalti 25 persen.
HBA lebih dari US$100 per ton, tarif royalti 28 persen.
Untuk IUPK dari PKP2B Generasi 1 Plus:
HBA kurang dari US$70 per ton, tarif royalti 20 persen.
HBA antara US$70 - US$80 per ton, tarif royalti 21 persen.
HBA antara US$80 - US$90 per ton, tarif royalti 22 persen.
HBA antara US$90 - US$100 per ton, tarif royalti 24 persen.
HBA lebih dari US$100 per ton, tarif royalti 27 persen.
Nailul mengatakan seharusnya batas HBA yang US$70 per ton itu diturunkan menjadi US$60 per ton. Begitu pun seterusnya. Dengan begitu, ada pergeseran tarif royalti yang lebih tinggi.
"Jadi jika HBA diubah ke US$60, maka ketika harga US$65, tarifnya bisa lebih tinggi (menjadi 21 persen)," tandasnya.
(mrh/bir)[-]
Sentimen: positif (98.5%)