Sentimen
Negatif (100%)
2 Mar 2023 : 10.54
Informasi Tambahan

Kasus: pengangguran

Tokoh Terkait

Bedah Pernyataan Gubernur BI, Benarkah Rupiah Bakal Menguat?

2 Mar 2023 : 10.54 Views 1

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi

Bedah Pernyataan Gubernur BI, Benarkah Rupiah Bakal Menguat?

Rupiah sepanjang tahun ini menguat sekitar 1,9% melawan dolar AS dan menjadi mata uang terbaik ketiga di dunia.  Bank Indonesia menyebut ada lima faktor yang membuat rupiah akan terus menguat ke depannya.  Imbal hasil obligasi yang menarik menjadi salah satunya. Namun, belakangan selisih dengan imbal hasil obligasi AS semakin menyempit, yang berisiko memicu capital outflow dan membuat rupiah melemah.

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang Februari melemah 1,7% melawan dolar Amerika Serikat (AS). Namun, pergerakannya sepanjang tahun ini cukup meyakinkan, berdasarkan data Refinitiv rupiah tercatat menguat sebesar 1,9%.

Dengan penguatan tersebut, rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di dunia, hanya kalah dari peso Meksiko yang menguat 6,1% dan forint Hungaria 4,8%.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang menyebut ada lima faktor yang bisa membuat rupiah menguat.

-

-

"Ada 5 alasan nilai tukar rupiah akan menguat dan kembali ke fundamentalnya," ungkap Perry dalam acara Economic Outlook 2023 dengan tema "Menjaga Momentum Ekonomi di Tengah Ketidakpastian" di Hotel St. Regis, Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Pertama, kata Perry adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia, bahkan lebih baik dibandingkan negara lain seperti China.

"Prospek ekonomi Indonesia baseline kami 4,9% dengan China lebih baik bisa 5% - 5,1%," jelasnya

Kedua adalah inflasi yang terkendali di level yang rendah, meskipun beberapa waktu lalu ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ketiga, imbal hasil atau yield dari surat berharga negara (SBN) menarik.

"Keempat, kondisi neraca perdagangan dan defisit neraca pembayaran tetap surplus," papar Perry.

Perry menambahkan, yang kelima adalah komitmen BI dalam menstabilkan nilai tukar dengan sederet instrumen.

Dari lima faktor yang disebut Perry, empat diantaranya bisa dikatakan bisa mendukung penguatan rupiah. Komitmen BI sudah tidak perlu diragukan lagi, kemudian inflasi juga sudah mulai melandai.

Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini melaporkan inflasi pada Februari tumbuh 5,47% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 5,28%. Dalam beberapa bulan terakhir, inflasi memang masih berfluktuasi, tetapi mengingat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi pada tahun lalu, inflasi saat ini bisa dikatakan sudah terjaga.

Perry sebelumnya mengatakan BI memperkirakan inflasi inti akan kembali ke sasaran 2-4% pada Semester I-2023.

Sementara itu inflasi inti kembali menurun menjadi 3,09% (yoy), berdasarkan laporan BPS. Angka itu menjadi yang terendah sejak September tahun lalu.

Dengan inflasi yang rendah, maka daya beli masyarakat akan semakin kuat yang bisa mendongkrak perekonomian. Seperti di ketahui, konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% ke pertumbuhan ekonomi.

Maka wajar jika pertumbuhan ekonomi Indonesia akan cukup tinggi tahun ini, apalagi jika perekonomian China juga bangkit.

Kemudian transaksi berjalan juga masih diuntungkan dengan harga komoditas yang cukup tinggi. Batu bara sebagai kontributor surplus dagang terbesar memang sedang menurun, tetapi masih jauh lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi.

Empat faktor tersebut bisa menopang rupiah, hanya yield SBN saat ini yang sepertinya kurang mendukung rupiah. Sebab, selisihnya dengan yield obligasi AS (Treasury) yang semakin tipis.

Selasa kemarin, selisih yield SBN tenor 10 tahun dengan Treasury sebesar 297 basis poin atau 2,97%. Pada 21 Februari lalu bahkan menyentuh 2,77%, menjadi yang terendah setidaknya dalam lebih dari 20 tahun terakhir.

Risiko terjadi capital outflow dari pasar obligasi semakin besar. Terbukti, sepanjang Februari hingga tanggal 27 aliran modal keluar mencapai Rp 6 triliun. Padahal pada Januari terjadi inflow nyaris Rp 50 triliun.

Bank sentral AS (The Fed) yang sebelumnya diprediksi tidak akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini membuat menjadi pemicu derasnya inflow Januari lalu, bahkan sudah dimulai pada dua bulan terakhir 2022.

Namun memasuki Februari arah angin kembali berubah. The Fed diprediksi akan kembali agresif menaikkan suku bunga setelah data menunjukkan pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih sangat kuat.

Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.

Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.

Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4%year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.

Dengan rata-rata upah yang tinggi, maka inflasi akan bandel alias sulit turun. Terbukti, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) kembali naik 5,4% (yoy) pada Januari dari sebelumnya 5,3%.

Inflasi inti PCE juga naik menjadi 4,7% dari Desember 4,6%. Inflasi PCE menjadi acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, termasuk juga pasar tenaga kerja.

Alhasil, pasar kini melihat suku bunga The Fed bisa mencapai 5,5% - 5,75% pada Juli nanti, naik 100 basis poin dari level saat ini dan lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bank sentral AS tersebut 5% 5,25%.

Jika itu terjadi, maka selisih yield akan semakin menipis, capital outflow bisa semakin masif. Apalagi BI sudah menyatakan suku bunga saat ini sudah cukup untuk meredam inflasi dan tidak akan dinaikkan lagi kecuali ada kejadian besar.

Rupiah pun berisiko tertekan meski empat faktor lainnya sudah cukup mendukung.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


[-]

-

Rupiah Lemas Lawan Dolar AS, "Obat Kuat" BI Belum Manjur?
(pap/pap)

Sentimen: negatif (100%)