Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Mitsubishi
BUMN: PLN
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Keuangan Lagi Gak Oke, Saham BRPT Prajogo Pangestu Mahal!
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham perusahaan milik taipan Prajogo Pangestu, PT Barito Pacific Tbk (BRPT) sedang meniti jalur rebound di awal 2023 ini. Hanya saja, tekanan fundamental pada gilirannya membuat valuasi saham BRPT tergolong mahal.
Mengandalkan dua anak usahanya, perusahaan petrokimia terbesar dan terintegrasi di Indonesia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) dan perusahaan produsen geothermal terbesar ketiga dunia Star Energy Geothermal, BRPT tetap tidak imun terhadap faktor geopolitik dan ekonomi global.
Perang Rusia-Ukraina yang membuat harga bahan baku produksi produk petrokimia, naphta naik, membuat spread produk petrokimia TPIA menurun. Naphtha adalah salah satu dari produk refinery dari minyak mentah (crude oil).
Terkena sentimen perang yang berakibat pada seretnya pasokan, harga minyak yang sempat ke atas USD100/barel pada tahun lalu, ikut mengerek harga naphta dan menekan margin perusahaan. Apalagi, BRPT, via TPIA, masih mengandalkan impor atas bahan baku tersebut.
Saat ini, harga minyak masih di level yang cukup tinggi, di atas level prapandemi (2019), di kisaran USD76 sampai USD 80-an per barel.
Kebijakan nol-Covid (zero-Covid policy) ala China yang menyebabkan permintaan terhadap produk petrokimia menurun, suku bunga yang naik tinggi, hingga risiko resesi semakin menekan kinerja perusahaan.
Industri petrokimia memang menjadi andalan Barito Pacific sejak lama. Namun, volatilitas yang tinggi--khas perusahaan price-taker dan cyclical-di industri tersebut memang selalu menjadi tantangan tersendiri.
Pendapatan dari segmen petrokimia Barito Pacific menyumbang 83% dari total pendapatan BRPT selama 9 bulan 2022 (9M 2022), yakni sebesar US$1,95 miliar. Segmen geothermal hanya sebesar 18% (USD424 juta).
Namun, akibat margin petrokimia yang menyempit (Chandra Asri bahkan merugi per 9M2022, sebesar US$111,1 juta), kontribusi EBITDA geothermal meningkat signifikan di periode tersebut, sebesar 96% (US$354 juta).
Padahal, pada 9 bulan 2021, kontribusi petrokimia terhadap EBITDA BRPT sebesar 49%, berimbang dengan kontribusi EBITDA geothermal yang mencapai 51%.
Foto: Materi Presentasi BRPTIni artinya, kontribusi geothermal terhadap EBITDA Barito ikut menutupi industri petrokimia yang sedang tertekan.
Hal tersebut sekaligus mengindikasikan keberhasilan Barito meredam volatilitas industri petrokimia dengan mengakuisisi Star Energy pada 2018. Namun, hal tersebut tetap memberikan pekerjaan rumah untuk perseroan ke depan lantaran petrokimia akan terus banyak dipengaruhi situasi makro.
Catatan saja, pendapatan dari anak usaha di bidang properti PT Griya Idola tidak berkontribusi banyak untuk BRPT.
Secara rasio profitabilitas, margin laba kotor (GPM), margin laba bersih (NPM) BRPT hingga akhir September 2022 juta tidak mengesankan. Demikian pula metrik yang biasa dipelototi investor, ROA dan ROE terbilang kecil.
Selama periode Januari-September 2022, laba bersih BRPT turun tajam 88,77 secara tahunan (yoy) menjadi US$11,29 juta.
Ini lantaran kenaikan pendapatan bersih hanya 2,75% menjadi US$2,37 miliar hingga 30 September 2022. Padahal, beban pokok penjualan (COGS) perusahaan membengkak 22,09% yoy menjadi US$2,04 miliar).
Keuangan Tertekan, Valuasi Mahal
Usai melihat kondisi keuangan perusahaan di atas, mari kita bahas sedikit soal valuasi saham BRPT.
Berdasarkan rasio price-to earning (P/E atau PER), saham BRPT sudah kelewat mahal (377,12 kali), di atas rerata industri kimia Indonesia (20,61 kali) hingga Asia Pasifik (28,24 kali).
Dibandingkan kompetitor di RI, PT Lotte Chemical Titan Tbk (FPNI)-kendati ukuran perusahaan tidak sebesar Chandra Asri-dengan PER 24,65 kali dan raksasa petrokimia India Reliance Industries (26,79 kali) saham BRPT juga terbilang mahal.
Nah, PER BRPT juga lebih tinggi dibandingkan peers geothermal global, macam Ormat Technologies (83,98 kali) dan First Gen Corp (4,68 kali).
Demikian pula, secara umum, rasio price-to sales (PSR) dan (PBV) BRPT juga terbilang di atas rerata peers. PSR dan PBV industri kimia Indonesia, misalnya sebesar 1,68 kali.
Sekilas Soal Fokus Bisnis BRPT
Didirikan oleh Prajogo Pangestu sejak 1979 dan melantai di bursa pada 1993, BRPT kini punya beberapa anak usaha utama, seperti disebutkan di atas, Chandra Asri, Star Energy, Indo Raya Tenaga (konsorsium dengan PLN) dan Griya Idola.
Bisnis petrokimia Barito Pacific mengoperasikan pabrik naphta cracker yang terbesar dan terintegrasi,satu-satunya di Indonesia. Saat ini, BRPT berencana menggandakan kapasitas perseroan dengan membangun kompleks petrokimia kedua.
BRPT, via TPIA, memproduksi beragam palet Olefin, Polyolefins, Styrene Monomer, dan Butadiene, termasuk produk turunannya.
TPIA menguasai pangsa pasar domestik (termasuk impor) dengan perkiraan 50%, 40% and 32% untuk Olefin, Polyethylene, dan Polypropylene.
Sejumlah mitra TPIA seperti, SCG, Michelin, dan Thai Oil.
Sementara, lewat Star Energy, Barito Pacific mengoperasikan pabrik penghasil tenaga geothermal terbesar ketiga di dunia dengan kapasitas terpasang.
Star Energy menjadi operator panas bumi dengan kapasitas terpasang 875 MW di tiga aset operasi.
Mitra bisnis BRPT di sektor energi beragam, mulai dari Mitsubishi, EGCO, hingga Indonesia Power.
Adapun, Indo Raya Tenaga punya royek pembangkit listrik 2,000 MW ultra-supercritical.
Tidak ketinggalan, Griya Idola mengelola kompleks perkantoran Wisma Barito Pacific I dan II di Jakarta, operator kawasan industrial terintegrasi seluas 60 ha, dan Hotel Mambruk Anyer.
Bagaimana ke depan?
Sejatinya, BRPT diuntungkan dengan pangsa pasar petrokimia yang besar yang dipegang TPIA. Apalagi pasar Indonesia masih kekurangan produk-produk petromikia dan bergantung pada impor.
Apalagi, industri petrokimia dan geothermal terbilang punya entry barrier yang tinggi sehingga pemain baru tidak gampang masuk, butuh mesin, pengetahuan, dan sumber daya yang besar.
Namun, situasi geopolitik yang belum reda dan situasi Covid-19 di China serta rezim suku bunga tinggi bakal menjadi tantangan untuk BRPT ke depan.
Melihat hal di atas, memegang saham BRPT, apalagi dalam jangka menengah hingga panjang, belum mendapatkan margin keamanan yang tinggi lantaran valuasi yang masih mahal.
Karena itu, investor perlu berpikir ulang apabila ingin berinvestasi di saham BRPT untuk waktu yang lama, sembari menunggu perbaikan fundamental perusahaan.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[-]
-
Simak! Ini Untung Rugi Beli Emiten Pendatang Baru LQ45(pap/pap)
Sentimen: positif (76.2%)