Sentimen
Informasi Tambahan
Club Olahraga: Juventus, Liverpool, Chelsea
Grup Musik: Dewa 19
Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga
Kab/Kota: Surabaya
Kasus: Narkoba
Tokoh Terkait
Berhenti menggilai segala yang datang dari luar negeri
Antaranews.com Jenis Media: Hiburan
Mereka korban simulakra yang ditawarkan budaya populer global
JAKARTA (ANTARA) - Apakah segala yang berasal dari luar negeri itu tampak wah, hebat, dan menyilaukan sehingga banyak warga negeri ini menggilainya? Seolah tidak ada kebanggaan atas kemampuan bangsa sendiri dan produk dalam negeri, kecuali sedikit.Pemain sepak bola dari negara lain, artis luar negeri, dan barang-barang impor digandrungi begitu rupa sehingga mencuat kekhawatiran makin sulitnya menjaga nasionalisme dan merawat kewarasan di tengah jebakan simulakra.
Mental inlander akibat terlalu lama dijajah bangsa asing, rupanya belum juga sirna hingga hampir 8 dekade merdeka. Seorang pejabat saat memuji produk dalam negeri yang dinilai bagus dan berkualitas. “…kualitas produk yang dihasilkan oleh UMKM tidak kalah dengan produk impor…”.
Benarkah kelas keunggulan produk anak bangsa hanya sampai pada “tidak kalah”? Diksi dan narasi merendahkan bangsa sendiri seperti itu banyak dijumpai dalam bahasa sehari-hari, mungkin tanpa disadari, karena persoalan mental tersebut.
Para penggila
Kebiasaan masyarakat memuja dan mengagung-agungkan idola dari negara lain juga masih terasakan, seperti terlihat ketika Indonesia kedatangan artis-artis asing, apalagi yang berasal dari Korea Selatan. Semua yang berasal dari Negeri Ginseng itu, entah musik K-Pop atau drama, baik konser atau jumpa penggemar, selalu menimbulkan kegilaan luar biasa.
Sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya Profesor Bagong Suyanto melihat fenomena fandom (keranjingan) terhadap artis luar negeri meski mereka tidak memiliki kedekatan apa pun dengan sang idola, merupakan sindrom pemujaan selebritas.
“Mereka korban simulakra yang ditawarkan budaya populer global,” kata Dekan FISIP Universitas Airlangga itu.
Bukanlah hal salah untuk menyukai hiburan dan mengidolakan artis. Namun bila sudah mengarah pada fanatisme akut, tentu berbahaya, sama berbahayanya dengan narkoba yang menimbulkan candu.
Bercerita tentang para penggila, ada pula dalam dunia sepak bola. Masih ingat bagaimana sambutan para penggila sepak bola ketika klub asing bertandang ke Indonesia? Setidaknya (yang belum terlalu lama) pada Juli 2013, ada klub Inggris Liverpool, yang diperkuat oleh Steven Gerrard, memboyong 25 pemain untuk merumput di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta melawan tim Indonesia XI. Laga persahabatan itu menghasilkan skor 0-2 untuk kemenangan klub Inggris tersebut.
Pada bulan dan tahun yang sama, juga klub dari negara yang sama, Inggris, Chelsea FC, bertanding dalam laga uji coba kontra Indonesia All Stars di GBK Jakarta, yang berakhir dengan skor 8-1.
Pada tahun berikutnya, klub raksasa Italia, Juventus, datang ke Indonesia pada Agustus 2014. Dalam laga persahabatan itu, Juventus berhadapan dengan Indonesia Super League (ISL) All-Stars di Stadion Utama GBK, dan menang dengan angka 8-1.
Biarpun prestasi sepak bola negeri ini masih terbilang “payah” ketika melawan klub-klub bola dunia, dan selalu kalah meski dalam laga uji coba atau persahabatan, apakah patut terlalu mengagung-agung pihak lawan?
Kala itu, selama pertandingan tim sepak bola Indonesia melawan klub tamu, hampir seluruh suporter tuan rumah malah secara gegap gempita mendukung tim lawan. Kehebohan terjadi di GBK tapi bukan untuk mendukung tim bangsa sendiri, melainkan mengelu-elukan bintang-bintang bola baik dari Liverpool, Chelsea, maupun Juventus. Ribuan suporter Indonesia bergembira ria merayakan kekalahan tim sendiri karena pemenangnya adalah idola mereka. Sungguh, dalam konteks nasionalisme, kejadian seperti itu sulit dijelaskan dengan nalar.
Bahkan, bukan hanya perilaku suporter yang aneh, bagaimana cara media-media nasional di Tanah Air memberitakan pertandingan itu juga mengusik rasa nasionalisme suatu bangsa. Pemilihan diksinya seperti tidak ada empati, tidak ada keberpihakan sedikit pun pada tim Indonesia, misalnya, di judul berita dengan menggunakan kata kerja "hajar", "mimpi buruk", "takluk".
Pemilihan kata “mimpi buruk” dan “takluk” itu ditujukan kepada tim Indonesia. Bila yang merilis berita itu media asing, mungkin tidak terlalu menyakitkan, tapi ini media bangsa sendiri.
Selain dari dunia hiburan dan olah raga, para penggila juga lahir dari barang dan produk impor. Mereka mengira dengan memakai barang-barang bermerek dari luar negeri otomatis mendongkrak gengsi dan kelas sosialnya.
Untuk menghalau derasnya aktivitas impor dan melindungi produk dalam negeri, dalam banyak kesempatan Presiden Jokowi rela menjadi “iklan berjalan” demi mengobarkan ketertarikan pada produk-produk buatan anak negeri.
Mencintai negeri sendiri
Atas gagasan Presiden Joko Widodo, pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) pada 14 Mei 2020, lalu digencarkan ke berbagai daerah dengan ragam keseruan acara. BBI merupakan kampanye untuk mempromosikan jenama dan produk dalam negeri, termasuk karya dan produk ekonomi kreatif.
Karya seni dan budaya adalah juga harta kekayaan yang perlu dijaga dengan kecintaan agar tidak tergusur oleh seni dan budaya asing.
Kata presiden, kekayaan bangsa Indonesia adalah seni dan budaya.
“Kekayaan seni dan budaya yang luar biasa adalah bahan baku dan sumber inspirasi dari proses industri kreatif yang melahirkan karya-karya bernilai tinggi.”
Minggu lalu ketika di Medan, Presiden Jokowi bersama Ibu Negara Iriana juga putrinya, Kahiyang Ayu, menonton konser 30 tahun berkarya Dewa 19, salah satu grup band dalam negeri yang pantas digemari dan patut diapresiasi atas karya-karya emasnya.
Dengan hadirnya produk-produk unggul dalam negeri, karya-karya seni luar biasa, dan khasanah budaya yang kaya, semestinya tidak sulit untuk mencintai itu semua sepenuh hati sebagai panggilan dari nasionalisme.
Kecuali bila bangsa ini rela budaya dan produk asing makin menjajah Indonesia.
Saatnya berhenti menjadi budak!
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023
Sentimen: positif (99.9%)