Sentimen
Negatif (100%)
16 Feb 2023 : 12.20
Informasi Tambahan

BUMN: BTN, PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Jiwasraya (Persero)

Grup Musik: BTS, APRIL

Kasus: Tipikor, korupsi

Dapen Bikin Erick Ngeri Jiwasraya II, Ini Kronologi Jilid I

16 Feb 2023 : 12.20 Views 7

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi

Dapen Bikin Erick Ngeri Jiwasraya II, Ini Kronologi Jilid I

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dulu sempat mengalami persoalan pelik akibat gagal bayar perusahaan atas polis produk JS Saving Plan mencapai Rp 12,4 triliun. Dari data yang diterima CNBC Indonesia, masalah Jiwasraya ternyata telah dimulai sejak tahun 2004.

Pada 2004, perusahaan melaporkan cadangan yang lebih kecil daripada seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun. Kemudian, pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.

Sehingga, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Pada 2008-2009, defisit semakin lebar yaitu berturut-turut Rp 5,7 triliun di 2008 dan Rp 6,3 triliun di 2009. Maka di tahun 2009 mulai dilakukan langkah-langkah penyelamatan jangka pendek (re-asuransi).

-

-

Kementerian BUMN menyampaikan kepada direksi Jiwasraya bahwa akan tetap mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan dan meminta langkah-langkah kongkrit secara menyeluruh sehingga permasalahan Jiwasraya dapat diselesaikan.

Pada 2010-2012, perusahaan melanjutkan skema re-asuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun akhir tahun 2011. Bapepam-LK meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental yang sifatnya jangka panjang.

Pada 2012, Bapepam-LK memberikan ijin produk JS Proteksi Plan yakni produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY.

Per 31 Desember 2012, dengan skema financial re-asuransi, JS masih mencatat surplus sebesar Rp 1,6 triliun. Namun tanpa skema finansial re-asuransi maka JS mengalami defisit Rp 3,2 triliun.

Selanjutnya, pada 2013 hingga 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta Kementerian BUMN untuk menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan JS beserta jangka waktu penyehatan keuangan, karena memiliki permasalahan rasio pencapaian solvabilitas yang kurang dari 120%.

Direksi JS menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.

Pada 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang JS dan laporan aset investasi keuangan yang overstated dan kewajiban yang understated.

Pada 2016, OJK meminta JS rencana pemenuhan rasio kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme re-asuransi. Hingga pada 2017, OJK memberikan sanksi peringatan pertama karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017.

Laporan keuangan JS 2017 masih positif. Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, laba Rp 2,4 triliun atau naik 37,64% dari tahun 2016. Ekuitas perseroan surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi Rp 7,7 triliun karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset.

Pada April 2018, OJK bersama dengan direksi JS membahas adanya pendapatan premi yang turun cukup signifikan akibat diturunkannya guaranteed return atas produk JS Saving Plan setelah dilakukan evaluasi atas produk tersebut. Lalu, pada Mei 2018, ada pergantian direksi.

Setelah tu, direksi baru melaporkan terdapat ketidakberesan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.

Pada 10 Oktober 2018 JS mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar. Dan pada 23 November 2018: OJK mengadakan rapat dengan direksi JS dengan agenda pembahasan kondisi perusahaan pada triwulan III 2018 dan upaya yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan.

Akhirnya, pada 2019 JS terlambat menyampaikan laporan keuangan 2018, OJK mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku.

OJK mengeluarkan izin pembentukan anak usaha JS yaitu Jiwasraya Putra yang merupakan salah satu bagian dari rencana penyehatan keuangan yang telah disetujui oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham.

Dirut JS menyatakan membutuhkan suntikan modal Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko (RBC). Aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 23,26 triliun, sedangkan kewajiban sebesar Rp 50,5 triliun. Terjadi ekuitas negatif Rp 27,24 triliun. Liabilitas JS Saving Plan yang bermasalah sebesar Rp 15,75 triliun.

Kasus Asabri

Selain itu, kasus di PT Asabri (Persero) tak kalah mengerikan dibandingkan kasus Jiwasraya. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan delapan orang tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dana investasi di PT Asabri (Persero) untuk periode 2011-2019.

Dugaan korupsi yang terjadi di perusahaan pengelola dana pensiun TNI dan Polri ini sama halnya dengan yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang masalahnya telah dirampungkan tahun lalu. Yakni manipulasi investasi dengan melibatkan pihak-pihak yang bukan merupakan manajer investasi dan tidak menggunakan analisis dalam penempatan dananya.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Kejagung, kasus ini bermula dari adanya kesepakatan yang dibuat oleh manajemen Asabri periode 2011-2016 dan 2016-2020 dengan Benny Tjokrosaputro (BTS) alias Bentjok dan Heru HIdayat (HH) untuk mengatur dan mengendalikan portofolio investasi Asabri dalam bentuk saham dan reksa dana.

ARD yang merupakan salah satu tersangka, sebelumnya adalah direktur utama Asabri periode 2011-2016 yang melakukan kesepakatan dengan Bentjok. Sedangkan direktur utama periode berikutnya, SW, melakukan kesepakatan dengan Heru Hidayat.

Namun sayangnya kesepakatan kedua direksinya ini justru merugikan perusahaan dan malah menguntungkan kedua pihak eksternal ini.

Hal yang dilakukan selama periode tersebut adalah membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru, Bentjok dan satu pihak lainnya yakni LP yang merupakan Direktur Utama PT Prima Jaringan.

Untuk diketahui, ketiga orang ini bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi (MI).

Penempatan dana ke saham-saham milik ketiga pihak ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.

Setelah saham-saham ini masuk sebagai portofolio Asabri, kemudian ditransaksikan dan dikendalikan oleh ketiga orang tersebut. Sebab, berdasarkan kesepakatan saham tersebut harus terlihat likuid dan bernilai tinggi, padahal transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan pihak Bentjok, Heru dan LP dan merugikan Asabri.

Kerugian Asabri ini disebabkan karena exit dari portofolio tersebut, Asabri menjualnya dengan harga di bawah, alias harga yang lebih rendah ketika perusahaan membeli saham tersebut.

Untuk menghindari kerugian investasi Asabri, saham-saham yang telah dilepas ini kemudian dibeli oleh ketiga pihak tersebut menggunakan nominee. Lalu dibeli kembali oleh Asabri melalui reksa dana yang menggunakan saham-saham ini sebagai aset dasarnya (underlying).

Adapun reksa dana tersebut juga dibentuk oleh manajemen investasi yang dikendalikan oleh tiga nama yang sama.

Atas transaksi yang berlangsung selama dua periode kepemimpinan tersebut, Asabri disebut telah menyebabkan kerugian negara senilai Rp 23,73 triliun berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Saat ini, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mewaspadai kondisi dana pensiun (dapen) BUMN. Hal ini lantaran banyaknya dapen BUMN yang bermasalah. Bahkan, kondisi ini dikhawatirkan menjadi bom waktu gagal bayar satu atau dua tahun ke depan seperti kasus Jiwasraya.

Adapun, salah satu masalah yang sudah muncul dan terdeteksi adalah telah terjadinya defisit kecukupan dapen BUMN. Antara lain, defisit kecukupan dana atau unfinded sebesar Rp 9,8 triliun pada tahun 2021.

Hal itu diuangkapkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Dirinya juga membeberkan hanya 35% dana pensiun BUMN yang masih sehat, sisanya 'sakit'.

"Kita melihat lampunya sudah mulai kuning, jangan sampai enam atau tujuh bulan lagi tiba-tiba ada isu, padahal ini kasus lama, dan bukan hasus baru. Kita akan fokus perbaiki ini," kata Erick dalam Rapat Terbatas dengan Komisi VI DPR RI belum lama ini.

Erick mengatakan defisit dana pensiun yang dikelola oleh perusahaan BUMN totalnya hampir Rp 10 triliun atau lebih tepatnya Rp 9,8 triliun. "Ini ada defisit Rp 9,8 triliun tahun 2021, dan ini sangat besar. Ini terdiri dari mayoritas BUMN, di mana 35 persen sehat, dan sisanya belum sehat," lanjut dia.

Menurut Erick, kondisi dapen BUMN merupakan salah satu isu terbesar yang menjadi beban yang perlu diselesaikan kementerian.

"Kita sudah hampir setahun lebih, jangan sampai isu Jiwasraya-Asabri kita lengah di dana pensiun BUMN sendiri, karena memang Undang-Undangnya seluruh dana pensiun ini kan dikelola oleh masing-masing dana pensiun perusahaannya, yang akhirnya kontrol dan konsolidasinya ini saya takut di kemudian hari menjadi bom waktu," tutur Erick.

Sementara itu, Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan pihaknya tengah melakukan penelusuran terhadap dapen BUMN. Pria yang akrab disapa Tiko ini mengatakan, pihaknya sedang melihat potensi kerugian investasi seiring dengan laporan para nasabah terutama untuk BUMN yang mencatatkan rasio kekayaan di bawah 100%.

"Kita sekarang petakan berapa yang underfunded dan programnya seperti apa sambil kita melihat kalo ada kerugian-kerugian investasi," kata Tiko


[-]

-

Erick Thohir: Baru Selesai Jiwasraya & Asabri, Eh... Ada Lagi
(rob/ayh)

Sentimen: negatif (100%)