Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
Kab/Kota: Gunung
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Aksi Goreng Saham Terbesar, Rp 39 T Raib & Vonis Seumur Hidup
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham gorengan kini menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Pasar saham memang menjadi tempat brinvestasi yang sangat menguntungkan. Tentu saja, risikonya juga sangat tinggi. Pasar saham pun juga menjadi instrumen investasi bagi perusahaan industri keuangan non bank seperti asuransi yang mengelola dana para nasabahnya.
Berkaca pada kasus korupsi dana pengelolaan investasi PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang melibatkan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok) merupakan puncak gunung es (the tip of the iceberg) dari praktik manipulasi perdagangan saham di Tanah Air.
Untuk Asabri total nilai kerugian negara diprediksi mencapai Rp 23 triliun, sementara Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun.
Modus Goreng-Menggoreng Saham
Secara sederhana, dalam kasus Jiwasraya, modus yang dilakukan Heru dan komplotannya adalah dengan manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan, tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi.
Nah, Heru-Bentjok dan kawan-kawan melakukan aksi manipulasi saham tersebut menggunakan uang yang berasal dari Jiwasraya.
Sama dengan kasus Jiwasraya, pada skandal korupsi Asabri, komplotan tersebut menempatkan dana ke saham-saham gorengan alias tidak likuid, ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.
Kemudian saham-saham saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai transaksi dengan cara melakukan transaksi semu, yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.
Aturan Undang-Undang
Istilah 'goreng' saham atau saham 'gorengan' lazim dipakai di antara pelaku pasar modal di Indonesia. 'Menggoreng' saham atau melakukan manipulasi pasar berarti memanipulasi harga suatu saham yang sebenarnya tidak likuid (sepi transaksi) sehingga melonjak di atas kewajaran.
Jadi, saham gorengan dapat diartikan sebagai saham perusahaan yang kenaikannya di luar kebiasaan karena pergerakannya sedang direkayasa oleh pelaku pasar dengan tujuan kepentingan tertentu.
Dalam sejumlah literatur soal hukum pasar modal, seperti dalam Yoyo Arifardhani (2020) dan Mas Rahmah (2019), dijelaskan bahwa ada banyak jenis manipulasi pasar atau aksi goreng saham, mulai dari cornering the market, marking the close, painting the tape, pooling trading, hingga wash selling.
Cornering, contohnya, terjadi ketika pelaku membeli saham dalam jumlah jumbo dan kemudian menahannya (hold) sehingga dapat menguasai pasar. Kemudian, marking the close adalah upaya merekayasa harga permintaan atau penawaran saham menjelang penutupan perdagangan.
Istilah lainnya, painting the tape, yang merupakan kegiatan antara satu rekening efek dengan rekening efek lainnya yang masih dalam penguasaan satu pihak atau mempunyai keterkaitan tertentu sehingga tercipta transaksi semu.
Kemudian, wash selling, yang merupakan salah satu cara dari sang bandar memanipulasi transaksi seolah-olah bergerak wajar layaknya transaksi saham pada umumnya. Namun, sebenarnya proses tersebut dilakukan oleh satu atau beberapa oknum yang sama.
Dalam perbendaharaan perundang-undangan sendiri sebenarnya tidak mengenal istilah 'menggoreng saham'. Sebagai padanannya, Undang-Undang (UU) No 8/1995 Tentang Pasar Modal, terutama pada Bab XI, menggunakan istilah penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam.
Tiga pasal yang menjelaskan mengenai larangan upaya 'menggoreng' saham adalah Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 UU No 8/1995.
Dalam Pasal 91 UU No. 8/1995, misalnya, dijelaskan, "Setiap pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di Bursa Efek."
Kemudian, Pasal 92 menjelaskan, "Setiap pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan dua transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek."
Manipulasi pasar macam di atas sendiri dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Mengacu pada Pasal 104 UU 8/1995, pelanggaran terhadap ketiga pasal di atas--Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 --diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
Jadi, UU sendiri sebenarnya sudah melarang kegiatan manipulasi pasar.
Namun, kasus Heru dan Bentjok yang berlarut-larut dan kompleks di atas tampaknya mengindikasikan masih adanya kesulitan atau pekerjaan rumah untuk para regulator dalam penegakan hukum pasar modal terkait praktik goreng saham atau manipulasi pasar--terutama untuk kasus-kasus besar.
Sebagaimana diketahui, pembicaraan soal indikasi adanya aksi goreng saham di pasar oleh kalangan tertentu, atau biasa disebut dengan istilah longgar 'bandar', seringkali ditemukan di kalangan investor ataupun trader saham. Namun, tampaknya masih sukar untuk bisa membuktikan satu sosok atau kelompok telah melakukan suatu manipulasi pasar.
[-]
-
Gak Mau Kayak Adani, Ini Cara Bursa RI Deteksi Saham Gorengan
(rob/ayh)
Sentimen: negatif (100%)