Sentimen
Negatif (100%)
10 Feb 2023 : 16.00
Informasi Tambahan

Hewan: Bebek

Nami

Detik.com Detik.com Jenis Media: Hiburan

10 Feb 2023 : 16.00
Nami
Jakarta -

Ayah yang aneh, memberikan sesuatu untuk menutupi wajah anaknya. Kebiasaan itu sudah dimulai saat anaknya masih seumur jagung. Bahkan kebiasaan itu terus berlangsung hingga jagung telah memasuki masa panen ratusan kali. Benda hitam sebesar ukuran foto empat kali enam masih setia menemani kulit pipiku sebelah kiri.

***

Hari ini, hari terakhir perkuliahan, sejenak tanganku menyandarkan dirinya membentuk sudut siku-siku di pergelangan, berusaha menopang wajahku yang mulai terasa berat. Aku yang dulunya hanya seorang anak kecil kini mulai berpikir entah ayahku terinspirasi dari mana akan kelakuannya. Mungkin saja ia pernah menonton drakor tentang pemilik bertopeng yang disangka memiliki rupa yang buruk, padahal untuk menutupi identitas wajahnya sehingga tidak gampang dikenali oleh musuh. Nah, apa iya aku ini sepenting itu makanya ditempelkan benda aneh untuk menutupi wajahku, atau ada sesuatu di baliknya?

-

-

Kepalaku tak banyak menaruh tanya jika namaku adalah Nami, karena ayahku adalah penggemar berat film anime One Piece. Tapi yang membuat isi kepalaku berkarat adalah mengapa harus Nami, kenapa bukan yang lain, Nico Robin misalnya memiliki paras anggun meskipun terdapat sisi misterius padanya, atau Putri Vivi pemilik bebek berukuran jumbo.

Mengapa harus Nami yang punya kebiasaan suka mencuri harta karun? Meskipun harta itu untuk membebaskan tanah miliknya di pulau yang dirampas oleh manusia ikan, Nami juga sering membuat benjolan di tempurung kepala teman laki-lakinya saat bertingkah aneh, Luffy, Sanji, dan Zoro sering jadi korbannya. Bahkan mereka semua tak berani melawan Nami.

Ayahku memang aneh. Sudahlah ribet bawaannya kalau mesti ganti nama, aku juga tidak punya orang dalam yang bisa membantu proses percepatan penggantian namaku. Apalagi aku belum sama sekali terpikir nama yang paling cocok denganku. Setidaknya nama Nami lebih baik daripada si aneh, julukan teman-teman yang memanggilku.

Di sela istirahat kuliah, kakiku sedang sepemikiran dengan lambungku, menuju auditorium kampus. Dari jauh hidungku bisa mencium aroma gratisan. Mumpung jam makan siang, bisa menghemat pengeluaranku, itulah ritual rutinku di kampus. Syukur-syukur aku bisa kuliah, mungkin juga efek benda aneh ini, jadi aku tak mesti repot-repot membeli skin care.

"Perempuan harus berdaya. Kedudukan laki-laki dan perempuan setara, yang membedakannya hanyalah fungsi biologisnya. Kita bukan budak laki-laki. Kita punya hak terhadap tubuh kita sendiri. Wanita boleh berkarier sambil menjadi ibu rumah tangga. Kadang kita selalu dijebak dengan pertanyaan paling bodoh, pengen jadi wanita karier atau jadi ibu rumah tangga," ucap perempuan dengan mic yang telah lepas dari gagangnya.

Hingga masuk perkuliahan terakhir dan kembali ke asramaku, memindahkan satu demi satu pakaian yang akan kubawa pulang, mengisi setiap ruang udara yang kosong dalam ransel, tetapi kepalaku masih melayang-layang. Pikiranku sepertinya masih gentayangan di langit-langit auditorium. Sesekali kepalan tangan tanpa kusadari kukepal bersama pakaian-pakaianku. Ada sesuatu yang ingin kulampiaskan.

Sampai di rumah, tubuhku yang berat karena terus memikirkan perkataan wanita di auditorium, kemudian jatuh merebahkan dirinya. Kupandangi langi-langit kamarku. Yang kulihat bayangan perempuan itu dengan orasi-orasinya. Bahkan telingaku masih terus memutar rekaman suaranya, betul-betul mengutak-atik isi kepalaku. Sosok Nami di dunia nyata yang berani menentang sistem sosial budaya yang kental dengan patriarki.

***

"Bu, besok aku nggak mau pakai benda aneh lagi, aku ingin bebas, Bu, menampilkan diriku apa adanya," aku mulai mengajukan tuntutan pada ibu.

"Nak, jangan banyak ngoceh ya, belum waktunya untuk buka benda aneh itu," celetuk ibu, tuntutan yang kuajukan ditepis begitu saja.

"Lalu mau sampai kapan, Bu?" protesku pada ibu. Itu adalah salah satu tuntutanku belasan tahun silam. Hari ini aku hanya mengajukan satu tuntutan.

"Pesan ayahmu untuk memakaikan benda aneh padamu, katanya dulu, nanti kalau Nami sudah jadi profesor baru benda anehnya dilepas," jawaban ibu kembali menegaskan.

"Ha, Ibu pasti bohong," jawabku spontan begitu saja, karena ibu menyebut sisi terlemahku, ayah yang sudah hilang belasan tahun.

"Benaran, Nak ayahmu tidak mungkin hanya bercanda pada waktu itu," jawaban ibu kali ini sudah berada pada nada yang sumbang. Aku akhirnya menyerah.

Tuntutanku kali ini gagal lagi. Meskipun aku sedikit bersyukur dengan benda aneh ini, karena teman-teman di kampungku yang berparas bidadari tak satu pun yang terlihat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Paling tinggi adalah SMA, dan di masa SMP pun aku telah banyak kehilangan teman-teman perempuan, satu per satu lenyap begitu saja.

Sejak kecil anak perempuan sudah bisa diramalkan sampai kapan ia akan menikmati kebebasannya. Semakin cantik semakin cepat kehilangan kebebasan. Cenayang-cenayang kampung sudah tidak bisa diragukan lagi, akurasi ramalannya betul-betul pas. Sesekali aku ingin membuat ramalan mereka salah.

Hari ini, semakin menguatkan hatiku untuk memberontak, terlebih dipertemukan dua teman kecilku dulu.

"Nami," sapa Putri dari jauh sambil melambaikan tangan.

"Iya, Putri," jawabku dengan wajah berbinar.

Sejenak dari jauh tak ada yang berbeda dengan Putri. Tapi lama-kelamaan saat mataku mulai mendekat, keduanya tidak bisa dibohongi. Bekas luka di mana-mana memenuhi kulitnya yang tidak tertutupi kain, Entah berapa banyaknya luka yang tersembunyi oleh kain.

Aku juga bertemu Andini, perempuan paling cengeng di antara kami. Ia sudah banyak berubah hari ini, karena semua tetesan air matanya telah mengering, pipi yang dulunya putih berseri-seri kini dihiasi bekas aliran derai hujan air mata.

"Andini, gimana kabar suamimu?" aku berani bertanya karena suaminya pasti sedang keluar, buktinya aku bisa ketemu Andini.

"Dia sedang keluar, makanya jangan sungkan untuk cerita apa saja," jawabnya dengan nada tanpa tekanan.

"Oh, iya baiklah akan kuceritakan hal yang paling istimewa terjadi di kampus."

Matanya penuh tatap. Senyumnya tidak pernah berhenti mendengarkan kisah yang kuceritakan, bagaimana dunia di luar sana perempuan bebas berkeliaran di mana-mana, melanjutkan sekolahnya sampai di bangku kuliah. Tangannya pun menggenggam tanganku erat saat aku menceritakan sosok yang memenjarakan isi kepalaku sepanjang waktu. Andini seakan menaruh banyak harap padaku.

"Nami, lain kali mampir lagi ya, ceritakan lebih banyak lagi dunia di luar sana."

"Iya, Andini, pasti aku mampir lagi, aku janji."

Aku tidak bisa berlama-lama mampir di rumah mereka seperti masa anak-anak dulu. Temanku lainnya bernama Nita. Hari ini aku tidak bertemu dengannya. Nasibnya sangat berbeda. Paling beruntung bisa bertegur sapa lewat jendela rumahnya, sebuah keajaiban yang hanya bisa terjadi satu kali dalam setahun. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi padanya di dalam sana, rumahnya jauh menjulang ke langit.

Dulu kusangka dialah wanita paling beruntung karena dilamar oleh orang kaya, tetapi aku sangka dialah yang paling menderita selama ini. Pertemuan kami hanya saling melambaikan tangan tanpa berucap sekalipun, karena terakhir kali ia merapal kata padaku, saat itulah aku melihat sepasang tangan mendarat di wajahnya, berganti-ganti, kanan dan kiri, semua berakhir ketika suara jeritan Nita tak terdengar lagi.

Mereka dipaksa tua sebelum waktunya, pernikahan menjadi gerbang pembuka segala penderitaan itu, hingga akhirnya aku sendiri tidak terpikir bahkan tidak ingin memikirkan sama sekali untuk menikah. Isi hatiku, kepada siapa harus berlabuh, sampai kapan harus memendam perasaan saat laki-laki menyentuh hatiku, semua itu diusir oleh bayangan kelam yang terekam kuat dalam ingatanku.

Bagiku, sosok laki-laki sempurna hanyalah ayah. Tak pernah sekalipun ayah memperlakukan ibu seperti mereka di luar sana, karena itu berada di rumah sendiri adalah tempat paling ternyaman yang pernah kusinggahi.

***

Aku akan jadi guru besar, dan akan melepas benda aneh ini. Bukan hanya benda aneh ini, benda tak terlihat yang telah mengutuk perempuan di kampungku, aku juga akan melepasnya. Tidak akan ada lagi yang bisa merampas kebahagiaan mereka. Kalau perlu aku membeli semua kebahagiaan itu jika benar-benar uang bisa membelinya.

Khalil El Rachman menulis, berorganisasi, dan kuliah

Simak Video "Yoo Young Jin Tegaskan di Sisi Lee Soo Man, Ancam Cabut dari SM"
[-]
(mmu/mmu)

Sentimen: negatif (100%)