Data Tenaga Kerja AS Masih Kuat, Pasar Gak Jadi Optimis?
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang dirilis pada Jumat (4/2/2023) waktu setempat kembali menunjukkan hasil positif. Data ini sekaligus menandakan sektor tenaga kerja di AS masih cukup kuat hingga membuat pasar kembali khawatir.
Data penggajian non pertanian (non-farm payroll/NFP) dan tingka pengangguran periode Januari 2023 telah dirilis dan hasilnya menunjukkan bahwa tenaga kerja di AS masih belum ada tanda-tanda lemah.
Data NFP per Januari 2023 yang dirilis kemarin dilaporkan melonjak menjadi 517.000, dari sebelumnya sebesar 260.000 pada Desember 2022.
Angka ini tentunya juga lebih tinggi dari perkiraan pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan NFP AS turun menjadi 187.000.
Tak hanya itu saja, tingkat pengangguran AS periode Januari 2023 juga dilaporkan mengalami penurunan, yakni menjadi 3,4%, dari sebelumnya sebesar 3,5% pada Desember 2022.
Hal ini menandakan bahwa sektor tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cukup kuat meski data ekonomi lainnya mulai menandakan adanya pelemahan.
"Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kita dapat melihat tingkat pertumbuhan pekerjaan itu meskipun ada beberapa gejolak lain dalam perekonomian. Kenyataannya adalah ini menunjukkan masih banyak permintaan yang terpendam untuk pekerja dan perusahaan benar-benar kesulitan untuk mempekerjakan staf dengan tepat," kata Michelle Meyer, kepala ekonom AS di Mastercard Economics Institute, dikutip dari Reuters.
Masih kuatnya data tenaga kerja AS terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan kembali suku bunga acuannya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, di mana kenaikan ini tentunya sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.
The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) ke kisaran 4,5% - 4,75%. Hal ini berarti The Fed kembali memperlambat laju kenaikan setelah sebelumnya menaikkan 50 bp pada Desember 2022 dan 75 basis pada empat pertemuan sebelumnya.
Namun, The Fed tidak memberikan indikasi jeda yang akan datang dalam kenaikan suku bunga. Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa kebijakan perlu tetap restriktif untuk beberapa waktu dan bahwa para pejabat akan memerlukan bukti yang jauh lebih banyak untuk yakin bahwa inflasi berada di jalur yang menurun ke target 2%.
"Komite mengantisipasi bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target akan sesuai untuk mencapai sikap kebijakan moneter yang cukup ketat guna mengembalikan inflasi menjadi 2 persen dari waktu ke waktu," kata The Fed dalam pernyataannya, Rabu (1/2/2023) siang waktu setempat.
Para pejabat The Fed telah mengatakan bahwa data inflasi Oktober, November dan Desember 2022 yang stabil merupakan berita yang disambut baik. Namun mereka masuk perlu menantikan lebih banyak data lagi, terutama terkait data ketenagakerjaan.
Dengan data tenaga kerja AS yang masih cukup kuat, maka The Fed bisa saja kembali makin agresif menaikkan suku bunga acuannya, jika The Fed hanya berfokus pada data tenaga kerja.
Namun, The Fed juga bisa terus memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya jika mereka juga melihat data ekonomi lainnya.
Dalam kondisi saat ini, data yang positif yang biasanya menjadi sentimen positif, namun justru terbalik menjadi sentimen negatif. Alhasil, investor yang sebelumnya optimis, kembali pesimis setelah melihat data tenaga kerja AS yang masih cukup kuat.
"Laporan pekerjaan hari ini hampir terlalu bagus untuk menjadi kenyataan," tulis Julia Pollak, kepala ekonom di ZipRecruiter, dilansir dari Reuters.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[-]
(chd/chd)
Sentimen: negatif (99.8%)