Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: covid-19, PHK
Tokoh Terkait
Alasan Sebenarnya di Balik Startup PHK Massal Terkuak
CNBCindonesia.com Jenis Media: Tekno
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak tahun lalu, sejumlah startup bahkan banyak perusahaan besar melakukan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Ini terjadi nampaknya karena kebijakan memperkerjakan banyak pegawai sebelumnya.
Alasan PHK yang diungkapkan perusahaan juga rata-rata sama. Faktor makroekonomi yang membuat kondisi saat ini di luar ekspektasi.
Banyak perusahaan mengeluarkan penyataan bahwa mereka tidak menduga bahwa konsumen bakal beralih offline dengan cepat, padahal berpikir bisnis online masih akan cuan seperti pada puncak pandemi.
Beberapa ahli manajemen dan perekonomian yang diwawancarai oleh The Verge mengungkapkan alasan sesungguhnya di balik tren PHK massal di startup dan perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft, Google, Meta, dan Amazon.
Sering kali, perusahaan tidak memiliki masalah biaya. Mereka memiliki masalah pendapatanProfesor di Stanford Graduate School of Business, Jeffrey PfefferMenurut Michael Cusumano, wakil dekan di MIT Sloan School of Management, salah satu faktor utamanya adalah cara investor dalam menetapkan valuasi perusahaan, berubah.
Perusahaan teknologi, baik startup maupun big tech, adalah perusahaan dengan pertumbuhan pesat (hyper-growth). Pendapatan perusahaan teknologi biasanya tumbuh 20 persen hingga 30 persen setiap tahun. Di laju pertumbuhan pendapatan seperti ini, profitabilitas bukan hal yang penting.
"Namun, sekarang kita sedang tidak dalam periode pertumbuhan. Jadi investor lebih berhati-hati," kata Cusumano.
Cusumano mengungkapkan bahwa perusahaan teknologi global, sebetulnya secara total menyimpan puluhan hingga ratusan miliar dolar uang tunai. Artinya, sebetulnya mereka punya kapasitas untuk mempertahankan pegawai.
Permasalahannya, saat investor membaca laporan keuangan, mereka juga jarang memperhatikan cadangan kas tersebut. Investor lebih suka menggunakan cara lain dalam menilai prospek perusahaan. Salah satunya adalah pendapatan per pegawai.
Kini, industri teknologi saat ini berhadapan dengan perlambatan pertumbuhan pendapatan bahkan penurunan. Di sisi lain, lonjakan pendapatan selama pandemi membuat mereka menambah jumlah pegawai secara agresif dalam 1-2 tahun terakhir.
Hasilnya, rasio pendapatan per pegawai di perusahaan teknologi, merosot tajam.
Foto: Ilustrasi pekerja teknologi/shaliniCusumano menjelaskan bahwa perusahaan seperti Microsoft seharusnya membukukan pendapatan US$500.000 untuk setiap pegawai mereka, atau minimum US$300.000 per pegawai.
"Saat rasio turun di bawah itu, mereka mulai cemas soal jumlah pegawai. Ini yang dilihat oleh investor dan petinggi perusahaan dalam periode tahunan, bahkan per kuartal," jelasnya.
Teori yang melatarbelakangi keputusan PHK massal adalah kebijakan tersebut menghemat uang perusahaan, meski harus merelakan jutaan hingga miliaran dolar untuk pesangon.
Perusahaan menilai, dengan ongkos gaji yang lebih rendah, biaya operasional perusahaan juga lebih rendah dalam jangka waktu yang lebih panjang. Meskipun, Cusumano tidak yakin realitanya sama dengan teori.
Masalah pendapatan, bukan biayaDitemui beberapa waktu lalu, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menjelaskan startup memasukkan banyak pegawai baru. Kejadian ini terjadi sebelum para perusahaan rintisan membutuhkannya dan memperkerjakan lebih dari yang dibutuhkan.
Semuel menjelaskan apa yang dilakukan startup kala itu dengan alasan mereka takut akan kehabisan talenta digital.
Namun yang terjadi berikutnya adalah ekonomi dunia mengalami keadaan tak menentu. Di saat bersamaan ternyata para startup sadar tidak membutuhkan beberapa talenta yang ada di dalam perusahaan.
"Makanya sekarang melakukan rasionalisasi. Karena takut kehabisan digital talent-nya, mereka meng-hire melebihi apa yang mereka butuhkan. Setelah terjadinya pengetatan ekonomi, 'ternyata saya enggak butuh ini'," kata Semuel ditemui usai acara Forum Ekonomi Digital Kominfo ke-5, di Jakarta, Rabu (1/12/2022).
Dia berharap jika tren tersebut adalah terkait rasionalisasi perusahaan. Dengan begitu perusahaan dapat melakukan operasional dan agar bisa bertahan.
"Harapannya sih ini bukan karena kejadian downterm-nya tapi lebih ke arah merasionalisasi agar bisa beroperasi secara positif dan menghasilkan perusahaannya berkelanjutan," jelasnya.
Foto: Semuel Abrijani Pangerapan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika. (CNBC Indonesia/Intan Rakhmayanti) Karena takut kehabisan digital talent-nya, mereka meng-hire melebihi apa yang mereka butuhkan Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani PangerapanMenurut profesor di Stanford Graduate School of Business, Jeffrey Pfeffer,, seperti dikutip The Verge, hanya ada sedikit bukti empiris bahwa PHK membantu meningkatkan profitabilitas, dan ada juga bukti yang menyatakan PHK malah merugikan profitabilitas perusahaan.
"Sering kali, perusahaan tidak memiliki masalah biaya," kata Pfeffer. "Mereka memiliki masalah pendapatan. Dan memangkas jumlah karyawan tidak akan meningkatkan pendapatan Anda. Itu mungkin akan menguranginya." tuturnya.
Literatur tentang apakah PHK benar-benar ampuh untuk meningkatkan harga saham juga beragam.
Salah satu penelitian menyatakan keputusan menutup perusahaan dan melakukan PHK, lebih baik daripada perusahaan yang hanya melakukan PHK. Selama pandemi virus Corona 2020, bahkan PHK sama sekali tidak berpengaruh pada harga saham.
Namun satu yang jelas bahwa PHK berdampak pada para korbannya. Penelitian Pfeffer menemukan bahwa PHK bisa 'membunuh' orang, dengan meningkatkan risiko kematian seseorang karena bunuh diri dan dengan meningkatkan stres, baik di antara orang yang diberhentikan maupun di antara mereka yang tetap tinggal di perusahan.
PHK juga dapat mengurangi produktivitas di antara mereka yang tetap bekerja.
"Jadi mengapa melakukan PHK sama sekali jika tidak benar-benar berhasil? Manusia selalu berbuat bodoh," kata Pfeffer.
[-]
-
Tsunami PHK Startup September Hantam 10.000 KaryawanSentimen: negatif (66.6%)