Saat Rupiah Libur, Mata Uang Asia Geraknya Gak Kompak
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan rupiah pada hari ini masih belum dibuka karena adanya cuti bersama dalam rangka libur Tahun Baru Imlek. Namun apabila dibuka, rupiah diprediksi bakal menguat lagi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi cenderung tipis-tipis saja.
Pada Jumat (20/1/2023) lalu, rupiah menguat 0,2% ke Rp 15.070/US$, melansir data Refinitiv. Sepanjang pekan lalu, rupiah terpantau menguat 0,46% secara point-to-point.
Pada hari ini, Senin (23/1/2023), beberapa mata uang Asia terpantau sudah dibuka. Pergerakannya cenderung beragam. Won Korea Selatan, peso Filipina, dolar Singapura, dan dolar Taiwan terpantau menguat terhadap dolar AS.
Sedangkan untuk rupee India, yen Jepang, dan baht Thailand terpantau melemah di hadapan sang greenback. Adapun untuk dolar Hong Kong terpantau stagnan.
Sementara untuk yuan China, rupiah, dan ringgit Malaysia pada hari ini tidak diperdagangkan karena masih libur Tahun Baru Imlek.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Benua Kuning (Asia) pada perdagangan hari ini.
Rupiah mengakhiri pekan lalu dengan kinerja yang cukup baik, meski Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya dan mengindikasikan bahwa BI tidak akan menaikkan suku bunga lagi.
Gubenur BI, Perry Warjiyo dan koleganya pada Kamis pekan lalu kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 5,75%. Dengan demikian, BI sudah menaikkan suku bunga 6 bulan beruntun, dengan total 225 basis poin.
"Kenaikan 225 bp adalah yang terukur. Kenaikan secara akumulatif ini memadai untuk memastikan inflasi inti tidak akan lebih tinggi dari 3,7% pada Semester I-2023," tutur Perry, dalam konferensi pers pengumuman Hasil RDG Januari 2023, Kamis (19/1/2023).
Kata memadai tersebut menjadi kode BI tidak akan menaikkan suku bunga lagi. Hal tersebut ditegaskan Perry saat sesi tanya jawab dengan media.
"Kalau tidak ada informasi yang extraordinary, yang kita tidak bisa kita lihat dan kondisi di luar perkiraan, maka kata memadai sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut," imbuh Perry menjawab pertanyaan apakah BI masih akan menaikkan suku bunga ke depan.
Di sisi lain, inflasi yang menurun di AS membuat pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Desember 2022 dilaporkan tumbuh 6,5% (year-on-year/yoy), jauh lebih rendah dari sebelumnya 7,1%. CPI tersebut juga menjadi yang terendah sejak Oktober 2021.
CPI inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan juga turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 6%, dan berada di level terendah sejak Desember 2021.
Sebelumnya, Institute for Supply Management (ISM) awal bulan ini melaporkan sektor jasa Amerika Serikat mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua setengah tahun terakhir.
ISM melaporkan purchasing managers' index (PMI) jasa turun menjadi 49,6 jauh dari bulan sebelumnya 56,5. Angka di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Kontraksi tersebut menjadi tanda gelapnya perekonomian AS pada 2023, resesi sudah membayangi.
Untuk diketahui sektor jasa merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) AS berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya tidak pernah kurang dari 70%.
Pasar kini melihat The Fed akan kembali menaikkan suku bunga 25 basis poin pada Februari nanti, dan sekali lagi dengan besaran yang sama sebulan berselang. Sebabnya, inflasi yang terus menurun.
Ekspektasi tersebut lebih rendah dari proyeksi The Fed sebesar 75 basis poin, hingga menjadi 5% - 5,75%.
Kode berakhirnya era kenaikan suku bunga oleh BI saat The Fed masih akan menaikkan dua kali lagi menjadi langkah yang berani.
Jika selisih (spread) suku bunga menyempit, ada risiko rupiah akan mengalami pelemahan. Tetapi di sisi lain, hal itu menunjukkan BI 'pede' dengan kondisi saat ini dan menunjukkan optimisme rupiah masih akan tetap kuat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[-]
-
Terkapar Lawan Dolar AS, Rupiah Dekati Level Rp 15.600/USD
(chd/chd)
Sentimen: negatif (66.3%)