Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Kasus: pengangguran, Zona Hijau
Tokoh Terkait
Dear Investor, Cermati Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah alami jalan terjal sejak awal tahun pasar keuangan Tanah Air pekan ini mampu mencatatkan kinerja yang cemerlang. Meskipun sempat di hantui kekhawatiran bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada pertemuannya mendatang.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu naik signifikan pekan ini dengan penguatan 3,25% secara point-to-point di posisi 6.874,931 pada penutupan perdagangan Jumat (20/1/2023).
Pekan ini IHSG nyaris secara eksklusif ditutup di zona hijau, kecuali pada perdagangan Rabu (18/1/2023) yang terkoreksi tipis 0,02% karena investor wait and see keputusan suku bunga Bank Indonesia yang diumumkan sehari setelahnya.
Sementara, Mata Uang Garuda juga mencatatkan kinerja yang sama cemerlangnya. Rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (20/1/2023), sehari setelah Bank Indonesia (BI) mengindikasikan era kenaikan suku bunga RI sudah berakhir.
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan Jumat pekan ini rupiah ditutup di harga Rp 15.070/US$ atau menguat 0,46% secara point-to-point dalam sepekan. Lebih fantastis lagi sejak perdagangan hari terakhir tahun lalu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan drastis hingga 3,18%.
Lantas, mampukah pasar keuangan mengulang kinerja positifnya pekan depan?
Para pelaku pasar patut mencermati sejumlah isu penting yang menjadi sentimen pasar utama sebagai harapan bahwa pasar keuangan bisa bangkit kembali dan mencatatkan kinerja positifnya pekan depan.
Perlu diketahui, pada dasarnya pasar keuangan sampai saat ini masih dibayangi oleh ragam sentimen eksternal yang akarnya dari ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang memicu inflasi dan kenaikan suku bunga The Fed.
Sebab itu, perkembangan data-data penting baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan sinyal kemana arah suku bunga dan ekonomi ke depan penting untuk diketahui.
Dari dalam negeri tentunya pelaku pasar masih mencermati kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI). Seperti diketahui, Gubenur BI Perry Warjiyo dan kolega di bank sentral, Kamis (19/1) kemarin menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Dengan demikian, BI sudah menaikkan suku bunga 6 bulan beruntun, dengan total 225 basis poin.
Namun, pasar kembali bergejolak pasca BI memberikan kode keras jika suku bunga tidak akan dinaikkan lagi. Ia menyebut dengan kenaikan kumulatif sejak tahun lalu sebesar 225 basis poin sudah memadai untuk menjaga inflasi. Perry memprediksi inflasi inti akan berada di bawah 4% di semester I-2023.
Dengan BI yang kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga lagi, sementara bank sentral AS (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga, kemungkinan dua kali lagi, maka spread suku bunga akan menyempit, dan ada risiko pasar keuangan bakal tertekan.
Selanjutnya, pastinya semua mata tentunya tertuju pada The Fed. Saat ini, investor tengah fokus menanti komentar pejabat The Fed untuk sinyal-sinyal terkait seberapa besar suku bunga akan dinaikkan. CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon berpendapat bahwa suku bunga akan mencapai 5%.
Sentimen penting penggerak pasar pekan ini memang datang dari Amerika Serikat (AS). Akan ada banyak data penting yang dirilis untuk memperlihatkan seberapa kuat ekonomi AS menghadapi tekanan selama ini.
Pada perdagangan awal pekan setelah libur panjang Selasa (24/1/2023), S&P Global bakal merilis data Indeks Manajer Pembelian (PMI) mengukur tingkat aktivitas manajer pembelian di sektor manufaktur. Angka di atas 50 menandakan ekspansi sektor, angka di bawah 50 menandakan kontraksi.
Berdasarkan Trading Economics, Global S&P telah merevisi PMI AS sedikit lebih tinggi menjadi 44,7 pada Desember 2022 dari awal 44,4. Namun sepertinya PMI terus menunjukkan kontraksi terbesar di sektor jasa dalam empat bulan dan merupakan yang tercepat kedua sejak Mei 2020. Kemudian pada hari yang sama, AS juga akan menyajikan data indeks manufaktur.
Selain itu, fokus utama pasar pada Kamis (26/1/2023) mungkin akan menjadi hari terpenting minggu depan bagi investor. AS bakal mengumumkan pertumbuhan ekonomi negaranya. sebelumnya, pada Desember lalu, pertumbuhan tahunan AS direvisi naik menjadi 3,2%, menurut laporan produk domestik bruto (PDB) kuartal III-2022.
Di hari yang sama juga banyak data penting dari AS yang bakal rilis seperti, data klaim pengangguran, data pengeluaran konsumen riil, data penjualan rumah baru, perubahan stok gas alam EIA, serta harga PCE inti.
Personal Consumption Expenditure atau PCE AS penting bagi The Fed karena The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) sebagai acuan untuk menetapkan kebijakan moneter. Inflasi PCE ini biasanya dirilis pada akhir bulan.
Pada November, inflasi PCE tercatat tumbuh 5,5% (yoy) pada November tahun lalu, turun dari bulan sebelumnya 6,1% (yoy). Sementara inflasi PCE inti yang menjadi acuan utama The Fed, turun menjadi 4,7% (yoy) dari sebelumnya 5% (yoy) dan berada di level terendah sejak Juli 2022.
Jika PCE turun maka akan menjadi sinyal dan menguatkan ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya lebih cepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
-
Pelemahan Rupiah Berlanjut, Ini Efeknya ke Obligasi & Saham
(aum/aum)
Sentimen: negatif (61.5%)