Manusia Flores Masih Hidup Berkeliaran, Ahli Ungkap Faktanya
CNBCindonesia.com Jenis Media: Tekno
Jakarta, CNBC Indonesia - Profesor antropologi dari University of Alberta, Gregory Forth belum lama ini mengungkapkan bahwa Homo Floresiensis masih hidup dan berkeliaran. Hal tersebut ia beberkan dalam tulisan The Scientists terkait kesaksian penduduk lokal yang melihat penampakan manusia purba tersebut.
Ucapannya itu, tentunya telah menggemparkan dunia arkeologi. Meski demikian, pendapatnya memang perlu dibuktikan lebih lanjut.
Untuk diketahui, Homo Floresiensis merupakan jenis manusia purba yang terbilang baru ditemukan. Adapun manusia purba ini ditemukan oleh tim gabungan dari Indonesia dan Australia pada 2003 silam.
Mereka mempublikasikan penelitiannya berjudul "Short for her age: Third Asian Homo Species Reveals Diversity of Pleistocene Humanity" di jurnal Nature pada 28 Oktober 2004.
Temuan ini rupanya cukup menggemparkan jagat dunia ilmu pengetahuan. Mengingat, manusia purba tersebut melengkapi perjalanan evolusi manusia, khususnya migrasi orang Asia ke Australia.
Ketika pertama kali ditemukan di Flores, peneliti menemukan rangka manusia lengkap termasuk budayanya. Rangka itu ditemukan di gua besar yang disebut Liang Bua, Flores. Hasil pertanggalan menunjukkan bahwa mereka hidup sekitar 38.000-18.000 tahun lalu.
Adapun jika menelaah lokasi tempat penemuan, wajar apabila Homo Floresiensis bermukim di sana. Sebab, sebagian besar daerahnya merupakan perbukitan gamping yang dikenal cukup subur. Bahkan, sejak dahulu wilayah itu sudah dikenal sebagai lumbung padi.
Hasil observasi terhadap rangka tersebut menunjukkan bahwa manusia tersebut secara anatomi memiliki ukuran yang sangat kecil.
"Berdasarkan hasil analisis awal yang dilakukan oleh Peter Brown dari Universitas New England, Australia, diperoleh gambaran bahwa tinggi manusia ini hanya sekitar 106 cm dengan volume otak sekitar 380cc,"tulis Jatmiko dan Thomas Sutikno dalam Temuan Homo Floresiensis di Situs Liang Bua (2006).
Karena ukurannya yang kecil, manusia ini juga sering disebut sebagai Hobit, merujuk pada karakter fiksi di karya populer.
Namun, Teuko Jacob dari UGM, menyatakan penyebab Homo Floresiensis berukuran kecil karena penyakit. Ia menegaskan kalau penemuan ini bukan jenis baru, alias masih termasuk dari spesies Homo Sapiens.
"Spesies baru manusia dari Flores itu sebenarnya manusia modern yang termasuk dalam spesies Homo sapiens dari ras Australomelanesid. Hanya saja menurutnya, fosil manusia Flores tampak istimewa karena menderita penyakit microchepali yang banyak diderita oleh masyarakat Flores," kata Teuku Jacob.
Dalam sebuah opini untuk The Scientist yang mempromosikan bukunya berjudul Between Ape and Human, Gregory Forth berpendapat bahwa ahli paleontologi dan ilmuwan lain telah mengabaikan pengetahuan pribumi dan kisah tentang "manusia kera" yang hidup di hutan Flores.
"Tujuan saya dalam menulis buku ini adalah untuk menemukan penjelasan terbaik - yaitu, yang paling rasional dan paling didukung secara empiris - tentang kisah dari suku Lio" tulis Forth dalam tulisan, dikutip dari Ifl Science, Senin (9/1/2023).
"Ini termasuk laporan penampakan oleh lebih dari 30 saksi mata, yang semuanya saya ajak bicara secara langsung. Dan saya menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan apa yang mereka katakan kepada saya adalah bahwa hominin non-sapiens telah bertahan di Flores hingga saat ini atau baru-baru ini." imbuhnya.
Dia menulis bahwa warga lokal suku Lio yang mendiami pulau itu bercerita tentang manusia yang berubah menjadi hewan saat mereka bergerak dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia samakan makhkluk itu dengan sejenis Lamarckisme, pewarisan karakteristik fisik yang didapat.
"Seperti yang diungkapkan oleh penelitian lapangan saya, perubahan yang dikemukakan seperti itu mencerminkan pengamatan lokal tentang kesamaan dan perbedaan antara spesies nenek moyang dan keturunannya yang berbeda," terangnya
Ia mengidentifikasi makhluk ini sebagai hewan, tidak memiliki bahasa atau teknologi rumit yang dimiliki manusia. Namun, mereka disebut sangat mirip dengan manusia.
"Bagi suku Lio, penampilan manusia-kera sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya manusia membuat makhluk itu menjadi anomali dan karenanya bermasalah dan mengganggu," terang Forth.
Untuk saat ini, waktu terdekat hidup makhluk ini sekitar 50.000 tahun yang lalu. Tapi Forth mendesak agar pengetahuan dari para penduduk lokal dimasukkan untuk menyelidiki evolusi hominin.
"Apa yang mereka katakan tentang makhluk itu, ditambah dengan bukti lain, sepenuhnya konsisten dengan spesies hominin yang masih hidup, atau yang hanya punah dalam 100 tahun terakhir." pungkasnya.
[-]
(dem)
Sentimen: positif (57.1%)