Stok Dolar AS di RI Naik Gegara Utang, Rupiah Bakal Perkasa?
CNBCindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia menguat pada akhir 2022. Posisi cadangan devisa itu berpotensi memperkuat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang 2023.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2022 mencapai US$ 137,2 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir November 2022 sebesar US$ 134,0 miliar.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, penguatan posisi cadangan devisa itu akan terus berlanjut hingga penghujung 2023, dengan begitu, sehingga pergerakan rupiah dapat ditopang oleh instrumen modal tersebut.
"Secara keseluruhan, kami melihat cadangan devisa tetap memadai, sekitar US$ 135 miliar-US$ 140 miliar pada akhir 2023. Ini akan mendukung pergerakan rupiah terhadap dolar AS selama masa yang penuh ketidakpastian di level global," kata Faisal dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (6/1/2022).
Dengan demikian, ia memperkirakan, pergerakan kurs rupiah akan berada di rentang Rp 15.285 per dolar AS pada akhir tahun ini, menguat dibandingkan pergerakan pada akhir 2022 di level Rp 15.568. Sedangkan perkiraan rata-rata pergerakannya di level Rp 15.220, lebih buruk dibanding tahun lalu Rp 14.874.
Nilai tukar rupiah sebetulnya melempem melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada empat hari pertama perdagangan 2023. Aliran modal asing yang masih keluar masuk membuat rupiah sulit menguat, padahal Indonesia menjadi salah satu negara yang diramal perekonomiannya masih tumbuh.
Melansir data Refinitiv, rupiah dalam 4 hari perdagangan melemah 0,26% ke Rp 15.605/US$. Sebagian mata uang utama Asia mampu menguat, ringgit Malaysia misalnya, penguatannya sebesar 0,34%. Baht Thailand menjadi mata uang dengan kinerja paling impresif dengan melesat 1,65%.
Faisal menjelaskan, khusus untuk cadangan devisa sendiri, berpotensi akan terus dalam level yang memadai pada 2023 di tengah kondisi ketidakpastian global karena defisit transaksi berjalan juga masih pada level yang terjaga.
"Kami memperkirakan neraca transaksi berjalan akan berbalik arah menjadi defisit, meski masih manageable di kisaran 1,10% dari PDB 2023 dari sebelumnya surplus 1,05% dari PDB pada 2022," ujar Faisal.
Menurutnya, kondisi ini tidak terlepas dari kinerja ekspor yang masih akan terus tumbuh, meski tidak sekuat pada 2022 karena anjloknya harga-harga komoditas, terutama batu bara, yang dipicu lesunya permintaan global karena naiknya risiko perlambatan ekonomi dunia.
Dari sisi neraca finansial, diperkirakannya juga akan menghadapi beberapa rintangan pada 2023, seperti masih kuatnya potensi aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan Tanah Air.
Ini dipicu meningkatnya ketakutan pelaku pasar keuangan terhadap perlambatan ekonomi global sehingga mereka cenderung beralih ke aset safe-haven. Kemudian juga terjadinya pembukaan kembali ekonomi China, ekonomi terbesar kedua di dunia, yang dapat menarik investor untuk mencari penyeimbangan portofolio di Asia.
Namun, ia menekankan, rencana pemerintah untuk terus melakukan hilirisasi sumber daya alam dapat menarik lebih banyak aliran investasi langsung ke Indonesia. Upaya mempertahankan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE) juga bisa menghambat penempatan aset di luar negeri.
Selain itu, ia juga menilai, meskipun sebagian besar bank sentral utama cenderung mempertahankan suku bunga kebijakan global "higher for longer" untuk menjinakkan inflasi, kenaikan suku bunga akan mencapai puncaknya pada akhir semester I-2023.
"Hal ini dapat membatasi risiko arus keluar portofolio dan memberikan potensi arus masuk di semester II-2023, terutama untuk pasar obligasi," tutur Faisal.
[-]
-
Indeks Dolar Masih Perkasa, Rupiah Bisa ke Atas Rp 15.700/USD
(mij/mij)
Sentimen: negatif (80%)