Menyibak Alasan Ekonomi Rusia Tetap Kokoh Meski Dihujani Banyak Sanksi
CNNindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Rusia mendapat banjir sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan para negara Barat karena tindakan mereka melancarkan perang ke Ukraina.
Sanksi dijatuhkan dalam banyak bentuk, mulai dari pemblokiran impor minyak mentah mereka hingga pembatasan akses keuangan dan pembekuan aset para orang kaya Rusia di bank-bank negara Barat.
Tapi kenapa meski sanksi ekonomi banyak dijatuhkan Negeri Beruang Merah itu masih kokoh dan malah makin gencar melancarkan aksi militer mereka ke Ukraina.
Tidakkah sanksi ini efektif?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan berbagai sanksi ekonomi dari Barat sejatinya tidak terlalu efektif dan berdampak ke perekonomian Rusia.
Karena Rusia seperti Indonesia, punya kekuatan ekonomi domestik yang besar. Maklum saja, Rusia punya jumlah penduduk yang banyak seperti halnya Indonesia.
"Jadi kontribusi GDP-nya dari konsumsi rumah tangga masih tinggi," ungkap Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/5).
Alhasil, pertumbuhan ekonomi Rusia masih berada di kisaran 3,7 persen pada kuartal I 2022. Menurutnya, angkanya tidak turun terlalu drastis dari 4,7 persen sampai akhir 2021.
[-]
"Artinya tidak langsung minus yang besar karena ada konsumsi domestiknya," imbuhnya.
Bahkan, Tauhid memperkirakan kokohnya konsumsi rumah tangga Rusia akan membuat ekonomi mereka masih bisa berada di level positif sampai akhir tahun.
Hal ini berbanding terbalik dari proyeksi para lembaga ekonomi dan keuangan dunia yang memperkirakan perekonomian Rusia bakal terkontraksi sampai akhir tahun.
IMF misalnya, memperkirakan ekonomi Rusia bakal minus 8,5 persen pada tahun ini. Sementara Bank Dunia meramal bakal terkontraksi 11,2 persen.
"Akhir tahun ini justru sepertinya mereka masih bisa tumbuh bagus, perkiraan saya masih positif, karena polanya seperti Indonesia, masih recovery," jelasnya.
Berbeda dengan konsumsi rumah tangga yang masih kuat, Tauhid tak memungkiri bahwa kinerja investasi dan ekspor mungkin terancam turun seiring banjir sanksi dari Barat. Tapi, hal ini dinilainya tak serta merta membuat kedua indikator bakal anjlok.
"Toh negara-negara di Timur Tengah, China, dan Asia itu masih bisa memberi kompensasi atas penurunan investasi dan ekspor dari Barat. Lagipula, sanksi dari Uni Eropa sendiri banyak yang tidak setuju karena ada ketergantungan mereka pada Rusia," terangnya.
Sepakat, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal juga menilai sanksi-sanksi dari Barat seolah kurang efektif menjegal Rusia karena negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu punya kekuatan ekonomi nasional yang besar.
"Sanksinya berkurang efektivitasnya karena Rusia negara yang besar, yang punya sumber daya alam yang bisa dipakai untuk self defense, khususnya yang penting seperti energi, meski inflasinya akan tinggi. Tapi, ada desain strategi dari Rusia untuk hadapi dampak perang ini," jelas Faisal.
Selain itu, menurutnya, Rusia juga cukup tanggap dalam mengantisipasi berbagai sanksi yang datang kepada mereka. Salah satunya dengan rencana penggunaan nilai tukar rubel Rusia sebagai alat pembayaran atas perdagangan mereka ke depan.
Hal ini dilakukan karena AS memblokir berbagai hubungan perdagangan dengan mereka. Begitu juga dengan penggunaan dolar AS atas transaksi keuangan.
"Pembelian dengan rubel dan emas, itu bisa kurangi dampak dari sanksi itu sendiri," tandasnya.
[-]
(agt/agt)Sentimen: negatif (61.5%)