Sentimen
Partai Terkait
Tokoh Terkait
6 Tanggapan Pro Kontra Usai Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja
Liputan6.com Jenis Media: Regional
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati menyebut Perppu Cipta Kerja inkonsisten dengan hasil putusan MK. Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki UU No 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.
"Bukan dengan jalan pintas menerbitkan Perppu," kata Kurniasih dalam keterangannya, Minggu 1 Januari 2023.
Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja cacat formil karena tata cara pembentukan UU tersebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pascapersetujuan bersama DPR dan Presiden.
Ia menegaskan, pembentukan UU Cipta Kerja yang dibahas dengan DPR meski Fraksi PKS tegas menolak dinyatakan cacat formil oleh MK karena prosedurnya bermasalah. Sekarang pemerintah justru mengeluarkan Perppu yang menghilangkan fungsi legislasi DPR sama sekali.
"MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Ini malah membuat Perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR sama sekali," ujar Kurniasih.
Kurniasih mengingatkan, selain pada sisi subtansi, pembentukan UU Cipta Kerja juga bermasalah pada sisi prosesnya. MK juga mempertimbangkan sulitnya draf RUU Cipta Kerja diakses oleh masyarakat dan kerap berubah-ubah.
"Prosesnya bermasalah, subtansinya juga bermasalah. MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan jangka dua tahun harus diperbaiki. Jika tidak maka resmi keseluruhan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional. Ini mengeluarkan Perppu sama sekali tidak memperbaiki baik dari sisi proses maupun subtansi," kata dia.
Kurniasih juga mempertanyakan penerbitan Perppu Cipta Kerja dan menyebut pernerbitannya terkesan mendadak. Ia mengingatkan bahwa penerbitan sebuah Perppu harus pada kondisi kegentingan yang memaksa.
"Kegentingan apa yang sifatnya memaksa sehingga pemerintah harus mengeluarkan Perppu. Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Jika soal capaian Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertum6 ekonomi Indonesia paling tinggi diantara negara G20. Tapi jika jadi alasan penerbitan Perppu seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform," pungkasnya.
Senada, Fraksi PKS DPR menilai kehadiran Perppu tersebut adalah bencana undang-undang karena sangat merugikan rakyat.
"Kehadiran Perppu nomor 2 tahun 2022 ini dapat dikatakan sebagai satu bencana Undang-Undang, karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hirarki perundang-undangan di negeri ini," ucap Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Ledia Hanifa Amaliah dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).
Menurut Ledia, ketika Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2021, dalam keputusannya MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
"Jadi MK secara lugas memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan pada Undang-Undang Cipta Kerja ini dengan tenggat hingga November 2023. Namun, bukannya melaksanakan amanah perintah perbaikan Undang-Undang tersebut bersama DPR, Presiden Jokowi malah menerbitkan produk hukum baru berupa Perppu. Yang diamanahkan apa, yang dikerjakan apa," kata dia.
Langkah Jokowi ini menurut Ledia, menunjukkan betapa pemerintah itu malas, menggampangkan pelanggaran terhadap hirarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR. Terlebih, Pemerintah masih punya waktu satu tahun untuk melaksanakan perintah MK untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja.
"Tetapi yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hirarki perundang-undangan dan melecehkan DPR yang menurut UUD NRI 1945 pasal 20 ayat 1 dan 2 memiliki kuasa membentuk Undang-Undang bersama Presiden," kata dia.
Ledia tidak menafikan bahwa Presiden memiliki hak prerogeratif menerbitkan Perppu. Namun, syarat kehadiran Perppu No 2 Tahun 2022 ini tidak kuat dan terlalu dipaksakan.
Ia mengingatkan, satu syarat kehadiran Perppu adalah kegentingan yang memaksa dan ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa.
"Mana situasi genting yang kita hadapi? Mana ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa? Yang ada justru keputusan pemaksaan dari Presiden yang mencederai kehidupan demokratis," ungkapnya.
Alasan kegentingan pemerintah yakni ancaman resesi global, peningkatan inflasi, hingga ancaman stagflasi yang bahkan dikaitkan pula dengan perang Rusia-Ukraina menurut Ledia terlalu berlebihan.
"Pemerintah sendiri yang mengingatkan kita betapa Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positif, 5 persen. Sehingga penerbitan Perppu ini sekali lagi tidak memiliki cukup kuat alasan kecuali sekedar memuaskan kemauan para pengusaha," terang Ledia.
Oleh karena itu, Ledia mendorong DPR menolak Perppu ini dan meminta pemerintah taat pada perintah MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
"Buka partisipasi publik, dengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan, duduk bersama DPR membahas Undang-Undang demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara," pungkasnya.
Sentimen: negatif (100%)