Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Tangerang, Mataram, Lombok
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Kisah Lirih dari Bandara, Pilot Senior yang Tak Dapat Berkah Lebaran
CNNindonesia.com Jenis Media: Ekonomi
Harga tiket pesawat yang mahal dan lonjakan penumpang di 50 bandara jelang mudik Lebaran tak menetes kepada semua pekerja industri penerbangan.
Setidaknya, itu yang dirasakan Kapten Hanafi Herlim (63). Ia dipaksa pensiun ketika maskapai tempatnya bekerja memangkas semua pilot berusia di atas 60 tahun.
Padahal, Kapten Hanafi sudah menjelajahi angkasa selama 42 tahun. Di usianya pun, dia menilai, masih cakap menerbangkan pesawat. "Saya masih ada waktu untuk terbang lagi sampai usia maksimum 65 tahun, namun karena pandemi Covid-19, kontrak dipersingkat," ujarnya lirih saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Tapi, ia pasrah. Ia tak bisa protes, mengingat maskapai tempatnya bekerja mengurangi jumlah armada yang terbang. "Pesawatnya berkurang jadi alasan untuk mempensiunkan kami yang di atas 60 tahun," lanjutnya.
Ironisnya, Kapten Hanafi pensiun pada pertengahan April 2022, saat industri penerbangan beranjak bangkit dari keterpurukan. Juga, jelang hiruk pikuk mudik di akhir bulan. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan periode dua tahun sebelumnya ketika pemerintah membatasi mobilitas masyarakat.
"Ya, masih sempat merasakan terbang dengan penumpang pesawat ramai saat industri bangkit. Ramai sekali. Apalagi sekarang, mau Lebaran kan, masuk peak season (musim puncak). Orang pada mau pulang kampung," ungkap dia.
Sekadar mengingatkan, lonjakan penumpang dan frekuensi penerbangan memang meningkat, terutama setelah pemerintah mencabut aturan wajib PCR dan antigen bagi mereka yang sudah mendapatkan vaksin. "Hampir selalu full (penuh) kapasitasnya," katanya.
Jauh sebelum itu, Kapten Hanafi menceritakan pengalamannya terbang dengan hanya 4-6 penumpang. "Itu waktu lagi parah-parahnya pandemi," kenangnya.
Ketika itu, jam terbangnya terpangkas jauh dari 110 jam per bulan pra pandemi menjadi hanya 40-50 jam per bulan. Dampaknya, pendapatan Kapten Hanafi menjadi berkurang. "Berkurang banyak," keluhnya.
Kapten Monika Anggraeni punya cerita berbeda. Mirip. Tapi, masih jauh lebih beruntung dari Kapten Hanafi. Ia sempat tidak terbang beberapa bulan karena penumpang mengunci diri di rumah masing-masing.
Kalau pun terbang, ia hanya mencatat 1-2 kali penerbangan. Tak seperti Kapten Hanafi yang masih menjalani jam terbang 40-50 jam per bulan. Walhasil, pendapatannya tergerus hingga 70 persen.
"Pendapatan kami dipotong sejak awal pandemi. Sekarang pun masih segitu, 70 persen dari pendapatan masih dipotong," bebernya.
Padahal, kini, Kapten Monika sudah kembali ke kokpit dan mulai menerbangkan penumpang. Penerbangan pun mulai agak ramai. Sayangnya, uang yang dibawanya pulang tidak kunjung membaik.
Pun begitu, Kapten Monika tak mau mengeluh. Toh, ia masih bisa mencari pendapatan sampingan sembari melakoni hobinya berakting dalam film pendek produksi lokal. "Kalau beralih profesi sepenuhnya sih enggak ya, mungkin enggak dalam waktu dekat," imbuh dia.
Lain Kapten Hanafi dan Kapten Monika, lain pula pengalaman eks pramugrari Qorry Natawijaya (30). Dia berhenti mondar-mandir di bandara dan melayani penumpang pada November 2020, tepat ketika pandemi di dalam negeri sedang parah-parahnya. Sebelum diberhentikan, Qorry sempat dirumahkan.
Kini, ia kembali menginjak bandara. Bukan sebagai pramugari, melainkan sebagai pengusaha makanan khas Lombok, nasi balap. Dia menyewa kios kecil bernama RM Mataram Nasi Balap Puyung Khas Lombok yang terletak di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang.
Ide berdagang kuliner ini sudah dipendamnya sejak ia masih bekerja sebagai pramugari. Tapi, keseriusannya muncul saat ia dirumahkan. "Saya lama terjun ke bisnis, berkali-kali gagal. Ada lebih dari 10 usaha saya coba, terakhir ini, nasi balap puyung," ungkapnya.
Qorry menuturkan berhenti bekerja sebagai pramugari membawa berkat bagi bisnis nasi balap puyungnya. Apalagi, nasi balap puyung lahir dan berkembang saat rumah makan di sekitarnya gulung tikar. "Ini yang ngebantu untuk bertahan di masa pandemi," tutur dia.
Ketika ditanya keinginannya untuk kembali masuk ke 'burung besi', Qorry menjawab dengan malas. "Mau fokus sama bisnis. Takutnya, kalau ambil reguler (pekerjaan) jadi capek. Bisnis nanti enggak kepegang," terang dia.
Di antara pekerja industri penerbangan di atas, bahagia terselip untuk Ari Bagastara (25) yang melakoni pekerjaan sebagai porter bandara. Dia berdecak kagum dengan lonjakan penumpang yang membanjiri terminal bandara setelah dua tahun kosong melompong.
Saking ramainya penumpang yang dilayani bandara, perusahaan tempat Bagas bekerja pun memutuskan menambah jumlah porter yang bertugas dari awalnya 7 orang untuk satu shift kerja, kini 25 orang. "Ramai banget. Porternya jadi ditambah," jelasnya dengan nada suara girang.
Bagas boleh jadi porter yang beruntung. Ketika beberapa porter dirumahkan karena bandara kehilangan banyak penumpang, ia masih diminta bekerja dalam kondisi sepi. "Teman-teman dirumahkan. Sedangkan saya masih bekerja, tapi dipindahkan ke unit lain," ceritanya.
Tapi keberuntungan Bagas tidak bulat. Pendapatannya ikut tergerus. Ia hanya menerima 75 persen dari gaji yang biasa dikantonginya. Itu pun sudah termasuk bansos yang diterimanya dari pemerintah.
[-]
(tdh/bir)[-]
Sentimen: positif (80%)