Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Batang
Tokoh Terkait
Rokok Eceran Dilarang, Asosiasi: Matikan 25 Juta Pedagang Kaki Lima
Republika.co.id Jenis Media: Ekonomi
Larangan rokok eceran ini bakal menggerus pendapatan pedagang kaki lima.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (Apkli) menilai wacana pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran ditolak para pedagang kaki lima. Di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi dan kenaikan harga rokok 2023 akan mematikan usaha pedagang kaki lima.
Ketua Umum Apkli Ali Mahsun mengatakan selama ini penjualan rokok secara eceran merupakan salah satu penopang utama pendapatan para pedagang kaki lima. Oleh karenanya, wacana pelarangan ini bakal menggerus pendapatan pedagang kaki lima secara signifikan.
“Dampak kebijakan ini akan sangat signifikan mengurangi pendapatan, karena pedagang kaki lima biasanya memang membeli per bungkus di warung dengan harga normal. Misalnya satu bungkus mereka beli Rp 23 ribu, kemudian dia jual eceran 2-3 batang senilai Rp 5 ribu. Kalau kemudian penjualan eceran dilarang, pasti keuntungan akan anjlok,” ujarnya, Rabu (28/12/2022).
Menurutnya di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi, wacana ini memberatkan dan tidak adil bagi para pedagang kaki lima. Dari sisi lain, harga rokok juga dipastikan akan meningkat pasca keputusan kenaikan cukai.
Apalagi jumlah pedagang kaki lima di Indonesia tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat, pekerja informal yang mencakup pedagang kaki lima ada sebanyak 78,14 juta orang. Sementara jumlah pedagang kaki lima diperkirakan lebih dari 25 juta orang.
Selain mengurangi pendapatan pedagang kaki lima, Ali menyebut wacana kebijakan ini juga bakal menambah beban konsumen perokok dewasa. Sebab mayoritas pembeli rokok batangan merupakan masyarakat kelas menengah bawah yang kondisi keuangannya terbatas atau terbiasa mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang sedikit.
“Makanya kami juga sedang mempersiapkan untuk mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi dapat kembali meninjau wacana kebijakan ini,” ucapnya.
Alih-alih mewacanakan larangan penjualan rokok batangan, Ali menyarankan pemerintah untuk menegakkan regulasi yang sudah ada agar kondisi ekonomi tetap terjaga stabil. Terkait konsideran wacana kebijakan ini untuk mengurangi jumlah perokok anak di bawah umur. Sebab, dia bilang anggota Apkli juga telah diimbau tidak menjual rokok kepada anak di bawah umur.
“Kalau penjualan kepada anak di bawah umur, itu sudah ada aturannya yang memang dilarang. Semua masyarakat dan pemerintah perlu untuk mendorongnya. Oleh karenanya, aturan itu memang perlu dipertegas, dan dijalankan lebih baik di lapangan pengawasannya,” ucapnya.
Wacana kebijakan larangan penjualan rokok batangan mengemuka setelah Presiden Jokowi meneken Keputusan Presiden 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Dalam beleid tersebut dijelaskan, PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan diusulkan untuk direvisi dengan mencantumkan poin larangan penjualan rokok batangan. Adapun usulan revisi tersebut disinyalir merupakan kepentingan yang didorong oleh kelompok-kelompok anti tembakau asing.
Sementara Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan pun sepakat wacana kebijakan ini perlu ditinjau kembali. Dia menilai melarang penjualan rokok batangan cenderung tidak efektif untuk mengurangi peredaran rokok.
Dia turut menekankan ihwal pengawasan yang akan sulit dilakukan mengingat banyaknya jumlah pedagang kaki lima maupun warung-warung kecil yang lumrah menjual rokok batangan. “Pengawasan di lapangan juga tidak akan efektif karena jumlah warung atau pedagang kaki lima itu tidak sedikit. Lantas bagaimana cara mengawasinya?” ucapnya.
Menurutnya implementasi kebijakan ini juga akan memicu masalah lain, misalnya peredaran rokok ilegal yang berpotensi turut menggerus pendapatan negara. Oleh karenanya, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut secara matang terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengimplementasi kebijakan ini.
Sentimen: negatif (100%)