Bikin SIM Harus Tes Psikologi Diragukan Ciptakan Keselamatan
CNNindonesia.com Jenis Media: Otomotif
Jakarta, CNN Indonesia -- Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu meragukan keberhasilan bikin SIM harus tes psikologi bisa membuat setiap pengendara mobil dan motor mampu berperilaku baik di jalan.
Menurutnya sikap pengemudi yang baik bisa saja hanya muncul saat pembuat SIM menghadapi tes psikologi yang diikuti tes praktek mengemudi sebagai sejumlah persyaratan yang harus dilewati.
Namun setelah memiliki SIM, pola perilaku pengemudi 'urakan' kembali muncul. Perilaku mengemudinya disebut berubah drastis 360 dejarat yang justru membahayakan pengguna jalan lain, berbeda ketika menghadapi uji pembuatan SIM.
"Kalau mau lihat jawabannya bagaimana ketertiban pengemudi di jalan raya saat ini (sopir angkutan umum). Itu adalah jawaban yang nyata," kata Jusri ketika dihubungi CNNIndonesia.com.
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya memutuskan untuk memasukan tes psikologi dalam pembuatan surat izin mengemudi (SIM). Syarat tes psikologi tersebut akan mulai diberlakukan mulai 25 Juni mendatang.
Kasi SIM Polda Metro Jaya Kompol Fahri Siregar mengatakan tes psikologi ini pertama kali berlaku untuk semua jenis seperti SIM A, SIM B1, SIM B2, SIM C dan SIM D.
Sebelumnya, tes psikologi hanya berlaku untuk calon pemegang SIM umum, yakni bagi pengemudi kendaraan umum seperti pengemudi angkutan kota atau angkutan dengan plat kuning.
Dalam kasus ini, Jusri malah meragukan efektivitas bikin SIM diikuti tes psikologi bisa mengubah gaya setiap pengemudi menjadi lebih tertib. Dijelaskan Jusri jangan sampai menjalani tes psikologis hanya sekadar sebagai syarat pelengkap permohonan selain tes kesehatan.
Jusri memaparkan, ada metode yang menurutnya dianggap paling benar, yaitu 'menjebak' si pemohon SIM saat menjalani praktek mengemudi di jalan raya.
Istilah 'menjebak' yang dimaksud adalah membuat rekayasa sedemikian rapih atau situasi genting berkendara yang tidak disadari oleh pemohon. Dan ini persyaratan akhir yang wajib diikuti oleh setiap pembuat SIM.
"Misal assessor (petugas berlisensi duduk sebagai penumpang), merakayasa situasi dan kondisi yang terburu-buru di tes praktek nyetir. Dalam situasi itu, assessor menyarankan pemohon lewat bahu jalan tol, atau situasi lainnya misal melanggar lampu merah. Nah di sana mental pemohon SIM terlihat apa dia pantas menerima SIM atau tidak," ucap Jusri.
Tes praktek seperti itu sebelumnya dikatakan Jusri pernah berlaku di Indonesia pada 1970-an, dan terbukti berhasil meluluskan pengemudi berperilaku baik di jalan. Di sejumlah negara maju justru terus menerapkan metode 'menjebak' tersebut sebagai persyaratan pembuatan SIM.
"Ini telah dilakukan pada tahun 1970-an dan terbukti efektif untuk mengetahui perilaku pengemudi sebenarnya. Perlu diketahui metode ini dilakukan di banyak negara, di Indnesia (saat ini hanya) di perusahaan multinasional," tutup Jusri. (mik/mik)
Sentimen: negatif (97%)