Sentimen
Negatif (94%)
20 Nov 2022 : 10.55

BPJS Watch: UMP 2023 Berpotensi Cacat Hukum, Daya Beli Buruh Bisa Tergerus

Kumparan.com Kumparan.com Jenis Media: News

20 Nov 2022 : 10.55
BPJS Watch: UMP 2023 Berpotensi Cacat Hukum, Daya Beli Buruh Bisa Tergerus
BPJS Watch: UMP 2023 Berpotensi Cacat Hukum, Daya Beli Buruh Bisa Tergerus
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah resmi menetapkan formula perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 maksimal 10 persen melalui aturan Permenaker No. 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023.

Adapun peraturan tersebut menerapkan formula baru yang berbeda dengan formula UMP dua tahun terakhir berdasarkan PP No 36 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan Omnibus Law UU Cipta Kerja atau (Ciptaker).

Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai bahwa penetapan UMP 2023 dengan peraturan baru tersebut berpotensi cacat secara yuridis, lantaran melanggar penetapan upah minimum melalui PP No 36 Tahun 2021.

“Secara yuridis, formula dalam Permenaker ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 PP 36 tahun 2021. Oleh karenanya Permenaker ini seharusnya tidak bisa dijalankan,” ujarnya saat dihubungi kumparan, Minggu (20/11).

Timboel menjelaskan, rumus yang ditetapkan dalam Pasal 6 Permenaker No 18 Tahun 2022 memang lebih baik dari rumus di Pasal 26 PP No 36 Tahun 2021, karena paling tidak, dengan rumus baru ini kenaikan UMP 2023 di atas inflasi yang terjadi di 2022.

"Namun upah minimum di 2023 akan dihadapkan dengan inflasi 2023, sehingga Permenaker No 18 ini belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun di 2023," jelasnya.

BPJS Watch: UMP 2023 Berpotensi Cacat Hukum, Daya Beli Buruh Bisa Tergerus (1)
Buruh membawa kembang api asap saat berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO

Hal tersebut bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Formula ini berpotensi menyebabkan kenaikan UMP 2023 tidak otomatis lebih tinggi dari inflasi 2023.

Menurut dia, rumus formula ini mirip PP No 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Namun dalam rumus baru ada faktor alfa yang nilainya dalam rentang 0.10 sampai 0.30, kendati tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa tersebut.

Dengan demikian, Timboel pun mempertanyakan pembatasan faktor alfa yang ditetapkan dalam aturan baru tersebut, di mana dalam PP No 78 Tahun 2015 rentang nilai alfa antara 0.5 hingga 1.

Permenaker No 18/2022 Cacat Secara Yuridis

Selain itu, dia juga mempermasalahkan Permenaker ini hanya akan mengatur UMP 2023, sehingga kemungkinan untuk tahun berikutnya akan kembali ke formula yang diatur di Pasal 26 PP 36 tahun 2021.

"Permenaker 18/2022 tidak memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundangan yang diatur di UU 13/2022 junto UU no. 12/2011. Permenaker ini tidak didiskusikan di LKS Tripartit Nasional, dan tidak ada argumentasi terkait aspek yuridis, sosiologis, dan filosofisnya," tegas Timboel.

Dia menjelaskan, hierarki peraturan perundang-undangan sudah jelas diatur di Pasal 7 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011, yang menyatakan kekuatan hukum peraturan perundangan sesuai dengan hierarkinya sehingga isi Permenaker tidak boleh bertentangan dengan PP.

Selain itu, tambah dia, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 91 Tahun 2020 yang menyatakan pemerintah tidak boleh membuat keputusan atau regulasi turunan UU Ciptaker karena masih dalam status inkonstitusional bersyarat.

"Ini artinya Permenaker No 18 yang hadir mengatur tentang UM sudah melanggar putusan MK tersebut. Putusan MK mengamanatkan agar isi UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya dinegosiasi kembali," tuturnya.

Timboel pun menyarankan agar pemerintah sebaiknya memperbaiki PP No 36 tahun 2021 saja, dan hal ini akan berlaku untuk kenaikan UMP di tahun-tahun berikutnya, tidak hanya di 2023.

"Saya berharap kenaikan UM di PP 36 benar benar diperbaiki daripada membuat Permenaker yang cacat secara yuridis, karena melanggar kaidah hierarki peraturan perundang undangan, dan tidak menjawab aspek sosiologis dan filosofis," pungkasnya.

Sentimen: negatif (94.1%)