Resesi Mengintai, BI Pede Ekonomi Kuartal III 2022 Tumbuh di Atas 5,5 Persen
Liputan6.com Jenis Media: Ekonomi
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ancaman resesi semakin berpotensi. Awan gelap ekonomi diperkirakan akan melanda seluruh dunia pada tahun 2023 mendatang. Pasalnya, risiko krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 telah bergeser menjadi gejolak ekonomi global.
Banyak faktor yang memicu awan gelap ekonomi di tahun depan, mulai dari konflik geopolitik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina yang semakin memanas. Konflik tersebut berimbas pada konstelasi ekonomi dunia menjadi volatile.
Selain itu, terjadinya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga di sejumlah negara yang turut menyebabkan volatilitas pasar keuangan global, capital outflow, pelemahan nilai tukar, hingga lonjakan utang negara.
"Belum lagi ditambah dengan potensi krisis utang global dan potensi terjadinya stagflasi. Pelemahan ekonomi global disertai inflasi tinggi merupakan kombinasi yang sangat berbahaya dan rumit secara kebijakan ekonomi,” jelas Suahasil Nazara saat menjadi keynote speech pada The Indonesia 2023 Summit dengan tema Rebuild The Economy 2023, Kamis (27/10/2022).
Walaupun dengan berbagai tantangan global, perekonomian Indonesia masih dikatakan aman. Hal tersebut disampaikan Suahasil Nazara, Indonesia harus optimis karena data tingkat konsumsi, produksi dan investasi terakhir yang cukup bagus menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih cukup kuat.
Ia pun memaparkan bahwa PMI Manufaktur Indonesia dalam tren naik, sehingga dunia usaha sedang siap-siap untuk memproduksi dan kebutuhan listrik juga bergerak sejak pertengahan tahun lalu. Selain itu, neraca perdagangan surplus 29 bulan berturut-turut ditopang oleh kenaikan harga komoditas.
"Dari konteks tersebut, kita sudah punya dasar. Pelaku usaha harus memanfaatkan momentum perbaikan tersebut tapi harus waspada karena resiko ketidakpastian masih sangat tinggi," katanya.
"The Fed rate masih akan naik dan itu tentu jadi tekanan ke seluruh dunia karena dollar akan naik," tambah Suahasil.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan memiliki dua kebijakan utama dalam menghadapi gejolak ekonomi global. Pertama berkaitan dengan perdagangan dalam negeri, khususnya dalam rangka stabilisasi harga pangan dan ketersediaan pangan. Kedua terkait dengan digitalisasi ekonomi.
"Di tahun 2021, kita sudah dihadapkan dengan yang namanya super cycle commodity, yang harganya cukup tinggi. Lalu, ditambah impact dari perang Rusia-Ukraina. Sehingga ini memicu inflasi global," jelas Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri.
Ia pun mengungkapkan akan mencermati penuh negara yang akan menjadi tujuan ekspor utama, seperti China dan Uni Eropa.
"Uni Eropa pasar yang memberikan kita peluang, di mana sektor energi dibutuhkan. Karena dampak perang Rusia-Ukraina, harga komoditi energi cenderung mahal, jadi itu peluang buat Indonesia," tutur Muhri.
Selain itu, terkait dengan ekonomi digital, tren semakin meningkat pesat. Kebijakan terkait dengan ekonomi digital, salah satunya e-commerce ke depan pergerakan akan lebih cepat daripada regulator.
"Kami harus menjalankan kebijakan yang tidak menghambat perkembangan ekonomi digital atau tidak menjadi constraint," katanya.
Sentimen: negatif (100%)