Sentimen
13 Okt 2024 : 07.17
Informasi Tambahan
Institusi: UGM, ICJR
Kab/Kota: Palembang
Kasus: pembunuhan, penganiayaan, mayat
8 Menyoal Kecanduan Pornografi di Balik Kasus 4 Anak Perkosa dan Bunuh Siswi SMP di Palembang Regional
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
13 Okt 2024 : 07.17
Menyoal Kecanduan Pornografi di Balik Kasus 4 Anak Perkosa dan Bunuh Siswi SMP di Palembang
Editor
KOMPAS.com
- Seorang anak berhadapan dengan hukum berinisial IS (16 tahun) yang diduga menjadi otak pelaku pembunuhan dan pemerkosaan AA (13 tahun)—gadis SMP di
Palembang
, Sumatera Selatan—divonis 10 tahun hukuman penjara.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap IS hukuman pidana penjara selama 10 tahun," kata Ketua Majelis Hakim, Eduward di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (10/10).
IS juga diwajibkan mengikuti pelatihan kerja selama satu tahun di Dinas Sosial Kota Palembang.
Majelis hakim menilai IS terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 Ayat 5 Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Adapun tiga anak lainnya, MZ (13), NZ (12) dan AS (12)—yang dikategorikan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)—juga divonis terbukti bersalah.
Hakim memerintahkan tiga anak ini mengikuti pendidikan selama satu tahun di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Kuasa hukum IS, Hermawan, menyatakan pikir-pikir atas vonis tersebut.
"Kita menyatakan akan pikir-pikir dulu," kata Hermawan di ruangan sidang.
Sebelumnya, keluarga korban AA yang diduga diperkosa dan dibunuh oleh empat anak di Palembang, Sumatra Selatan, menginginkan para pelaku dihukum setimpal dengan perbuatan mereka.
S, ayah korban, mengaku tak terima jika pelaku hanya direhabilitasi padahal tindakan mereka telah merenggut nyawa sang anak.
"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat?" ujar S.
Kepolisian Sumatra Selatan sebelumnya menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya. Pasalnya para pelaku disebut kecanduan konten
pornografi
.
Komisioner KPAI, Dian Sasmita, mengatakan tiga pelaku berusia anak yang dititipkan di panti sosial menyadari perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) telah menyerukan bahwa penegakkan hukum kasus ini harus dengan hati-hati, dan tidak semata-mata merespon dengan pembalasan, yang justru akan meneruskan siklus kekerasan.
"Anak berkonflik dengan hukum tidak dapat dijatuhkan pidana mati atau seumur hidup. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf f UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) yang mengatur bahwa anak berhak untuk tidak dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup," ujar peneliti ICJR, Adhigama Andre Budiman dalam keterangan tertulis yang diterima
BBC News Indonesia
, Kamis (10/10).
Selain itu, pasal 81 Ayat (6) UU SPPA juga secara jelas menyatakan jika anak berkonflik dengan hukum yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pidana penjara sekalipun hanya dapat diberlakukan sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dijatuhi pidana mati.
"Menuntut pidana mati pada anak merupakan pelanggaran UU," tegas Adhigama.
Peristiwa pemerkosaan yang disertai pembunuhan terhadap siswi SMP berinsial AA (13 tahun) terjadi pada Minggu (01/09).
Gadis penjual balon itu ditemukan tak bernyawa di areal Tempat Pemakaman Umum, Talang Kerikil, Palembang, Sumatra Selatan.
Kejadian penemuan jasad remaja tersebut mengejutkan warga sekitar, bahkan sempat viral di media sosial. Foto-foto yang beredar secara online memperlihatkan AA tergeletak dan mengenakan jersey klub sepak bola.
Ibu korban, W berkata mendapatkan kabar tentang kematian anaknya dari keponakannya yang menyatakan AA ditemukan sudah meninggal di areal pemakaman.
"Dapat kabar itu saya langsung ke kuburan Cina. Saya lihat sudah ramai polisi dan anak saya langsung dibawa ke RS Bhayangkara," ungkap dia.
Perempuan paruh baya ini bahkan masih tak percaya sang anak telah tiada. Karena satu jam sebelum ditemukan meninggal, ia sempat ngobrol dengan AA.
Berdasarkan penyelidikan kepolisian, mayat AA ditemukan warga pada hari Minggu itu sekitar pukul 13.00 WIB.
Hasil otopsi menunjukkan korban mati lemas karena kekurangan oksigen. Ditemukan luka akibat benda tumpul di leher korban.
Kapolrestabes Palembang, Harryo Sugihhartono, menjelaskan bahwa kasus tersebut bermula dari perkenalan AA dengan IS (16 tahun).
Keduanya dikenalkan oleh seorang teman berinisial M. Setelahnya, perkenalan mereka berlanjut dan sering berkomunikasi melalui aplikasi perpesanan di Facebook.
Petaka dimulai saat IS mengajak AA menonton kesenian tradisional kuda lumping yang berada di kawasan Jalan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning, pada Minggu siang.
Usai berjumpa, IS lantas mengajak AA jalan-jalan di krematorium dengan diikuti oleh tiga orang lain yakni MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun).
Ketika sampai di TPU Talang Kerikil, IS disebut polisi membujuk AA untuk melakukan hubungan seksual, akan tetapi ditolak oleh korban.
Lalu AA dibekap oleh IS dan tubuh AA dipegangi oleh ketiga rekan IS tersebut. AA yang tak bisa bernapas akhirnya meninggal, kata polisi.
Namun, IS dan teman-temannya mengira korban dalam kondisi pingsan.
"Menurut pengakuan pelaku, mereka mengira korban pingsan, dalam keadaan meninggal korban diperkosa oleh IS diikuti oleh tiga pelaku lainnya," ujar Kapolrestabes Palembang, Harryo Sugihhartono.
Setelahnya, keempat pelaku membopong jasad korban ke kuburan yang berjarak 30 menit dengan berjalan kaki. Itu dilakukan agar aksi mereka tidak diketahui orang lain.
Di tempat kedua, sambung polisi, tubuh AA yang sudah meninggal kembali diperkosa untuk kedua kalinya oleh pelaku secara bergantian.
Mereka bahkan menceritakan perbuatan itu kepada teman-temannya yang lain.
"Cerita tersebut menjadi awal kami mendapatkan keterangan dari saksi sehingga dapat mengungkap peran para pelaku," tutur Harryo.
Berselang dua hari kemudian, polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka: IS (16 tahun), MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun).
Dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku, polisi menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya. Pasalnya para pelaku disebut polisi kecanduan konten pornografi.
Hal itu diketahui berdasarkan bukti temuan video-video bermuatan pornografi di ponsel milik IS.
"Kami telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaku yang dipandu oleh psikolog Biro SDM Polda Sulsel. Motifnya adalah menyalurkan nafsu," ucap Harryo.
Para pelaku, kata polisi, dikenakan pasal 76C dan pasal 80 ayat 3 UU yakni penganiayaan dan pencabulan sesuai UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Namun demikian karena tiga di antara pelaku masih berusia anak, maka MZ, NS, dan AS dititipkan di panti sosial rehabilitasi anak bermasalah hukum (PSR ABH) Indralaya. Adapun IS mendekam di rutan Polrestabes Palembang.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatra Selatan, Sunarto, mengatakan kendati masih berusia anak proses hukum ketiganya tidak akan dikesampingkan. Hanya saja hukuman yang dikenakan bukan pemidanaan.
Merujuk pasal 69 UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, maka anak yang berhadapan dengan hukum akan dikenai tindakan berupa pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, atau perawatan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), serta kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah/badan swasta.
Sebab, katanya, meskipun tiga di antara pelaku masih berusia anak, tapi perbuatan mereka mengakibatkan putri kesayangannya meninggal.
"Sebagai orangtua AA, jika anak itu [tiga orang pelaku] direhabilitasi saja, enak bener. Karena ini menyangkut nyawa, masak harus dibebaskan tanpa syarat? Mereka memang di bawah umur, tapi pikirannya sudah dewasa," ucapnya kepada wartawan Nefri Inge di Palembang yang melaporkan untuk
BBC News Indonesia.
Baginya perbuatan para pelaku sudah tidak manusiawi.
Apalagi, sambungnya, orang tua pelaku hingga sekarang tidak ada itikad baik untuk bertanggung jawab atau meminta maaf kepada keluarganya.
Jika orang tua pelaku menyambanginya dan meminta maaf, Safarudin kemungkinan akan menerima dengan tangan terbuka serta memberi maaf kepada pembunuh anaknya.
"Seandainya orangtua pelaku, terutama otak pelaku itu [IS] meminta maaf, saya masih pertimbangkan menerima para pelaku [direhabilitasi]."
"Saya maafkan, ada cara kekeluargaan, karena Tuhan saja Maha pengampun ke umat-Nya. Kita siap menerima siapa pun. Kalau orang tuanya takut, bisa minta dampingi RT, camat atau lainnya. Tapi kalau begini, apa maksud orang tua pelaku. Apalagi mau direhab, saya benar-benar tidak terima."
Pria paruh baya ini berkata masih sangat terpukul dengan kematian sang anak. Kendati demikian, ia akan mengikuti proses hukum yang berjalan.
"Saya ikuti hukum, karena saya ini orang bodoh, tidak tahu bagaimana hukum itu. Saya minta tolong benar ke kepolisian, bagaimana jalan keluarnya ini. Kami meminta hukuman yang adil saja."
Korban AA, kenang S sebagai anak yang baik dan sopan.
Ia mengenang permintaan terakhir anaknya yang minta dibelikan ponsel untuk menunjang aktivitas sekolahnya.
Tapi karena S tidak punya uang, AA kemudian berinisiatif mencari uang tambahan dengan berjualan balon. Upah dari jualan itu ditabung AA.
"Dia minta nanti saya tambahin uangnya untuk beli ponsel. Sudah jualan dan upahnya juga sudah ditabungnya sedikit demi sedikit. Tapi ada musibah ini, hancur semua harapan saya. Tidak bisa lagi ngungkapin bagaimana sakitnya," ujarnya.
Ia pun bisa memaklumi jika keluarga AA menuntut hukuman yang setimpal atas kematian korban.
Dalam kasus ini KPAI, katanya, bertugas mengawasi proses hukum yang berjalan demi memastikan hak-hak korban maupun anak yang berhadapan dengan hukum dipenuhi.
Untuk itu, pada pekan lalu KPAI menemui tiga anak pelaku: MZ, NS, dan AS.
Dalam pertemuan singkat itu, mereka mengakui pernah mengonsumsi tayangan pornografi. Namun apakah tingkatannya sudah masuk kategori kecanduan, Dian bilang harus ada telaah lebih lanjut dari ahli.
"Makanya kami belum berani menyatakan apakah mereka kencanduan atau tidak," ucap Dian kepada
BBC News Indonesia
.
Secara fisik, sambung Dian, ketiganya tampak sehat. Kendati menunjukkan ada kondisi tekanan psikis.
Ketiganya, kata dia, menyadari bahwa perbuatan mereka salah dan beberapa kali mereka menangis sebagai bentuk penyesalan.
"Dari respon mereka, ya ini berat... mereka tahu setiap kesalahan harus siap dengan konsekuensi yang ada."
Psikologi forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengatakan secara umum anak-anak usia dini hingga usia sekolah memiliki kekhasan dalam hal meniru.
Mereka, katanya, akan memproduksi apa yang dilihat.
"Misalnya anak-anak melihat orang memukul tapi ekspresinya senyum, maka dipikirannya bahwa memukul itu bikin senang," ujar Lucia Peppy kepada BBC News Indonesia.
"Tapi karena kemampuan diri mereka dalam mengontrol emosi, moral, dan sosial belum sempurna jadinya tidak bisa bernalar dengan baik."
Akibat dari kemampuan bernalar yang belum sepenuhnya sempurna itu, kata Lucia, menyebabkan mereka tak bisa menentukan mana yang benar dan salah.
Dalam kasus yang terjadi di Palembang, dia menduga ada beberapa faktor yang mendorong para pelaku anak ini melakukan tindakan pemerkosaan sampai pembunuhan.
Pertama, ada kemungkinan dari sering menonton video atau konten-konten berbau seksual.
Semakin sering seseorang terpapar konten-konten pornografi, maka daya dorong untuk melakukannya di dunia nyata akan semakin besar, kata Lucia.
Namun begitu, kecanduan konten pornografi saja tidak cukup menjadi alasan yang mendorong seseorang bakal melakukan tindakan pemerkosaan.
Ada kontribusi pengasuhan orang tua dan lingkungan yang disebutnya tidak berperan sebagai kontrol sosial dan memberikan pengetahuan soal pendidikan seksual.
"Anak yang berhadapan dengan hukum ini kan sebetulnya korban juga, tapi mereka melakukan perbuatan yang salah. Kesalahan ini terjadi karena anak tidak mendapatkan pengasuhan dan ruang pertumbuhan yang layak."
"Jadi ada tanggung jawab orang di sekitar yang sampai membuat mereka terpapar [konten pornografi]."
Faktor lainnya yang juga menentukan adalah pertemanan dan karakter anak tersebut apakah termasuk yang eksploratif atau tidak.
"Ada orang yang nonton berkali-kali, tapi enggak berani melakukan. Tapi ada orang yang cuma sekali, tapi karena karakternya eksploratif, akan langsung mempraktekkan."
"Kemudian pertemanan, kalau dia berkumpul sama anak-anak yang ibadahnya kuat misalnya, maka akan ada rem untuk berbuat negatif."
"Jadi penyebabnya tidak pernah tunggal, tapi kompleks sekali."
Bagi remaja apalagi yang sudah pubertas, maka dorongan melakukan aktivitas seksual dini sangat mungkin terjadi, sambungnya.
"Kayak menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan atau bicaranya jadi cabul."
"Jadi dunianya terbatas pada seksual saja."
Dokter spesialis kejiwaan, Evline Gunawan, juga membeberkan dampak kecanduan konten pornografi di antaranya hilangnya impuls kontrol.
"Mereka makin banyak melakukan tindakan-tindakan impulsif dalam hal seksualitas," ujarnya.
Kemudian muncul masalah dalam hal belajar, relasi sosial, dan produktivitas. Itu mengapa menurut dia, pengawasan oleh orang tua terhadap anak-anak harus diperketat.
Ia menyarankan kepada para orang tua agar lebih sering mengajak anak mereka bicara dan bertanya tentang apa-apa saja yang dikonsumsi dari gawai mereka.
Jika dirasa konten tersebut berbahaya, maka bisa diberi pemahaman tentang apa dampak dari tontonan tersebut. Intinya, kata dia, mengajari anak tersebut tentang apa konsekuensi jika meniru konten itu.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)