Sentimen
Negatif (100%)
4 Okt 2024 : 19.20
Tokoh Terkait

Badai Matahari Terkuat Menerjang Bumi, Ini Dampaknya ke RI

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: Tekno

4 Okt 2024 : 19.20

Jakarta, CNBC Indonesia - Badai Matahari terkuat terjadi di awal Oktober 2024 dan memiliki dampak ke Bumi. Menurut laporan NASA, puncak suar Matahari yang disebut X9.05 tersebut terjadi pada 3 Oktober 2024 pukul 08.10 pagi EDT atau pukul 19.18 WIB.

Dampaknya terasa di beberapa wilayah di Bumi. Fenomena ini dikatakan memicu pemadaman radio gelombang pendek di Afrika dan Eropa, yakni bagian Bumi yang diterangi Matahari saat letusan terjadi.

Suar Matahari X9.05 berasal dari kelompok bintik Matahari AR3842. Pada tanggal 1 Oktober 2024, wilayah bintik Matahari yang sama melepaskan jilatan api matahari berkekuatan X7.1.

Fenomena itu melepaskan coronal mass ejection (CME) atau gumpalan plasma dan medan magnet meluncur menuju Bumi. CME yang masuk diperkirakan akan menghantam Bumi antara 3 Oktober dan 5 Oktober.

Peristiwa ini kemungkinan memicu aurora yang meluas, dikutip dari Space, Jumat (4/10/2024).

CME yang diarahkan ke Bumi memang mengikuti suar 'monster', demikian konfirmasi peramal cuaca luar angkasa dan ahli meteorologi Sara Housseal dalam sebuah postingan di X.

Ini bisa menjadi kabar baik bagi para pemburu aurora, sebab CME dapat memicu badai geomagnetik yang dapat mengakibatkan peningkatan signifikan pada tampilan aurora.

"Sampai saat ini, saya mengantisipasi dampak di Bumi pada akhir tanggal 5 hingga awal tanggal 6," tulis Housseal.

CME membawa partikel bermuatan listrik yang dikenal sebagai ion. Ketika bertabrakan dengan magnetosfer Bumi, partikel tersebut dapat memicu badai geomagnetik.

Selama badai ini, ion-ion berinteraksi dengan gas di atmosfer Bumi, melepaskan energi dalam bentuk cahaya. Fenomena ini dikenal sebagai cahaya utara atau aurora borealis di belahan Bumi utara, serta cahaya selatan, atau aurora australis, di belahan Bumi selatan.

Pemadaman radio gelombang pendek yang terjadi di Eropa dan Afrika adalah akibat dari radiasi jilatan api Matahari yang mencapai Bumi dan mengionisasi atmosfer bagian atas pada saat kedatangan.

Ionisasi ini menciptakan lingkungan yang lebih padat untuk sinyal radio gelombang pendek frekuensi tinggi, yang memfasilitasi komunikasi jarak jauh. Ketika gelombang radio ini melewati lapisan terionisasi (bermuatan listrik), gelombang tersebut kehilangan energi karena meningkatnya tumbukan dengan elektron, yang dapat melemahkan atau menyerap seluruh sinyal radio.

Suar Matahari yang memecahkan rekor pada 3 Oktober lalu adalah yang paling kuat dalam siklus Matahari sejauh ini. Faktanya, ini adalah jilatan api matahari paling dahsyat dalam tujuh tahun terakhir.

Pada bulan September 2017 lalu, dua suar kolosal berukuran X13.3 dan X11.8 dilaporkan terjadi pada fase penurunan siklus Matahari sebelumnya.

Sebagai informasi, jilatan api Matahari diklasifikasikan berdasarkan ukurannya ke dalam kelas-kelas yang berbeda, dengan jilatan api kelas X sebagai yang paling kuat.

Suar kelas M 10 kali lebih lemah dibandingkan suar kelas X, diikuti oleh suar kelas C, yang 10 kali lebih lemah dibandingkan suar kelas M. Suar kelas B 10 kali lebih lemah dibandingkan suar kelas C, dan suar kelas A 10 kali lebih lemah dibandingkan suar kelas B dan tidak menimbulkan dampak nyata terhadap Bumi.

Setiap kelas dibagi lagi dengan angka dari 1 hingga 10 (dan seterusnya untuk suar kelas X) untuk menunjukkan kekuatan relatif suar tersebut.

Dampak Badai Matahari ke Indonesia

Bagi warga Indonesia, dampak badai Matahari tak akan sebesar wilayah lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini disampaikan Peneliti Pusat Antariksa di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad.

Letak Indonesia diketahui berada di khatulistiwa atau bagian tengah yang jauh dari kutub Bumi. Kendati demikian, bukan berarti Indonesia benar-benar bebas dari dampak badai Matahari.

Johan mengatakan cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.

"Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antar pengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti GPS," kata Johan, dikutip dari CNN Indonesia, berdasarkan situs BRIN.


(fab/fab)

Sentimen: negatif (100%)