Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PT Pertamina
Institusi: UGM
Tokoh Terkait
Skema Gross Split Baru Dinilai Masih Sulit Pikat Investor Hulu Migas
Bisnis.com Jenis Media: Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemerintah menarik investor hulu migas dengan memberikan kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi gross split lebih besar untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dinilai tidak akan berdampak signifikan.
Regulasi tersebut tertuang melalui Peraturan Menteri ESDM No 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan Keputusan Menteri ESDM No 230.K/MG.01.MEM.M/2024 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Komponen Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, berapapun besaran yang ditawarkan pemerintah kepada KKKS dalam hal bagi hasil ini tidak menjamin investor langsung tertarik untuk menanamkan modal pada hulu migas.
"Perubahan gross split yang terbaru itu tidak akan punya pengaruh signifikan terhadap peningkatan investasi, juga tidak akan menaikkan produksi dan lifting minyak," kata Fahmy kepada Bisnis, Rabu (2/10/2024).
Padahal, dalam beleid terbaru tersebut Kementerian ESDM memberikan kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor yang mencapai 75%-95%. Pada kontrak gross split lama, bagi hasil kontraktor sangat variatif, bahkan bisa sangat rendah hingga 0% dalam kondisi tertentu.
Sayangnya, Fahmy justru melihat kontrak dengan skema cost recovery maupun gross split yang selama ini selalu diubah pemerintah tak bisa menjadi daya pikat bagi investor.
"Karena ada faktor lain yang itu menjadi daya tarik bagi investor adalah tersedianya cadangan migas di Indonesia yang sekarang ini semakin menurun," ujarnya.
Jika merujuk pada data Kementerian ESDM, realisasi produksi minyak bumi mencapai 578.000 barel minyak per hari (bopd) per Juni 2024. Sementara itu, produksi gas bumi mencapai 6.635 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd).
Lifting minyak Indonesia telah mengalami penurunan signifikan sejak tahun 2015. Pada tahun tersebut, realisasi lifting minyak tercatat 779.000 barel per hari (bopd), sedangkan pada 2023, lifting minyak turun ke angka 605,400 bopd.
Tren serupa juga terlihat pada lifting gas, yang turun dari 1,202 juta barel setara minyak per hari (boepd) pada 2015 menjadi 960 ribu boepd pada 2023.
"Itu membuat mereka tidak tertarik dan banyak investor besar yang sama ini investasi Indonesia kan sudah keluar dari Indonesia. Yang tersisa kan tinggal investor-investor kecil," tutur Fahmy.
Dalam hal ini, Fahmy menjelaskan yang semestinya menjadi perhatian pemerintah untuk menggenjot produksi migas yakni dengan perluas eksplorasi cekungan baru yang secara geologis potensinya besar, tetapi belum terbukti ekonomis.
Ketika cadangan migas pada sumur-sumur baru tersebut telah terbukti secara geologis dan dari sisi nilai keekonomian dianggap mumpuni, maka investor akan berdatangan.
"Untuk masuk ke cekungan itu kan butuh teknologi yang cukup canggih, butuh biaya dana sebagainya. Satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa di situ memang ada sumber minyak, maka menurut saya Pertamina harus dipaksa untuk masuk di sumur-sumur yang baru tadi," tuturnya.
Kedua, Fahmy juga menyoroti sumur-sumur migas yang lama namun belum di maksimalkan. Dia mencontohkan Blok Cepu yang disebut masih ada sejumlah area dengan potensi minyak cukup besar.
"Tapi investor-investor itu tidak mau menambah investasi, maka eksistingnya itu didorong agar lebih dioptimalkan kembali sehingga dapat menaikkan produksi tadi," pungkasnya.
Sentimen: positif (98.4%)