Sentimen
29 Sep 2024 : 06.01
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Kasus: korupsi, nepotisme, Tipikor, KKN
Partai Terkait
Tokoh Terkait
4 Nama Soeharto Dihapus dari TAP MPR: Keluarga Minta Maaf, Dinilai Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional Nasional
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
29 Sep 2024 : 06.01
Nama Soeharto Dihapus dari TAP MPR: Keluarga Minta Maaf, Dinilai Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (
MPR
) RI resmi membuat keputusan baru soal Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 yang berisi soal upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta eksplisit menyebut nama Presiden ke-2 RI
Soeharto
.
MPR menghapuskan nama Soeharto dari ketentuan tersebut karena dianggap sudah dilaksanakan dan yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Hanya saja, Ketua MPR RI
Bambang Soesatyo
menjelaskan bahwa
TAP MPR
Nomor XI Tahun 1998 tersebut masih berlaku karena ada TAP MPR Nomor I/R 2003.
"Namun terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut secara diri pribadi Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” kata pria yang karib disapa
Bamsoet
ini pada 25 September 2024.
Hal senada diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR Siti Fauziah. Menurut dia, perintah TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 terkait penegakan hukum dugaan tindak pidana melakukan perbuatan melawan hukum berupa KKN yang eksplisit menyebut nama Soeharto telah dilaksanakan.
Dia mengatakan, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah memberikan kepastian hukum kepada Soeharto melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan/SKPPP yang diterbitkan Kejaksaan Agung.
Kemudian, Soeharto juga menderita sakit permanen dan akhirnya meninggal dunia pada 2008 sehingga tuntutan pidananya dihapus.
"Maka materi muatan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XIMPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama Mantan Presiden Soeharto dalam perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme secara pribadi dengan ini dinyatakan sudah dilaksanakan," ujar Fauziah.
"Namun, tidak termasuk terhadap perkara-perkara korupsi, kolusi dan nepotisme lainnya yang disebutkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998,” katanya lagi.
Terbaru, dalam acara silaturahmi kebangsaan yang dihadiri pimpinan MPR RI dengan perwakilan keluarga Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana alias Tutut Soeharto dan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek, Bamsoet menyebut bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan memberikan gelar
pahlawan nasional
kepada Soeharto.
Pasalnya, Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia. Ditambah lagi, telah dihapuskannya nama Presiden ke-2 RI itu dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998.
"Rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Seoharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang dan oleh pemerintah mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional," kata Bamsoet di Kompleks MPR RI, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini lantas menyinggung bahwa konsepsi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah bertujuan untuk menanam benih-benih konflik, melainkan mencari titik temu.
Oleh karena itu, menurut Bamsoet, tidak perlu ada dendam sejarah yang diwariskan.
"Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan pada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu," ujar Bamsoet.
Sebagaimana diketahui, Soeharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun. Pemerintahan yang dikenal sebagai era Orde Baru itu terlihat stabil dan maju secara ekonomi. Namun, semuanya itu dicapai dengan gaya pemerintahan yang otoriter dan cenderung koruptif.
Sementara itu, dalam forum silaturahmi kebangsaan tersebut, Tutut Soeharto mewakili keluarga secara resmi meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan ayah mereka selama 32 tahun memimpin Indonesia.
"Kami juga mohon maaf kalau selama ini bapak ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat memimpin," kata Tutut.
Menurut dia, tidak ada manusia yang selalu benar, termasuk ayahnya yang menjabat sebagai Presiden RI terlama. Namun, Tutut berharap agar kontribusi Soeharto selama masa kepemimpinannya tetap dihargai.
"Kami juga mohon maaf kalau selama ini bapak ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan saat memimpin," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengungkapkan rasa sakit hati keluarga melihat ayahnya digulingkan saat reformasi. Tetapi, menurut Tutut, Soeharto berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak menyimpan dendam.
"Kami itu enggak boleh dendam. Dendam itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu yang disampaikan Bapak kepada kami anak-anak,” katanya.
Sementara itu, Titik Soeharto mewakili keluarga berterima kasih karena nama ayah mereka dicabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998.
"Untuk itu kami, tadi disampaikan juga oleh Mba Tutut, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya," ujar Titiek.
Dia lantas mengungkapkan, sejumlah program sukses pada era kepemimpinan ayahnya, seperti swasembada pangan, Keluarga Berencana (KB), dan SD Inpres. Bahkan, Soeharto dikatakan berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia.
"Mohon itu juga tidak dilupakan oleh para pimpinan pendiri bangsa dan juga masyarakat Indonesia,” kata Titiek.
Sebagaimana diberitakan
Kompas.com
, Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menelusuri kasus penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan milik Soeharto pada 1 September 1998. Lalu, tim kejagung menemukan indikasi penyelewengan dana dan memeriksa tanah peternakan Tapos milik Soeharto.
Hingga akhirnya, pada 2 Desember 1998, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 yang isinya memerintahkan untuk mengusut harta Soeharto.
Namun, pada 11 Oktober 1999, Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi Soeharto karena tidak mendapatkan bukti.
Padahal, tim menemukan bahwa yayasan yang didirikan Soeharto memiliki kekayan mencapai Rp 4,014 triliun. Soeharto juga diketahui memiliki 72 rekening bank atas namanya dengan deposito Rp 24 miliar, uang Rp 23 miliar di rekening BCA, dan tanah 400.000 hektar atas nama keluarga Cendana.
Tetapi, dua bulan kemudian, Jaksa Agung Marzuki Darusman mencabut SP3 tersebut pada 8 Desember 1999. Pengajuan pihak Soeharto agar penyelidikan dihentikan juga ditolak.
Kejagung pun menetapkan Soeharto sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan dana atas yayasan sosial didirikannya pada 31 Maret 2000.
Hingga akhirnya, Soeharto dikenakan sebagai tahanan rumah sejak 29 Mei 2000. Lalu, aset dan rekening yayasannya disita pada 15 Juli 2000.
Kemudian, pada 3 Agustus 2000, Kejagung melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Soeharto pun resmi menjadi terdakwa.
Soeharto pun dijadwalkan menjalani persidangan di gedung Departemen Pertanian pada 14 September 2000. Tetapi, dia tidak hadir dengan alasan sakit. Meski begitu, sidang tetap dijalankan sebagai in absentia.
Peristiwa mengejutkan terjadi saat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan SP3 atau menghentikan perkara melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
Keputusan itu sempat ditentang PN Jakarta Selatan yang membatalkan SP3 tersebut pada 12 Juni 2006. Tetapi, belakangan Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SP3 Soeharto sah menurut hukum pada 1 Agustus 2006.
Oleh karena itu, status Soeharto sebagai terdakwa dugaan korupsi yang melibatkan tujuh yayasan yang didirikannya dicabut.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)