Sentimen
Negatif (99%)
11 Sep 2024 : 14.17
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Institusi: UGM

Kab/Kota: Jati

Kasus: KKN

Saatnya PTUN Ambil Putusan Mahapenting dan Mahagenting untuk Keberlangsungan Bangsa

11 Sep 2024 : 14.17 Views 16

Gelora.co Gelora.co Jenis Media: Nasional


GELORA.CO - SETIAP orang dewasa yang waras niscaya mengakui bahwa pencalonan Gibran melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sedari awal memang bermasalah. Dalam “Diskusi Menakar Pilpres Pasca Putusan MK” di Jakarta, 17/10/2023, pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menilai Putusan MK Nomor 90 mengandung satu cacat hukum yang serius, bahkan mengandung satu penyelundupan hukum.

Tidak mengherankan bila pada 7/11/2023 Majelis Kehormatan MK (MKMK) mengonfirmasi pendapat Yusril melalui putusan yang menyatakan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sehingga dijatuhi sanksi pemberhentian dari Ketua MK. Dalam diskusi di Indonesia Lawyers Club pada 12/11/2023 mantan hakim MK Maruarar Siahaan menegaskan, putusan yang cacat tidak boleh dilaksanakan (nonexecutable).

Sayangnya, MK pada 22/4/2024 akhirnya menolak permohonan Pemohon 1 (Anies-Muhaimin) dan Pemohon 2 (Ganjar-Mahfud). Artinya, putusan MK tidak memperhatikan sama sekali pendapat Maruarar dan pendapat Yusril. Sebelum keluarnya putusan MK itu, dalam gugatan yang teregistrasi dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT, pada 2/4/2024 PDIP telah menggugat KPU ke PTUN.

Menurut Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun, gugatan ini bukan sengketa proses ataupun sengketa hasil Pemilu seperti yang sedang terjadi di MK, tetapi ditujukan pada perbuatan melawan hukum oleh KPU (onrechtmatige overheidsdaad).

Selanjutnya, sehari setelah putusan MK pada 22/4/2024, Gayus menggelar konferensi pers dan mengatakan PTUN telah menerima untuk melanjutkan gugatan yang tercatat dengan nomor register 133/G/2024/PTUN.JKT tersebut.

Sidang itu menurut Gayus dipimpin oleh Ketua PTUN Jakarta, Oenoen Pratiwi. Bisa dimaknai dengan mudah, permohonan alternatif Pemohon 1 yang ditolak MK tentang pendiskualifikasian Gibran di atas kini bertransformasi menjadi pembatalan (pelantikan) Gibran sebagai Wapres. Pengajuan permohonan ini menunjukkan bahwa PDIP tidak kenal menyerah.

Sama seperti PDIP, masyarakat sipil pun rupanya pantang menyerah. Kegairahan masyarakat sipil semakin membahana manakala mereka melihat ambisi Jokowi tidak berhenti untuk “tetap berkuasa” dan melanjutkan politik dinastinya pascaputusan MK 22/4/2024, apalagi setelah partai-partai yang tergabung dalam KIM Plus memuluskan pencalonan Bobby sebagai calon Gubernur Sumut.

Di tengah kegairahan masyarakat sipil yang sedemikian tinggi, lantaran MK dan KIM Plus tampak tidak berdaya, Jokowi pun tidak kalah bernafsu menjalankan birahi kekuasaannya. Kali ini ia “memakai” tangan MA untuk memuluskan pencalonan Kaesang sebagai calon gubernur atau minimal sebagai calon wakil gubernur.

Kali ini dugaan Jokowi tentang MK meleset. MK kembali ke jati dirinya dengan mengeluarkan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Tidak mau menyerah, Jokowi ditengarai menggunakan tangan DPR melalui Badan Legislasi yang merevisi RUU Pilkada kurang dari 7 jam dengan mendasarkannya semata pada putusan MA seraya mengesampingkan putusan MK. RUU yang sudah dibawa ke sidang paripurna DPR pada 22/8/2024 akhirnya batal disahkan lantaran tidak memenuhi kuorum.

Kebanyakan orang menduga, batalnya pengesahan ini lantaran gelombang protes besar dari rakyat dengan melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR dan di sejumlah kota yang serempak digelar di hari yang sama. Demonstrasi ini merupakan bagian dari gerakan 'peringatan darurat Indonesia' yang viral di media sosial setelah DPR bermanuver mengabaikan putusan MK.

Saatnya PTUN Memenuhi Kehendak Semesta

Lantaran Semesta telah berbicara demikian banyak dan nyaring, Jokowi seyogianya berhenti bertindak liar, aneh, dan ugal-ugalan. Jokowi tidak perlu jumawa karena beberapa dari mereka yang berbicara atas nama Semesta itu telah meninggal.

Sebut saja, di hari ke-2 tahun ini Rizal Ramli telah dipanggil (2/1/2024) dan baru 5 hari yang lalu Faisal Basri Batubara menyusul. Pada tahun lalu (25/1/2023) aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma telah lebih dulu menghadap Sang Khalik. Tidak kalah kerasnya dengan Rizal Ramli dan Faisal Basri, 3 akademisi Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar telah menggaungkan suara Semesta melalui film dokumenter politik, Dirty Vote, yang diproduksi dan disutradarai Dandhy Dwi Laksono. Sementara itu akademisi Ubedilah Badrun mengadukan dugaan KKN keluarga Jokowi ke KPK pada 10/9/2022 dan diulang kembali pada 9/11/2023.

Dalam bentuk tersamar, suara Semesta juga keluar melalui 2 menteri kepercayaan Jokowi, Bahlil dan Prabowo. Bahlil dalam pengukuhannya sebagai Ketum Partai Golkar (21/8/2024) mewanti-wanti agar jangan main-main dengan “Raja Jawa” bila tidak mau celaka.

Prabowo sendiri dalam penutupan Kongres ke-6 Partai Amanat Nasional pada 24/8/2024 di Hotel Kempinski mengingatkan agar intel jangan menginteli lawan politik. Di situ Prabowo juga menyentil sikap pihak-pihak yang haus kekuasaan sampai-sampai berupaya meraihnya dengan cara "membeli” sehingga merugikan suatu bangsa.

Penulis juga berupaya mengungkapkan suara semesta melalui 2 tulisan Penulis di RMOL.ID di bawah judul “Menunggu Takdir” pada 18/2/2024 dan “Ketika Semesta Berbicara” pada 26/8/2024.

Dalam bentuk yang lunak dan tersamar semesta juga menyampaikan isyarat via “peringatan darurat” yang kemudian dengan berani diamplifikasi oleh 2 wisudawati cantik nan cerdas, masing-masing dari UI (Juditha Danuvanya) pada 25/8/2024 dengan membentangkan spanduk “Peringatan Darurat” sesaat setelah menerima ijazah dari Rektor UI dan dari UGM (Salshadilla Nadya Prameswary yang menggemakannya dalam pidatonya sebagai perwakilan wisudawan/ti) pada acara wisuda 28/8/2024.

Patut ditambahkan, di hari pertama wisuda UI itu (24/8/2024) sarjana bertoga sebenarnya sudah membawa poster “Peringatan Darurat”, namun tak banyak disyut juru kamera.

Belakangan suara Semesta muncul melalui ulikan netizen atas cuitan tak senonoh dan biadab akun Fufufafa di masa lalu. Rupanya ulikan ini telah menciutkan nyali pemiliknya hingga tidak berani mengakui hingga kini.

Seorang warganet X dengan nama akun @koalaangle menjadi orang pertama pembuka tabir pemilik akun Fufufafa. Warganet ini membuat utas yang berisi pembuktian bahwa akun-akun tersebut adalah milik Gibran.

“Bukti bahwa rkgbrn, raka gnarly, Fufufafa adalah akun milik Gibran Rakabuming," tulisnya dalam unggahan yang sudah mendapat 4,7 juta tayangan.

Contohnya, ketika Fufufafa pada 2013 lalu mengunggah nama-nama akun media sosial miliknya: “Prime ID: Raka Gnarly (lupa password, gak bisa log in). Nama: Raka. Twitter: @rkgbrn”.

Pada utas itu, ditambahkan bukti tangkapan layar dari akun resmi Kaesang (@kaesangp) yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibu dan kakaknya. “Selamat ultah ibuk sama mas @rkgbrn,” bunyi cuitan Kaesang pada 1/10/2011 silam.

Dari Wikipedia diketahui Iriana lahir pada 1/10/1963 dan Gibran 1/10/1987. Akun Kaskus itu menjadi sorotan lantaran pemiliknya kerap mengomentari berbagai thread politik dan membela berita-berita miring seputar Jokowi. Yang menghebohkan, warganet juga menemukan unggahan akun tersebut yang menghina Prabowo, putranya, kerabat, dan orang terdekatnya.

Terbaru, seorang warganet dengan nama akun X @kiqi01 menemukan bukti kuat yang mengarah pada pemilik akun tersebut. Penemuan tersebut kemudian dibagikan kembali oleh akun X @kafiradikalis.

Dalam gambar tangkapan layar yang dicuitkan ulang oleh pemilik akun tersebut pada 8/9/2024, akun Fufufafa mengomentari sebuah thread di Kaskus pada 13 Juni 2014 yang berjudul, "Andi Arief: Jokowi 'Sembunyikan' Anak Pertamanya'.”

Akun Fufufafa kemudian mengeluarkan komentar, "Sini lo nji**. Gue nggak ngumpet. Sini gue ladenin." Faktanya, pemilik akun ini ia ngumpet dan teranyar menghapus 2100 postingan.

Demi kepentingan, keutuhan, dan keberlangsungan bangsa, kini Penulis dan mayoritas warga Indonesia sangat berharap pada Prabowo. Prabowo secara proaktif tidak salah memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki oleh Kemenhan, Kominfo, TNI, BIN, perguruan tinggi, pakar IT, dan lain-lain untuk mengungkapkan secara terang-benderang kasus ini. Tidak masuk akal bila semua sumber daya yang dimiliki oleh negara ini kalah gesit dan lihai dengan sejumlah warganet di atas.

Kedua, demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, PTUN harus memiliki keberanian seperti yang sekarang dimiliki oleh MK untuk memutus gugatan yang diajukan PDIP sejak 2/4/2024 yang lalu. Saatnya, Ketua PTUN Jakarta Oenoen Pratiwi tidak kalah dengan dua srikandi wisudawati UI Juditha dan wisudawati UGM Shalsadilla itu.

Ketiga, bila DPR bisa merevisi RUU Pilkada dalam waktu kurang dari 7 jam, aneh bila DPR tidak bisa memanggil pihak terkait (termasuk Kominfo, Polri, dan BIN) hingga pada akhirnya semuanya secara bergotong-royong bisa menemukan pemilik akun Fufufafa yang sebenarnya dalam waktu kurang dari 7 minggu. Tidak logis bila semua lembaga di atas kalah dengan seorang manusia yang mungkin levelnya jauh di bawah kepala dusun.

Keempat, dalam hal calon Wapres terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, MPR seyogianya memilih Wapres dengan merujuk pada Pasal 427 ayat (4) UU Nomor 7/2017. Dengan mengacu pada Pasal 427 ayat (4) UU Nomor 7/2017, legitimasi Presiden dan Wapres menjadi sangat kuat karena dipilih oleh lebih dari 83,5% pemilih.

Pilihan seperti itu menjadi pilihan rasional karena nama orangnya (baca: Wapresnya) tidak turun dari langit, apalagi keduanya berpotensi besar menjadi perekat bangsa yang sempat terbelah dalam 3 pemilu dan karena kualitas kepemimpinannya bisa menjalankan kewajibannya memenuhi 4 tujuan nasional kita yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Kelima, tidak boleh lagi ada yang mencoba bermain api dengan “Raja Jawa” yang bisa membawa Indonesia menjadi negara gagal seperti yang pernah dikhawatirkan oleh Prabowo.

Bila setiap politisi tidak lagi main-main dengan “Raja Jawa” yang menganggap jabatan Wapres seperti mainan, mereka otomatis melepaskan dirinya sebagai sandera dan itu bisa membuat Indonesia emas tidak sekadar impian. Semoga.

Sentimen: negatif (99.8%)