Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BNI
Tokoh Terkait
Kemenkeu Ungkap Kasus BLBI Belit Marimutu Sinivasan hingga Mau Kabur ke Malaysia
Detik.com Jenis Media: Ekonomi
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) mengungkapkan obligor BLBI Marimutu Sinivasan dicekal ke luar negeri hingga Desember 2024. Artinya sampai periode tersebut, bos Texmaco Group itu dilarang keluar wilayah Indonesia.
"Cekalnya berdasarkan laporan dari staf itu nanti akan berakhir di Desember. Jadi memang pada masa ini yang bersangkutan tidak bisa pergi dari wilayah Indonesia," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (9/9/2024).
Rionald yang juga Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan pun mengapresiasi jajaran petugas Imigrasi yang telah menangkap Marimutu Sinivasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Ia diduga hendak kabur ke Malaysia.
"Saya terima kasih sekali bahwa Imigrasi membantu kita dalam menjalankan cekal yang kita terapkan kepada Marimutu," ucapnya.
Berdasarkan catatan detikcom, Marimutu Sinivasan melalui Texmaco Group memiliki kewajiban yang harus diselesaikan kepada negara sebesar Rp 31.722.860.855.522 dan US$ 3.912.137.145. Sampai saat ini utang yang dibayarkan masih relatif kecil.
"Sudah ada usaha tapi so far yang kita terima baru sekitar Rp 30 miliaran, masih rendah sekali," ucap Rionald.
Sebelumnya, Dirjen Imigrasi Silmy Karim membenarkan penangkapan Marimutu Sinivasan untuk dicegah ke luar negeri. Paspor milik Bos Texmaco Group itu ditahan dan selanjutnya prosesnya diserahkan ke Satgas BLBI.
"Ditahan paspornya untuk selanjutnya Satgas BLBI lah yang berurusan dengan yang bersangkutan. Nggak ditahan (orangnya), dia kan dengan Satgas BLBI urusan perdata (utang)," ucap Silmy Karim kepada wartawan.
Kronologi Kasus BLBI Marimutu Sinivasan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menjelaskan mengenai posisi Grup Texmaco sebagai obligor BLBI. Ia mengatakan pada saat terjadi krisis keuangan tahun 1998, Grup Texmaco meminjam uang ke berbagai bank, mulai dari bank BUMN hingga swasta.
"Kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank," katanya dalam konferensi pers tersebut.
Pinjaman yang tercatat dari Grup Texmaco, lanjut Sri Mulyani, untuk divisi engineering mencapai Rp 8,08 triliun dan US$ 1,24 juta. Kemudian untuk divisi tekstilnya ada pinjaman sebesar Rp 5,28 triliun dan USD 256,59 ribu. Belum lagi ditambah pinjaman dalam bentuk mata uang lainnya.
Utang tersebut dalam status macet saat terjadi krisis sehingga pada saat bank-bank tersebut dilakukan bailout oleh pemerintah, hak tagih dari bank-bank yang sudah diambil alih oleh pemerintah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"Dan dalam proses ini pun pemerintah selama ini masih cukup suportif terhadap Grup Texmaco, termasuk pada saat itu justru karena divisi tekstilnya masih tetap bisa berjalan, pemerintah melalui bank BNI memberikan penjaminan terhadap L/C-nya (letter of credit)," jelas Sri Mulyani.
Di dalam prosesnya, Grup Texmaco telah melakukan agreement atau persetujuan dengan pemerintah mengenai master of restructuring agreement yang ditandatangani sendiri oleh pemilik Texmaco. Dalam hal itu, telah setuju bahwa utang dari 23 operating company Grup Texmaco akan direstrukturisasi dan dialihkan pada 2 holding company yang ditunjuk oleh pemiliknya, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Untuk membayar kewajiban yang dimiliki oleh Grup Texmaco, pada waktu itu disetujui bahwa Texmaco akan mengeluarkan exchangeable bond, di mana itu menjadi pengganti dari utang-utang yang sudah dikeluarkan melalui bank yang dijamin oleh holding company yang ditunjuk tersebut. Exchangeable bond tersebut memiliki bunga untuk rupiah dengan tenor 10 tahun sebesar 14% dan untuk yang non rupiah atau dolar AS sebesar 7%.
"Di dalam perkembangannya, kembali lagi Grup Texmaco gagal membayar dari kupon exchangeable bond yang diterbitkan pada tahun 2004. Dengan demikian, pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi exchangeable bond tersebut," jelas Sri Mulyani.
Kemudian, pada 2005, kembali pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51, di mana pemilik menyampaikan bahwa hak tagih pemerintah kepada Texmaco sebesar Rp 29 triliun berikut jaminannya.
Mereka menjanjikan akan membayar utangnya kepada pemerintah melalui operating company dan holding company yang dianggap masih baik, termasuk untuk membayar letter of credit (L/C) yang kala itu diterbitkan pemerintah untuk membantu perusahaan tetap beroperasi.
"Akan membayar tunggakan L/C yang waktu itu sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk mendukung perusahaan tekstilnya sebesar US$ 80.570.000," sambungnya.
Bahkan dalam berbagai publikasi di media massa, pemilik Grup Texmaco mengatakan utangnya ke pemerintah hanya Rp 8 triliun. Padahal akta kesanggupannya sudah menyebutkan memiliki utang Rp 29 triliun plus USD 80,5 juta atas L/C yang diterbitkan, namun tidak dibayarkan juga.
"Jadi dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberikan ruang bahkan mendukung agar perusahaannya yang memang masih jalan bisa berjalan, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda akan melakukan itikad untuk membayar kembali," tutur Sri Mulyani.
Pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset Grup Texmaco yang menurut Sri Mulyani selama lebih dari 20 tahun diberikan ruang dan waktu, kesempatan, dukungan dengan memberikan L/C jaminan hingga jaminannya itu terambil. Aset yang disita berupa lahan seluas 4.794.202 meter persegi.
Tanggapan Marimutu Sinivasan
Sebelumnya pada 7 Desember 2021, Marimutu Sinivasan pernah menerangkan posisinya dalam kasus BLBI. Dia menyatakan tidak pernah mendapatkan BLBI.
"Saya ingin menjelaskan bahwa Grup Texmaco tidak pernah mendapatkan dan tidak pernah memiliki BLBI. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Direktorat Hukum Bank Indonesia, melalui Surat No 9/67/DHk, tanggal 19 Februari 2007," katanya dalam keterangan pers.
Meski begitu, dia mengakui bahwa Grup Texmaco punya utang kepada negara. Utang itu sebesar Rp 8.095.492.760.391 atau setara USD 558.309.845 (kurs Rp 14.500).
"Utang komersial sebesar ini didasarkan pada Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Pada Kasus Grup Texmaco oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Pengawasan Khusus No SR-02.00.01-276/D.VII.2/2000 tanggal 8 Mei 2000," jelasnya.
Laporan itu sebagai tindak lanjut dari nota kesepakatan antara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengenai Penyelesaian Kredit Atas Nama Texmaco yang ditandatangani pada 25 Februari 2000.
"Nota Kesepakatan ini ditandatangani oleh Saifuddien Hasan (Dirut PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Cacuk Sudarijanto (Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dengan diketahui oleh Bambang Sudibyo (Menteri Keuangan)," ungkapnya.
Dengan mengakui utang itu, Marimutu Sinivasan pun ingin membayar utang tersebut dan meminta waktu 7 tahun ke depan. "Saya beriktikad baik untuk menyelesaikannya dengan meminta waktu 2 tahun grace period dan 5 tahun penyelesaiannya (total 7 tahun)," lanjutnya.
Marimutu Sinivasan mengaku sempat berkali-kali menulis surat selama lebih dari 20 tahun terakhir untuk beraudiensi dengan Sri Mulyani dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk menyelesaikan kewajiban itu. "Namun permintaan saya tidak mendapat tanggapan," ungkapnya.
(aid/kil)Sentimen: positif (88.3%)