Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Kristen
Kab/Kota: Sidoarjo
Tokoh Terkait
Faktor Penyebab Polemik GPdI Tarik, Berikut Paparan FKUB Sidoarjo
Beritajatim.com Jenis Media: Regional
Sidoarjo (beritajatim.com) – FKUB Sidoarjo mengeluarkan telaah dan penyebab peristiwa viralnya video di media sosial tekait pendirian rumah ibadat di Desa Mergosari Kecamatan Tarik.
Laporan telaah dari FKUB telah beredar dan ditanda tangani oleh M. Idham Kholiq, S.Sos, M.AP Ketua Forum Kerukanan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sidoarj, berikut paparannya:
Sebelumnya, pada tanggal 26 Juni 2024, FKUB Kabupaten Sidoarjo diundang Kepala Desa Mergosari untuk melakukan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Nomor 09 dan 08 Tahun 2006, khususnya materi tentang ketentuan mengenai rumah ibadat beserta syarat-syarat yang mengaturnya.
Kegiatan dilaksanakan di balai desa pukul 12.00 – selesai. Hadir dalam kegiatan sosialisasi tersebut M. Idham Kholiq (ketua FKUB Kab.Sidoarjo) beserta dua orang pengurus bidang pendirian rumah ibadat dari unsur Kristiani, Johny Manurung dan Yohanes Tio.
Peserta sosialisasi yang hadir terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, serta perwakilan umat Kristiani dari pendeta dan jemaat GPdI, juga dihadiri unsur forkopimka Tarik, Camat, perwakilan KUA, perwakilan Koramil, serta perwakilan Polsek Tarik.
Suasana awal kegiatan memang sudah nampak suasana yang tegang. Ini tergambarkan dari suasana forum. Posisi duduk terpisah antara kelompok masayarakat (yang duduk di deret kanan) dan perwakilan Jemaat GPdI yang duduk di deret kiri.
Saat memulai sosialisasi, ketua FKUB mencoba mencairkan Susana dengan mengundang pendeta dan perwakilan tokoh agama untuk maju ke depan, saling bersalaman, bersepakat untuk saling menghormati, diakhiri dengan momen saling meramngkul.
Proses paparan materi sosialisasi oleh ketua FKUB memang berjalan lancar. Suasana ketegangan mulai tidk terhindarkan ketika memasuki sessi dialog.
Peserta pertama yang mengajukan diri bertanya (dari perwakilan masyarakat) menyampaikan pertanyaan. Namun pertanyaan tidak ditujukan kepada narasumber (ketua FKUB), tetapi ditujukan kepada pihak pendeta GPdI, dengan pertanyaan perihal status gedung yang pergunakan jemaat GPdI.
Pertanyaan kurang lebih sebagai berikut:
“Status gedung saudara itu apakah gereja atau gedung apa, jika sebagai gereja tolong penuhi izin nya dulu, jika belum memiliki izin, maka jangan gunakan dulu untuk ibadat minggu”.
Pertanyaan ini hendak dijelaskan oleh narasumber, namun audiens meminta jawaban dari pihak Pendeta. Akhirnya pihak GPdI melalui gembala (Pdt Yoap Setiawan) menjawab, dengan uraian kurang lebih sebagai berikut, bahwa gedung tersebut berstatus sebagai rumah doa.
Sebgai rumah doa, sebagaimana ketentuan PBM tahun 2006, tidak perlu memenuhi syarat-syarat khusus untuk IMB rumah ibadat seperti memenuhi 90 jemaat, 60 dukungam warga, rekomendasi kemenag dan FKUB.
Sebagai rumah doa, pihak GPdI telah menagtongi izin yaitu SKTL (Surat Keterangan Tanda Lapor) yang diterbitkan kanwil kemenag Jatim melalui bagian Binmas Kristen. Juga telah mengantongi “izin melaksanakan ibadat” dari kantor Kemenag Kab.Sidoarjo tahun 2019.
Dialog dua arah ini justru memantik perdebatan sengit yang tidak kondusif di antara pihak, sehingga Camat beserta Kepala Desa dan FKUB memutuskan menyudahi forum sosialisasi, dengan catatan perdebatan perihal status gedung akan dilakukan lebih lanjut, dengan suasana yang lebih kondusif.
Usai acara, FKUB bersama Camat, dan Kepala Desa mengundang dua pihak secara terpisah untuk memediasi perdebatan tersebut secara Kaukus diruang Kepala Desa. Pihak pertama adalah dari perwakilan unsur kelompok masyarakat, dua orang perwakilan.
FKUB meminta perwakilan tokoh masyarakat tersebut untuk menjelaskan maksud pertanyaan yang mereka lontarkan dalam forum tersebut.
Inti maksud pertanyaan tersebut adalah bahwa mereka mengetahui gedung terdebut baik secara fisik banguna gedung, maupun fungsinya sudah termasuk Gereja permanen. Maka mereka menuntut pihak GPdI untuk memenuhi aturan, salah satunya meminta persetujuan warga.
Mereka mengaku selama ini belum pernah mendapatkan sosialisasi rencana pembangunan gereja tersebut. Warga juga belum pernah dimintai atau memberikan persetujuan perihal izin gereja tersebut. Beberapa pertanyaan yang bernuansa kecurigaan antara lain; Mengapa mereka sudah menggunakan nya untuk ibadat rutin setiap minggu seperti gereja ? Jika gedung tersebut sebagai rumah doa, mengapa dipergunakan sebagai ibadat minggu seperti gereja.
Dari beragam pernyataan yang dilontarkan memang mengarah kepada situasi kecurigaan bahwa dibalik semua ini ada permainan yang warga merasa dibohongi.
Kecurigaan itu memang mengarah ke pihak pihak tertentu. Kepala Desa mengklarifikasi bahwa selama ini pihak desa tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apapun terkait status maupun dokumen izin gedung tersebut.
Kepala Desa juga menyanggah, dan menjelaskan bahwa pihak Pendeta belum pernah melaporkan apapun kepada Pemerintah Desa.
Hanya saja, Kepala Desa pernah diundang acara peresmian gedung tersebut sebagai rumah doa, namun Kepala Desa tidak datang, karena khawatir dianggap meresmikan.
Oleh karena itulah pihak desa, mengundang FKUB untuk memberikan sosialisasi PBM, terkait rumah ibadat agar semua pihak mengetahu ketentuan yang berlaku.
Dari pertemuan “Kaukus” dengan unsur masyarakat ini, disepekati beberapa poin :
a.Masyarakat diminta untuk tenang, colling down dan tidak melakukan tindakan apapun yang bisa memperkeruh suasana.
b.FKUB meminta kepada pihak masyarakat agar tidak melakukan hal-hal dalam bentuk apapun, baik pernyataan maupun perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan pelarangan ibadat umat beragama, serta hal-hal yang merupakan tindakan intimidasi, ancaman, provokasi maupun anakhisme.
c.Pihak masyarakat meminta Pemerintah Desa dan yang terkait untuk mengambil keputusan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pertemuan “Kaukus” berikutnya mengundang perwakilan GPdI untuk bertemu tertutup di ruang kepala desa. hadir Pdt.Yoap Setiawan (Gembala GPdI) bersama satu orang, dan didampingi seorang binmas Kristen dari Kantor Kemenag Sidoarjo.
Terlebih dulu Ketua FKUB menanyakan status kehadiran Binmas Kristen ini, apakah mewakili Kantor Kemenag Kabupaten atau pribadi ?
Yang bersangkutan menjelaskan bahwa dirinya secara pribadi diminta oleh Pihak GPdI untuk mendampingi. Proses dialog mediasi Kaukus dimulai dengan pertanyaan dari FKUB mengenai status Gedung tersebut, apakah memang didirikan dengan tujuan sebagai rumah doa atau memang direncanakan mendirikan gereja sebagai rumah ibadat permanen ?.
Pada awalnya pihak GPdI menjelaskan bahwa hingga saat ini gedung tersbut berstatus sebagai rumah doa, dimana tidak ada papan nama maupun ornament-ornamen di luar gedung yang menerangkan nya sebagai Gereja.
Sebagaimana juga tertera di dalam SKTL yang diterbitkan Kanwil Kemenag Jatim bahwa tempat yang dimaksud adalah rumah doa yang bisa dipergunakan kegiatan ibadat Jemaat GPdI di Mergosari Kecamatan Tarik.
FKUB menyampaikan pernyataan lanjutan, bahwasannya sesuai perkembangan forum masyarakat telah mengetahui gedung tersebut telah berwujud (seperti) Gedung Gereja, dan telah difungsikan ibadat minggu secara rutin seperti fungsi gereja permanen.
Pernyataan FKUB ini dijawab secara diplomatis dan uraian panjang, bahwa memang setiap Pendeta itu berharap mampu memiliki Gereja yang permanen sehingga bisa melayani umat dengan baik.
Sedangkan menuju eksistensi suatu Gereja yang permanen, prosesnya panjang, butuh persyaratan yang banyak baik dari internal gereja sendiri maupun untuk mengikuti ketentuan syarat-syarat peraturan yang ada.
Saat ini, menurut penjelasannya pihaknya belum mampu, sehingga kami dirikan sebagai rumah doa.
Sebagai rumah kami berharap bisa untuk pergunakan ibadat sepanjang tidak kami statuskan sebagai gereja permanen.
Sebagai umat Kristen yang ingin menjadi umat yang taat kepada Tuhan, kami ini harus melakukan ibadat rutin, minimal kebaktian satu minggu sekali, sebagaimana umat Islam yang melakukan ibadat hari jumat.
Tentu kebutuhan beribadat kami tidak mungkin menunggu hingga punya gedung gereja permanen. Oleh karena itu, kami mohon dengan sangat adanya pengertian dan toleransi agar kami bisa terus beribadat meskipun di gedung yang masih berstatus sebagai rumah doa.
Jika memang harus mengurus izin sebagai gereja, pihak Pendeta meminta agar diberikan waktu, karena proses dan syarat-syarat harus mereka penuhi, namun di dalam proses pengurusan ini hendaknya mereka diberikan kesempatan untuk mempergunakan gedung tersebut bagi kegiatan ibadat satu minggu sekali, tetap dengan status sebagai gedung “rumah doa” dan tidak akan melakukan perubahan apapun hingga selesai pengurusan izin.
Pernyataan Pendeta tersebut di atas, direspon oleh Kepala Desa, bahwa mengingat situasi yang sudah memanas, Kepala Desa menawarkan opsi agar untuk sementara waktu kegiatan ibadat minggu tidak dilaksanakan di gedung tersebut (fungsi gedung di vakum kan sementara) sampai situasi kondusif.
Pelaksanakaan ibadat minggu jemaat GPdI Mergosari sementara dialihkan ke tempat lain, termasuk untuk ibadat minggu pada tanggal 30 juni 2024 (tiga hari ke depan).
Pihak Pendeta, menyatakan sepertinya berat untuk memenuhi saran Kepala Desa di atas. Pertama, mereka tidak memiliki tempat lain. Kedua, kebetulan pada hari minggu tanggal 30 Juni 2024, ada acara pemberkatan pernikahan jemaat yang sudah direncanakan dilangsungkan di gedung tersebut, yang tidak mungkin dirubah atau ditunda dalam waktu tiga hari yang sudah mepet.
Pada bagian inilah, titik temu mediasi “Kaukus” dengan pihak pendeta mengalami jalan buntu. Adapun pelaksanaan ibadat minggu dan pemberkataan pernikahan jemaat GPdI Desa Mergosari tetap berjalan, sehingga terjadilah peristiwa polemik sebagaimana telah menjadi berita viral di berbagai media.
Pasca Kejadian
2. Pada hari senin, tanggl 1 Juli 2024 pukul 17.00 – 18.30 di ruang pertemuan Kantor Desa Mergosari, dilaksanakan pertemuan mediasi yang dipimpin langsung oleh Plt. Bupati (H. Subandi, SH, Mkn).
Dihadiri oleh Kepala Kantor Kemenag Sidoarjo, FKUB, Camat Tarik, Polsek, Koramil Tarik, tokoh masyarakat, tokoh agama Desa Mergosari serta perwakilan dari GPdI (Pdt. Yoap Setiawan beserta pengurus).
Dalam pertemuan, dua belah pihak yaitu perwakilan GPdI dan perwakilan masyarakat diberikan kesempatan untuk berbicara mengutarakan pandangan masing-masing.
Pdt. Yoap Setiawan mewakili pihak GPdI, menyampaikan bahwa status gedung mereka sejauh ini memang adalah rumah doa, dan telah dipergunakan untuk ibadat (hanya) satu minggu sekali (dalam jam tertentu) saja.
Bila diminta untuk mengurus izin agar status gedung tersebut menjadi gereja permanen (ber IMB rumah ibadat permanen), menyatakan kesediaa nya, namun mohon diberikan kelonggaran waktu (setidaknya 2 tahun) untuk mempersiapkan segala dokumen persyaratannya, karena tidak mudah bagi mereka untuk memenuhi ketentuan tersebut.
Dalam rentang waktu proses pengurusn izin ini, pihak GPdI mohon untuk tetap bisa melaksanakan ibadat di gedung tersebut, dengan komitmen tidak merubah gedung dalam bentuk apapun sampai izin bisa diperoleh.
Hal ini karena pihak GPdI tidak memiliki tempat lain untuk melaksanakan ibadat, sedangkan sebagai umat Kristen, minimal mereka harus melaksanakan kewajiban ibadat minggu, sekali dalam kebaktian minggu secara bersama-sama.
Pihak perwakilan masyarakat, menyampaikan pandangan agar diurus dulu izin ststaus gedung nya yaitu IMB sebagai rumah ibadat permanen, baru setelah memiliki izin silahkan dipergunakan untuk ibadat sesuai aturan yang berlaku.
Setelah masing-masing pihak menyampaikan pandangan nya, Plt.Bupati H Subandi menyampaikan konklusi sebagai berikut :
a. Kepada semua pihak dimohon untuk menahan diri, tidak melakukan hal-hal apapun yang bisa memperkeruh suasana. Semuanya harus beritikad untuk saling manjaga ketenteraman dan kondusifitas wilayah, menjaga kerukunan antar umat beragama, serta mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Kepada semua pihak dimohon menghentikan penyebar luasan video yang telah beredar, dan turut memberikan pandangan yang berimbang dan mendinginkan suasana.
c. Kepada pihak GPdI, diberikan kesempatan untuk mengurus izin sesuai ketentuan yang berlaku, dan dimohon tidak ada pihak manampun yang berusaha menghalanghalangi. Pengurusan izin ini, akan diberikan atensi tersendiri oleh pemerintah daerah, agar bisa terfasilitasi secepatnya. Jika bisa selesai dalam 1 bulan, tidak perlu harus 2 tahun.
d. Dalam proses pengurusan ini, pihak-pihak terkait dimohon untuk memberikan pendampingan (desa, camat, FKUB) bilamana pihak GPdI mengalami kendala proses, prosedur maupun ketentuan administratif lainnya. (ted)
Sentimen: positif (99.9%)